Pilkada serentak 2020 diwarnai disparitas harta kekayaan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sangat lebar. Selain ada kandidat dengan kekayaan hingga puluhan hingga ratusan miliar rupiah, ada pula kandidat yang hartanya minus, alias memiliki utang dengan nominal melebihi hartanya.
Hasil olah data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 1.474 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per 19 Oktober, menunjukkan, 12 kandidat melaporkan harta mereka minus. Jumlah yang dilaporkan bervariasi, mulai minus Rp 8 juta hingga minus Rp 3,5 miliar.
Sebanyak 12 kandidat itu terdiri dari tujuh calon bupati/wali kota dan lima calon wakil bupati/wakil wali kota. Jumlah kandidat berharta minus di Pilkada 2020 naik dibandingkan Pilkada 2018, yakni dua kandidat.
Kandidat dengan harta minus terbanyak adalah calon wakil bupati Sijunjung, Sumbar, Indra Gunalan, yang melaporkan hartanya minus Rp 3,5 miliar. Ia berpasangan dengan Hendri Susanto yang memiliki kekayaan Rp 265 juta.
Tim Kompas menghubungi empat kandidat di Sumbar berharta minus, yakni Indra Gunalan; calon bupati Padang Pariaman, Tri Suryadi; cawabup Pesisir Selatan, Hamdanus; dan cabup Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan. Tri dan Ferizal merespons. ”Kalau menurut saya, itu (LHKPN) sudah fakta,” kata Tri, Minggu (25/10/2020).
Sementara Ferizal mengakui memiliki utang Rp 121,719 juta. Pinjaman itu didapat dari tiga kali menggadaikan surat keputusan jabatan sebagai Wakil Bupati Limapuluh Kota.
”Saya menggadaikan SK jabatan untuk beberapa keperluan, yaitu pemenuhan (melunasi) utang pilkada (2015), pemulangan jenazah Tan Malaka, serta kegiatan kepemudaan dan olahraga,” katanya.
Ferizal mengaku ia dan pasangannya, Nurkhalis, menghabiskan uang tak lebih dari Rp 150 juta untuk ikut pilkada lewat jalur perseorangan.
Calon bupati Indramayu (Jabar), Muhamad Sholihin, juga membenarkan kekayaannya di LHKPN minus. Namun, Sholihin tak percaya uang jadi jaminan memenangi pilkada. ”Saya nyalon dua kali tidak pernah pakai uang. Tanpa uang saya bisa dua kali masuk DPRD Indramayu,” katanya.
Menurut peneliti politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, keberadaan kandidat yang hartanya minus menunjukkan masyarakat semakin nekat mencalonkan diri. ”Pilihan yang sangat nekat bagi kandidat berharta minus untuk berkontestasi saat pilkada masih berbiaya mahal,” kata Arya.
Hanya saja, pengajar ilmu politik Universitas Andalas, Padang, Asrinaldi, menekankan, jumlah harta kekayaan peserta pilkada tak terkait langsung dengan peluang memenangi pilkada.
Menurut dia, jika ada kandidat dengan keterbatasan biaya tetapi punya rekam jejak bagus, masyarakat akan membantu, baik materi maupun dukungan lainnya. Akan tetapi, kata Asrinaldi, idealnya harta kekayaan kandidat tak minus dan tidak pula berlebihan secara mencolok.
Soal kebenaran nilai LHKPN, Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, prinsip LHKPN adalah penaksiran pribadi. Artinya, nilai tercantum diserahkan kepada penyelenggara negara. Fokus utama KPK adalah kepatuhan penyampaian laporan dan melaporkan semua harta.
Karena itu, kata dia, publik bisa mengakses elhkpn.kpk.go.id guna melihat isian harta penyelenggara negara, termasuk peserta pilkada. Jika kurang yakin terhadap kesesuaian harta atau memiliki informasi harta lain yang belum dilaporkan, warga dapat memberikan info pada menu e-Announcement.
Disparitas
Data LHKPN menunjukkan kandidat dengan harta kekayaan terbesar adalah calon wakil gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, yakni Rp 674 miliar. Dia berpasangan dengan petahana Sahbirin Noor, yang melaporkan kekayaan Rp 22,9 miliar. Muhidin-Sahbirin berhadapan dengan Denny Indrayana-Difriadi yang harta kekayaannya total Rp 16,8 miliar.
Kandidat yang diusung lewat jalur partai politik juga cenderung memiliki harta lebih tinggi ketimbang calon perseorangan. Hanya kandidat yang diusung partai politik yang memiliki harta di atas Rp 75 miliar (18 kandidat).
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengatakan, selisih harta terlalu lebar di antara pasangan calon menjadi fenomena kurang baik karena terkait kesetaraan berkontestasi. Karena itu, dia mendorong transparansi pelaporan dana kampanye guna memastikan pengeluaran calon tak melebihi ketentuan.
Dalam Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2020 tentang Dana Kampanye Pilkada, ditentukan pembatasan biaya kampanye. Namun, dari riset Mada di Pilkada Kabupaten-Kota Madiun 2018, pengeluaran selama pilkada 10-15 kali lipat dari dana kampanye yang dilaporkan ke KPU.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, audit laporan dana kampanye cenderung hanya menjadi formalitas. Biasanya ada sumbangan yang dikirim tak melalui rekening dana kampanye sehingga tidak bisa diaudit. (SYA/PDS/BOW/JOL/IKI)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2020 di halaman 1 dengan judul “Belasan Kontestan Berharta Minus”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/26/belasan-kontestan-pilkada-2020-berharta-minus/