JAKARTA, KOMPAS — Daftar pemilih tetap diperkirakan masih menjadi salah satu tantangan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Implikasi dari persoalan daftar pemilih tetap tidak hanya memengaruhi hak konstitusional warga negara, tetapi juga pada penentuan jumlah tempat pemungutan suara dan surat suara.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, pada Pemilu Legislatif 2014, dari 185,8 juta pemilih, ada 2,7 juta calon pemilih yang tidak terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT). Sementara pada Pemilihan Presiden 2014, 2,8 juta dari 191,8 juta calon pemilih tidak masuk dalam DPT. Pada Pilkada Serentak 2017, 691.611 calon pemilih dari 41,1 juta orang tak masuk DPT.
“Masalah DPT masih jadi catatan bagi pemantau pemilu. Bagaimana dengan (Pilkada Serentak) 2018 dan (Pemilu) 2019? Bagaimana cara penyelenggara pemilu menyelesaikan persoalan ini?” tanya Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta di diskusi “Refleksi Kritis Pilkada Serentak 2017 Menuju Pilkada Serentak 2018”, di Jakarta, Jumat (5/5).
Dalam diskusi terfokus di hari yang sama yang digelar KPU dengan melibatkan pemangku kepentingan kepemiluan, seperti masyarakat sipil, Kementerian Dalam Negeri, serta KPU dan Bawaslu, juga dibahas persoalan DPT. KPU mematangkan rencana untuk menerapkan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Selama ini, data pemilih dimutakhirkan dengan memadukan daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri dan DPT pemilu terakhir beberapa bulan menjelang pemilu.
Ketua KPU Arief Budiman menuturkan, ada beberapa opsi yang akan dimatangkan, seperti pemutakhiran yang diikuti dengan pleno daftar pemilih enam bulan sekali atau setahun sekali. Data itu lalu diserahkan pula ke pemangku kepentingan, seperti partai politik, agar mereka bisa ikut membantu mengecek daftar pemilih itu dengan menyandingkan data tersebut dengan data konstituen. Masyarakat juga diharapkan aktif memberi masukan atas data itu.
Selain itu, muncul pula usulan agar KPU tidak lagi perlu menjalankan mekanisme pencocokan dan penelitian faktual di lapangan. Namun, Arief menuturkan, gagasan itu masih perlu dikaji.
Politik uang
Selain persoalan DPT, Bawaslu mencatat, Pilkada 2018 juga rentan dengan berbagai pelanggaran, termasuk politik uang. Oleh karena itu, Bawaslu berencana memperkuat pemberian efek penggentaran dengan merevisi Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Terkait Politik Uang yang dilakukan Terstruktur, Sistematis, dan Masif dalam Pilkada.
Ketua Bawaslu Abhan Misbah menuturkan, di Perbawaslu Nomor 13 Tahun 2016, masa kedaluwarsa penanganan sanksi administrasi politik uang ialah 60 hari sebelum pemungutan suara. Padahal, masa kritis politik uang umumnya menjelang pemungutan suara. (GAL/AGE)
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/06/Daftar-Pemilih-Masih-Menjadi-Persoalan