October 15, 2024

Calon Tunggal Cerminan Pragmatisme Politik

Kecenderungan munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah 2020 menimbulkan kekhawatiran karena tren selama ini jumlah calon tunggal terus meningkat dari pilkada ke pilkada. Kehadiran calon tunggal, antara lain, dinilai menjadi cerminan pragmatisme partai politik untuk memastikan kemenangan dalam kontestasi lokal.

Kajian Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menunjukkan fenomena calon tunggal cenderung terus meningkat, termasuk dalam pilkada 2020. Calon tunggal pertama kali muncul pada pilkada 2015, yakni 3 calon. Jumlah itu naik menjadi 9 calon pada pilkada 2017 dan 16 calon pada pilkada 2018. Pada pilkada 2020, jumlah calon tunggal diperkirakan kembali naik karena sejumlah faktor.

”Selain karena kecenderungannya naik, peluang ini juga digunakan sebagai strategi pemenangan oleh kandidat. Hampir semua pilkada dengan calon tunggal dimenangi oleh calon tunggal, kecuali Pilkada Kota Makassar tahun 2018,” kata Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi saat dihubungi, Minggu (26/7/2020), dari Jakarta.

Selain karena kecenderungannya naik, peluang ini juga digunakan sebagai strategi pemenangan oleh kandidat. Hampir semua pilkada dengan calon tunggal dimenangi oleh calon tunggal, kecuali Pilkada Kota Makassar tahun 2018.

Veri mengatakan, fenomena calon tunggal muncul setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 100/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Selain itu, ada faktor pragmatisme partai politik yang membuat mereka ingin menang dengan mudah. ”Intinya, kalau bisa dipastikan menang, ya mereka ingin menang langsung. Calon tunggal membuka peluang menang jauh lebih besar daripada kalau ada lawan,” kata Veri.

Faktor lainnya, menurut Veri, dominasi petahana atau parpol. Dari pengamatan sementara, sejumlah daerah menunjukkan kecenderungan itu, seperti Kabupaten Kediri di Jawa Timur, Kota Surakarta di Jawa Tengah, dan Kabupaten Serang di Banten. Di Kediri, parpol-parpol mulai merapat ke pasangan Hanindhito Himawan Pramana, yang juga putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Dewi Maria Ulfa. Keduanya diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Di Kota Solo, pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa yang didukung PDI-P juga dominan dan belum ada calon yang dideklarasikan oleh koalisi parpol lain. Sementara itu, di Kabupaten Serang, petahana Ratu Tatu Chasanah, yang juga adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang diusung Partai Golkar, masih merupakan kandidat terkuat.

Menanggapi kemungkinan pilkada di Kediri dan Surakarta dengan calon tunggal, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, hal ini menunjukkan basis legitimasi yang dimiliki Gibran dan Hanindhito cukup kuat. Selain itu, mekanisme pilkada yang memberikan opsi kotak kosong juga dibolehkan.

”Mahkamah Konstitusi telah mengatur, ketika ada kecenderungan orang menjadi calon tunggal karena basis legitimasinya cukup kuat, masyarakat tetap diberikan opsi kotak kosong. Jadi, itu juga sebuah proses demokrasi yang sehat,” kata Hasto dalam diskusi daring, akhir pekan lalu.

Musibah demokrasi

Seharusnya yang namanya demokrasi itu orang melawan orang, bukan melawan kotak kosong. Kalau melawan kotak kosong, itu musibah demokrasi. Seharusnya ada kompetisi yang sehat, yakni adu visi, adu karya, dan adu gagasan. Memang saat ini sudah ada dua calon perseorangan dan masih kurang 14.000 KTP, tetapi nanti kita lihat karena masih ada waktu sampai 4 September untuk mengusung calon.

Terkait dengan pilkada di Solo, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera mengatakan, partainya hanya memiliki lima kursi di Solo, sedangkan untuk dapat mengusung satu calon di Solo memerlukan empat kursi lagi. Saat ini, partainya terus menggalang komunikasi dengan partai-partai lain untuk mengusung kandidat penantang.

”Seharusnya yang namanya demokrasi itu orang melawan orang, bukan melawan kotak kosong. Kalau melawan kotak kosong, itu musibah demokrasi. Seharusnya ada kompetisi yang sehat, yakni adu visi, adu karya, dan adu gagasan. Memang saat ini sudah ada dua calon perseorangan dan masih kurang 14.000 KTP, tetapi nanti kita lihat karena masih ada waktu sampai 4 September untuk mengusung calon,” kata Mardani.

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry K Rizkiyansyah mengatakan, faktor lain yang memicu calon tunggal ialah minimnya kaderisasi oleh parpol sehingga parpol tidak cukup meyakini kadernya untuk dimajukan dalam pilkada. Di sisi lain, faktor pandemi Covid-19 membuat parpol berpikir dua kali lipat untuk mengeluarkan biaya dalam kontestasi di tengah ketidakpastian hasil. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/pemilu/2020/07/26/calon-tunggal-cerminan-pragmatisme-politik/