Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Dalam sistem demokrasi, bentuk partisipasi masyarakat akan tampak jelas pada momen pemilihan umum dalam hal ini pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang akan diadakan secara serentak pada akhir tahun ini. Maka dari itu pemilihan umum dalam sistem demokrasi dikatakan sebagai pesta rakyat untuk berdemokrasi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan jajarannya di Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, menyiapkan opsi peraturan yang mengatur keseluruhan pelaksanaan, mulai dari aturan-aturan kampanye hingga tata cara pemilukada, belumlah dapat menggaransi keutuhan demokrasi. Demokrasi sehat, dimana rakyat dapat memilih dan berpendapat tanpa adanya unsur paksaan belum dapat dijamin secara keseluruhan oleh KPU ini. Artinya, hingga hari ini kecurangan masih saja sering terjadi. Bahkan, kecurangan itu malah sering menjadi tradisi perpolitikan yang terus menggerogoti bangsa.
Khusus bagi para calon berstatus inkumben, terdapat beberapa celah yang dari waktu ke waktu sering digunakan namun jarang dapat dijangkau oleh KPU. Calon inkumben merupakan calon yang masih memegang kendali pemerintahan. Artinya, berbagai kebijakan pemerintahan masih dimiliki termasuk kebijakan mengenai sumber daya negara. Maka dari itu penting kiranya untuk mengurai kembali berbagai celah-celah itu, khususnya mengenai sumber daya negara agar tidak dipolitisi demi kepentingan-kepentingan para calon inkumben ini.
Pertama, anggaran pemerintah seperti anggaran Bansos, APBD dan APBD perubahan. Anggaran ini seringkali digunakan oleh para calon inkumben guna melancarkan kampanye. Kedua, mobilsasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Cara ini sering digunakan dengan mengintimidasi jajaran ASN untuk memilih calon tertentu.
Ketiga, Penyalahgunaan fasilitas kantor misalkan kampanye terselubung dalam website-website resmi kantor pemerintahan tertentu. Terakhir, penyalahgunaan wewenang misalkan mutasi serta izin pengelolaan sumber daya manusia. Sederhananya, wewenang itu memang masih menjadi hak seorang pemegang kendali pemerintah. Namun, wewenang tak dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah suara seorang calon, dalam hal ini tentunya calon inkumben yang sekaligus pimpinannya.
Saat ini, calon inkumben merupakan tren luar biasa yang tak pernah alfa dalam catur perpolitikan nasional. Dalam pemilukada kali ini juga dipastikan akan banyak calon inkumben yang ikut berkontestasi. Maka dari itu, setiap elemen masyarakat harus ikut membantu KPU untuk mengawasi jalannya demokrasi. Kesemua celah diatas harus menjadi bahan penglihatan masyarakat dalam mengawasi calon khususnya calon inkumben.
Hal ini sangat penting, karna jika kecurangan-kecurangan diatas terjadi di Negri ini maka peta perpolitikan Indonesia berpotensi memasuki transisi ekstrim dinasti. Negara akan dijalankan oleh segelintir elite dari beberapa anggota keluarga, klan atau dinasti politik yang kuat di wilayah-wilayah tertentu. Akibatnya, perluasan akses kekuasaan maupun proses demokrasi yang sehat dan substansial tak mungkin dapat diharapkan lagi. Nauzubillah…
DEDY IBMAR
Aktifis HMI Ciputat, Penggiat Kajian PIUSH, serta Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Jakarta