August 8, 2024

Demokrasi Bertahan jika Bisa Mengendalikan Intervensi Oligarki

Demokrasi Indonesia, sebagaimana juga demokrasi di negara lain, akan menghadapi pertanyaan mengenai intervensi oligarki dalam praktiknya. Derajat pengaruh dan intervensi oligarki ini akan turut menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.

Dalam peluncuran buku Demokrasi Tanpa Demos yang diterbitkan dalam rangka ulang tahun ke-50 Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Kamis (19/8/2021), ilmuwan politik dari Northwestern University, Jeffrey A Winters, mengatakan, tarikan kepentingan antara oligarki yang didukung oleh kelompok kaya dan demokrasi telah lama terjadi. Bahkan, perdebatan yang berakar dari pembedaan akses dan kesempatan antara kelompok kaya dan kelompok miskin itu sudah berlangsung sejak era Aristoteles.

Persoalan kelompok kaya versus kelompok miskin itu pula yang melandasi pemikiran Aristoteles tentang pemerintahan bersama guna memoderasi dua kepentingan itu. Lebih jauh, kelompok kaya yang jumlahnya lebih sedikit daripada kelompok miskin yang merupakan masyarakat kebanyakan itu, menurut pemikiran Aristoteles, akan terus berusaha mendominasi kelompok mayoritas miskin. Untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan, lanjut Jeffrey, Aristoteles menawarkan pemikiran tentang kekuasaan bersama di antara dua kekuatan, yang kini berkembang menjadi demokrasi.

”Demokrasi yang kita alami sekarang adalah formula yang kompromistis guna membentuk pemerintahan yang kuat sehingga yang jumlahnya sedikit (kelompok kaya) tidak menekan kelompok yang banyak (kelompok miskin). Begitu pula sebaliknya, agar juga tidak terjadi kelompok yang banyak itu menekan kelompok yang sedikit atau tirani mayoritas,” papar Jeffrey.

Dengan pemikiran itu, demokrasi yang ada selama ini sejatinya dibangun di atas kompromi antara kekuatan partisipasi rakyat (demokrasi) dan keberadaan oligarki di satu sisi. Keduanya akan saling terhubung untuk menjaga keseimbangan satu sama lain dalam suatu tata pemerintahan yang dimaksudkan untuk setara.

Percampuran antara partisipasi dan pelibatan rakyat dalam kekuasaan itu dan kekuatan kelompok berpunya, menurut Jeffrey, berhasil menciptakan stabilitas dan perdamaian. Sebab, ada akses pada kekuasaan yang melibatkan segenap pihak dalam pola tersebut.

”Hanya saja, yang tidak dipikirkan dalam formulasi pemikiran Aristoteles itu ialah bahwa dengan sistem itu, inequality (ketidaksetaraan) akan terus terkunci (terus ada) di dalam pola hubungan itu. Ketika telah menjadi ketidaksetaraan yang radikal dan mencerabut hak orang lain dalam harga dirinya sebagai manusia, misalnya karena tidak bisa mengakses permukiman, kesehatan, dan pendidikan yang layak, jalan satu-satunya untuk keluar dari situasi itu ialah dengan melawan ketiaksetaraan itu,” katanya.

Hubungan erat antara upaya politik itu dan demokrasi juga tergambarkan dengan munculnya pola ketimpangan yang makin dalam di sejumlah negara demokrasi. Ketimpangan itu menunjukkan dominasi oligarki ke dalam demokrasi.

Oligarki, menurut Jeffrey, adalah upaya politik untuk mempertahankan kekayaan atau kemakmuran. Hubungan erat antara upaya politik itu dan demokrasi juga tergambarkan dengan munculnya pola ketimpangan yang makin dalam di sejumlah negara demokrasi. Ketimpangan itu menunjukkan dominasi oligarki ke dalam demokrasi. Fenomena itu terjadi di Indonesia, termasuk juga di Amerika Serikat saat ini.

”Indonesia tahun 1960-an jauh lebih setara daripada sekarang, di mana ketimpangan saat ini makin dalam. Di AS juga terjadi hal yang sama. Saat ini di sana kekayaan tiga orang setara dengan kekayaan 50 persen populasi. Di satu sisi, demokrasi memang berkembang, tetapi ketidaksetaraan yang laten di dalam pola relasi kuasa itu terkunci (tidak hilang). Ketimpangan di Indonesia memang tidak seekstrem itu, tetapi Indonesia menuju ke sana,” ujar Jeffrey.

Apa yang menjadi titik lemah dari praktik demokrasi saat ini tentu tidak diinginkan atau mungkin tidak terbayangkan oleh Aristoteles sebelumnya. Namun, lanjut Jeffrey, untuk mengendalikan itu semua, pembatasan terhadap intervensi oligarki ke dalam politik dan hukum mesti dilakukan. Jika itu tidak dilakukan, dominasi kekayaan (wealth) akan mengooptasi sistem politik dan hukum, dan pola kesetimbangan relasi kuasa yang berupaya dibangun dengan demokrasi itu akan terancam.

Jeffrey mengatakan, apa yang membedakan kondisi demokrasi satu negara dengan negara lainnya ialah sejauh mana oligarki itu bebas untuk memengaruhi proses demokrasi dan hukum. Menghilangkan oligarki sepenuhnya dinilai tidak mungkin karena demokrasi sendiri dibangun untuk menciptakan kesetimbangan atau memoderasi kepentingan kelompok kaya dengan kepentingan rakyat kebanyakan.

”Ketika demokrasi didesain untuk mengompromikan antara kepentingan few (kelompok kecil yang kaya) dan many (masyarakat kebanyakan yang umumnya tidak kaya), maka demokrasi didesain untuk mempertahankan keduanya. Menghilangkan salah satunya tentu tidak mudah,” katanya.

Indonesia sangat rentan dengan intrusi oligarki di dalam demokrasi dan sistem hukumnya karena sejumlah faktor. Pertama, sebagai negara demokrasi baru, kemampuan masyarakat sipil (civil society) masih terbatas dan tidak mampu mengimbangi kapasitas yang dimiliki oleh kelompok oligarki. Kedua, kekayaan terkonsentrasi dengan cepat di kelompok kecil masyarakat di Indonesia, yang semuanya itu dapat digunakan untuk berbagai agenda, termasuk tujuan politik. Sistem politik Indonesia yang sangat transaksional mencerminkan kondisi itu.

Ketiga, Indonesia tidak memiliki badan atau institusi yang sah untuk mencegah oligarki mengontrol partai atau faktor-faktor elektoral lainnya. Dengan mudahnya pemilik modal mendirikan partai politik, yang pendanaannya bersifat top-down (dari atas ke bawah) oleh oligark bersangkutan. Tidak ada parpol yang dibiayai bottom up (dari bawah ke atas). Hal itu dapat dilihat pula dengan jelas bagaimana intrusi oligarki itu, antara lain, masuk melalui dana-dana kampanye pemilihan yang pengelolaan dan pelaporannya tidak pernah diungkap secara terbuka.

Untuk mengatasi kelemahan ini, menurut Jeffrey, solusi yang dapat dilakukan saat ini ialah memotong satu generasi dan memberikan kesempatan perubahan itu kepada anak-anak muda. Mereka yang muda cenderung tidak memedulikan apa yang realistis dan apa yang tidak dapat dilakukan. Dengan kenaifan itu, mereka dapat melakukan suatu lompatan besar untuk mengatasi persoalan ini. Namun, sekali lagi Jeffrey mengingatkan, oligarki hanya dapat dikendalikan, tetapi tidak dapat dihapuskan sepenuhnya dalam pola relasi kuasa.

”Yang bisa dilakukan ialah mengurangi pengaruh mereka terhadap kelompok rakyat kebanyakan (many),” ucapnya.

Tidak hanya politik

Sementara itu, editor buku Demokrasi Tanpa Demos, Wijayanto, mengatakan, demokrasi yang dibahas di dalam buku itu tidak hanya bicara soal parpol, demokrasi, pemilu, dan hal-hal besar lainnya terkait dengan demokrasi prosedural. Namun, buku yang diluncurkan itu juga membahas soal hal-hal lain dalam kehidupan masyarakat demokrasi, seperti kesetaraan jender, lingkungan, geliat anak muda, dan kebudayaan. Semua itu ditulis oleh para ahli dan cendekia dari sejumlah negara.

Buku itu sendiri diwujudkan dengan sumbangan tulisan dari 77 cendekiawan lintas ilmu dari dalam dan luar negeri. Sebagian besar dari penulis itu juga diundang dalam rangkaian webinar yang digelar oleh LP3ES sejak 30 Oktober 2020 hingga 5 Juni 2021. Total ada 135 ilmuwan yang diundang dalam diskusi oleh LP3ES. Dari jumlah itu, 77 orang menuliskan refleksi kritisnya dalam bentuk artikel. Artikel itu lalu dikompilasi dan diterbitkan menjadi buku berjudul Demokrasi Tanpa Demos.

”Banyak persoalan yang menggerogoti demokrasi, bukan hanya soal institusi politik dan parlemen, melainkan juga lingkungan, jender, media, dan banyak hal lainnya, ditulis di buku ini. Persoalan yang beragam ini menunjukkan ada hal mendesak yang mesti dilakukan untuk mencegah demokrasi tanpa demos. Artinya, demokrasi selama ini dilakukan secara prosedural, tetapi secara substansi tidak dilakukan untuk kepentingan rakyat,” ujarnya.

Banyak persoalan yang menggerogoti demokrasi, bukan hanya soal institusi politik dan parlemen, melainkan juga lingkungan, jender, media, dan banyak hal lainnya, ditulis di buku ini.

Ward Berenschot, ilmuwan perbandingan antropologi politik dari University of Amsterdam dan University of Leiden, yang juga hadir secara virtual dalam peluncuran buku, antara lain membahas konflik lahan yang kerap terjadi di Indonesia. Ia membahas nasib tiga warga di Kotawaringin Timur yang bernama Dilik, Hermanus, dan James Watt. Ketiganya dituduh mencuri sawit di wilayah perkebunan yang diklaim milik PT Hamparan Mas Bangun Persada (HMBP).

”Dari hasil pemeriksaan di kemudian hari, terbukti lahan itu bukan wilayah perkebunan HMBP, tetapi hak-hak warga tidak dikembalikan. Mereka dilaporkan ke polisi dan dipenjara, hingga Hermanus diketahui meninggal saat dipenjara,” kata Ward.

Apa yang terjadi kepada tiga warga itu mencerminkan bagaimana warga sulit memperjuangkan hak mereka ketika berhadapan dengan perusahaan besar. Sekalipun bukti-bukti menunjukkan perusahaan besar itu tidak berhak atas wilayah perkebunan tersebut, hak-hak kepemilikan warga atas tanah itu juga tidak dipulihkan oleh pengadilan. ”Warga mengalami kondisi rightless atau ketiadaan hak,” ucapnya.

Konflik lahan yang kerap melibatkan warga dengan perusahaan besar, sekali lagi, menurut Ward, menunjukkan kuasa uang (kekayaan) memang menginfiltrasi seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia. Oligarki memengaruhi berbagai aspek dan hajat hidup warga, termasuk hak-hak mereka atas tanah.

Pembicara lainnya, Yatun Sastramidjaja, Asisten Profesor Bidang Antropologi di University of Amsterdam, menyoroti bagaimana anak-anak muda Indonesia dalam mengekspresikan pendapatnya kini banyak bertransformasi menggunakan media sosial. Fenomena yang sebelumnya tidak ditemui dalam Reformasi 1998. Perkembangan itu di satu sisi juga direspons oleh negara dengan pendekatan keamanan digital yang ketat. Pendekatan represif yang dilakukan negara melalui polisi digital dipandang sebagai kemunduran demokrasi.

Namun, menurut Yatun, keberadaan kelompok muda yang menemukan tempat penyaluran di media sosial dalam beberapa kasus juga berpadu dengan kelompok anak muda yang turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Hal itu seperti ditemui saat peristiwa penolakan terhadap Rancangan KUHP dan RUU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/08/19/demokrasi-bertahan-jika-bisa-mengendalikan-intervensi-oligarki/