August 8, 2024

Daulat Pemilih Muda

Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Ungkapan ini seperti menjadi hukum dasar sejarah, semua orang atau semua generasi punya peluang untuk menjadi penentu. Memang demikianlah adanya bahwa tidak ada pemain yang menjadi pemeran abadi termasuk peran itu sendiri. Semua kita pada hakikatnya hanya menunggu waktu untuk dipergilirkan menjadi pelaku sejarah. Hanya saja, kita tidak mengetahui kapan waktu tersebut tiba, karena itu diperlukan usaha untuk menjadi orang pada masanya.

Pemilu 2024 ini adalah masa bagi anak-anak muda menjadi penentu perjalanan sejarah bangsanya. Ini momentum untuk tampil sebagai veto player dalam pertarungan menentukan siapa nakhoda yang tepat memimpin kapal besar bernama Indonesia agar bisa berlayar dengan dan arah yang benar. Anak muda Indonesia yang dalam pemilu ini jumlahnya lebih dari setengah jumlah pemilih, tidak boleh menjadi buih di atas samudra nan luas. Tampak banyak tetapi sebetulnya tidak memberi arti.

Berdasarkan data pemilih yang dirilis KPU, dari  204.807.222 jumlah pemilih tetap, sebanyak 111.622.550 adalah pemilih muda. Mereka yang termasuk dalam kategori pemilih muda terdiri generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997 s/d 2012 dan generasi milenial yang lahir pada rentang tahun 1980-an s/d 1996.  Dengan jumlah pemilih muda sebanyak 65,45% % itu, wajar saja mereka menjadi rebutan para kontestan. Ini adalah lumbung suara yang tidak kecil. Diyakini siapa yang mampu meraih mayoritas dari jumlah suara pemilih muda, akan mudah melenggang menuju tampuk kekuasaan.

Dengan kenyataan tersebut, diharapkan muncul kesadaran dari pemilih muda itu sendiri bahwa dukungan mereka sangatlah penting. Kesadaran diri ini diperlukan agar bisa menyikap aktraksi politik pada masa kampanye yang ditampilkan para politisi. Model kampanye yang penuh gimmick, miskin platform programatik dan jauh dari kesan penyadaran akan pendidikan kewargaan, menyesaki ruang publik kita selama musim pemilu.

Cara berkampanye seperti ini tidak lepas dari pandangan yang berangkat dari temuan beberapa hasil penelitian terhadap tren anak muda yang berinteraksi dengan teknologi informasi. Mereka ini begitu lekat dan akrab dengan teknologi informasi, tetapi tidak dengan kontennya yang jauh dari isu politik dan kebangsaan. Mereka bisa menghabiskan waktu yang lama menikmati hiburan dibanding berselancar memperdalam ilmu pengetahuan. Para pemuda ini cenderung kepada hasil yang diperoleh secara instan, tidak betah berproses untuk memperoleh sesuatu secara mendalam.

Karena itulah, interaksi politik yang dibangun malah mengedepankan gimmick, joget, wajah yang didesain imut dan sejenisnya. Komunikasi politik ini jauh dari narasi yang mencerahkan apalagi mencerdaskan. Semua disimplikasi memalui pendekatan karitatif. Sangat berjarak dengan interaksi yang edukatif.

Jika berkaca pada hasil survei nasional oleh Katadata Insight Center pada Oktober 2023 lalu terungkap bahwa  52% pemuda tertarik dengan politik di mana informasi tentang politik mereka akses melalui akun media sosial berita online. Terhadap Isu apa yang paling mereka inginkan disuarakan oleh peserta pemilu 48,2% terkait dengan lapangan kerja, peningkatan kesadaran ekonomi digital/ekonomi kreatif sebesar 13,2%. Adapun program kampanye paling menarik perhatian adalah mengadakan pelatihan kewirausahaan (52,5%).

Jika kita bersetuju dengan hasil survei di atas, maka model interaksi politik yang penuh gimmick dan karitatif oleh peserta pemilu, menegasikan harapan sesungguhnya yang dipunyai pemilih muda. Seperti dikatakan Airlangga Pribadi Kusman, arena politik kita salah menduga karakter kaum muda yang dianggap apatis dan antisosial. Ia mengutip hasil survei Indikator Politik Indonesia di mana tingkat kepedulian generasi milenial terhadap isu kerusakan ekologis sebesar 79%. “Kenyataan sosial ini hendaknya menjadi pertimbangan para politisi apabila mereka benar-benar peduli terhadap masa depan generasi muda ahli waris republik ini ke depan” (Kompas, 18/12/2023).

Pemilih Berdaulat

Kenyataan ada sebagian pemuda yang apolitis, memang tidak bisa dielakkan. Tetapi mengeneralisir bahwa pemuda gen Z dan milinenial adalah generasi yang suka jalan pintas, tidak punya daya juang, apolitis, dan tidak suka akan hal-hal yang serius, merupakan kesalahan fatal. Tengoklah begitu banyak pemuda kritis yang peduli dengan kelangsungan masa depan negaranya yang tersebar di seluruh pelosok negeri, terhimpun dalam simpul-simpul. Mereka begitu sering bersuara lantang menkritisi gerak perjalan bangsa ini.

Pada Pemilu 2024 ini gejala kritis itu semakin memuncah sebagai respon atas kehidupan sosial kebangsaan yang sedang tidak baik-baik saja. Mereka mulai memperlihatkan jati diri kepemudaannya yang sejati. Peduli pada nasib negeri yang nota benenya akan mereka terima sebagai warisan dari generasi lebih tua.

Karena itu kesadaran dan sikap kritis itu harus dipelihara, didorong, dan ditularkan keseluruh lapisan pemilih muda lainnya. Ini merupakan modal untuk meneguhkan kedaulatan sebagai pemilih muda yang jumlah suaranya pada pemilu ini begitu besar dan menentukan. Jangan biarkan para pemburu suara terus mereduksi arti penting keberadaan pemilih muda. Jadilah pemilih muda yang berdaulat dengan menjadikan pikiran waras sebagai filter atas tsunami informasi yang dipenuhi hoaks, fitnah, dan ketidakbenaran lainnya. []

MASHUDI SR.

Anggota KPU Provinsi Banten Periode 2018-2023