August 8, 2024

Berkah Politik Nomor Urut

Nomor urut teratas terbukti masih ampuh memengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik. Sistem pemilu proporsional daftar terbuka, dengan suara terbanyak menjadi penentu calon anggota legislatif terpilih, belum begitu berdampak pada pilihan pemilih.

Hasil kajian Litbang Kompas terhadap perolehan suara di Pemilu 2019 memperlihatkan tidak ada perubahan signifikan dari apa yang terjadi di Pemilu 2014 dengan apa yang terjadi di Pemilu 2019. Caleg dengan nomor urut teratas tetap mendominasi perolehan kursi DPR. Bahkan, dengan sistem baru konversi perolehan suara ke jumlah kursi sainte lague, caleg terpilih bernomor urut teratas juga mendominasi perebutan kursi pertama di daerah pemilihan.

Hasil simulasi perolehan kursi mencatat, sebanyak 364 kursi DPR berhasil direbut caleg bernomor urut satu. Jumlah itu setara dengan 63,3 persen dari total 575 kursi yang disediakan untuk DPR periode 2019-2024. Adapun 107 kursi lainnya atau 18,6 persen direbut caleg bernomor urut dua. Jika keduanya dijumlah, caleg bernomor urut satu dan dua menguasai 81,9 persen kursi DPR. Hal yang mirip terjadi di Pemilu 2014. Saat itu 79 persen kursi DPR direbut oleh caleg nomor urut satu dan dua.

Caleg dengan nomor urut atas, baik 1, 2, maupun 3, umumnya didominasi petahana. Sisa kursi lainnya terdistribusi dengan pola yang hampir sama pada Pemilu 2014, yakni semakin atas nomor urutnya, semakin banyak kursi yang diraih. Sebaliknya, semakin bawah nomor urutnya, perolehan kursinya semakin minim.

Hal ini semakin terlihat pada perolehan caleg bernomor urut 10. Hasil simulasi Litbang Kompas merekam, hanya dua caleg bernomor urut 10 yang berhasil meraih kursi. Satu kursi direbut caleg di Daerah Pemilihan (Dapil) Lampung II atas nama I Komang Koher dari PDI-P. Kursi ini adalah kursi kelima dari 10 kursi yang diperebutkan di dapil itu.

Satu kursi lain yang direbut caleg bernomor urut 10 berada di Dapil Jawa Timur VIII. Caleg ini bernama Muhtarom dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sama dengan di Lampung II, kursi yang diraih Muhtarom merupakan kursi kelima dari 10 kursi di dapil. Menurut penelusuran rekam jejak, caleg bernomor urut 10 yang berhasil meraih kursi adalah pendatang baru.

Kursi pertama

Pemilik nomor urut satu juga mendominasi peraih kursi pertama di dapil. Caleg bernomor urut satu tercatat meraih kursi pertama di 52 dapil dari total 80 dapil (65 persen). Kursi pertama lainnya (35 persen) diraih caleg bernomor urut dua, tiga, empat, lima, dan tujuh. Tentu saja, dari kelompok ini, lebih dari separuh diraih caleg dengan nomor urut dua.

Kursi pertama tentu juga lebih banyak diraih oleh pemenang pemilu PDI-P di 80 dapil. Dari kursi yang diraih partai ini, sebanyak 29,7 persen berasal dari kursi pertama yang diraih di setiap dapil. Hasil itu menempatkan PDI-P sebagai partai paling banyak meraih kursi pertama. PDI-P merebut kursi pertama di 38 dapil atau sekitar 47,5 persen. Posisi kedua ditempati Partai Gerindra dengan merebut jatah kursi pertama di 16 dapil.

Fenomena dominasi kursi pertama tak lepas dari penerapan sistem konversi sainte lague yang baru dilakukan di Pemilu 2019. Sistem ini mengurutkan perolehan suara partai politik di setiap dapil setelah dibagi dengan bilangan 1, 3, 5, dan seterusnya yang ditetapkan dalam mekanisme konversi. Berdasarkan peringkat sesuai jumlah kursi yang diperebutkan, ditetapkan partai peraih kursi pertama, kedua, dan seterusnya.

Semakin banyak suara yang diraih partai politik, semakin besar peluang mereka meraih kursi. Sistem konversi yang baru diterapkan ini lebih menjamin derajat proporsionalitas suara terhadap kursi. Fenomena caleg yang suaranya melebihi suara partainya atau setidaknya memberi sumbangan besar terhadap perolehan partai, secara tak langsung juga menguntungkan caleg lain dari satu partainya.

Suara terbanyak

Hal ini ditunjukkan setidaknya oleh sejumlah nama caleg yang masuk dalam daftar peraih suara terbanyak di Pemilu 2019. Salah satunya diperlihatkan oleh Puan Maharani, caleg dari PDI-P di Dapil Jawa Tengah V.

Suara yang diraih Puan 404.034 suara, paling besar dari semua caleg DPR di Pemilu 2019 dan meningkat lebih kurang 10 persen dibandingkan suaranya di Pemilu 2014. Suara Puan setara 44,9 persen dari total suara partai dan caleg PDI-P di Dapil Jawa Tengah V.

Perolehan suara Puan mendongkrak perolehan kursi partai di dapil itu. Setelah merebut kursi pertama dan kedua, PDI-P menambah dua kursi lagi, yakni kursi kelima dan kedelapan (kursi terakhir) di Dapil Jawa Tengah V. Perolehan kursi PDI-P di dapil ini meningkat dibandingkan di Pemilu 2014. Saat itu PDI-P mendapat tiga kursi di dapil tersebut.

Hal serupa terekam dari caleg PKS, Hidayat Nur Wahid, di Dapil DKI Jakarta II. Suara Hidayat sebesar 281.372 atau 58,9 persen dari total suara partai dan caleg di dapil tersebut. Perolehan suara Hidayat naik dua kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014 di dapil yang sama. Peningkatan suara ini berdampak pada perolehan kursi di DKI Jakarta II. Perolehan PKS di DKI Jakarta II bertambah menjadi dua kursi dari sebelumnya hanya satu kursi yang diperoleh Hidayat Nur Wahid.

Kedua nama, Puan Maharani dan Hidayat Nur Wahid, masuk dalam sepuluh besar caleg peraih suara terbanyak dari total 8.100 caleg yang memperebutkan 575 kursi DPR di Pemilu 2019. Seperti diduga, dari 10 caleg peraih suara terbanyak sebagian besar di antaranya bernomor urut satu dan sebagian besar kursi yang diraih mereka adalah kursi pertama di dapil. Maka, tampak kian jelas, nomor urut teratas lebih berpeluang mendapatkan suara dibandingkan dengan nomor urut buncit.

Pengamat politik Fisipol UGM, Mada Sukmajati, menilai, fenomena banyaknya caleg bernomor urut teratas yang terpilih tak lepas dari desain pemilu yang tidak konsisten antara pencalonan dan penyuaraan. ”Metodenya adalah suara terbanyak, tetapi pencalonan dan penyuaraan mengarahkan pemilih ke nomor urut,” ujarnya.

Pada masa mendatang, menurut Mada, perlu dipikirkan kemungkinan untuk menghapus nomor urut jika tetap menggunakan mekanisme suara terbanyak. Pengurutan bisa dilakukan berdasarkan abjad nama caleg.

Nomor urut masih menjadi faktor yang menentukan. Betapapun mekanisme suara terbanyak diberlakukan. Perilaku pemilih yang condong memilih caleg bernomor urut atas menempatkan pemilik nomor urut itu mendapat ”berkah politik”. Tentu pada akhirnya adalah bagaimana membangun kedekatan serta kepercayaan antara caleg dan pemilih. Relasi ini diharapkan menjadi dasar pilihan, bukan sekadar nomor urut. (YOHAN WAHYU | Litbang Kompas).

Dikliping dari artikel yang terbit di https://kompas.id/baca/utama/2019/08/22/berkah-politik-nomor-urut/