Sistem politik Indonesia hanya menempatkan demokrasi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, sehingga demokrasi berjalan sebatas prosedural saja. Padahal inti demokrasi adalah masyarakat yang berdaya, karena tanpa hal itu negara tidak akan bisa eksis dan demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.
“Demokrasi harus dijalankan dengan institusi-institusi dan prosedur, karena demokrasi sebagai konsep yang begitu abstrak harus dioperasionalkan, tapi ensinya harus akuntabel kembali ke warga dan dipertanggungjawabkan ke warga,” kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti dalam diskusi online yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Universitas Paramadina, (9/1).
Dalam diskusi bertajuk “Masa Depan Demokrasi Jika Dinasti Jokowi Menang” tersebut Bivitri mengatakan, saat ini semua lembaga pengontrol kekuasaan dilemahkan dan dirusak. Sehingga menimbulkan fenomena autocratic legalism dalam demokrasi. Ia menyebut, melalui fenomena itu semua hal bisa bersembunyi di balik hukum dan legalitas yang memiliki karakter otokratisme.
“Harusnya hukum dibuat berdasarkan apa yang dipahami sebagai kebenaran. Namun sekarang hukum digunakan untuk melegitimasi yang salah bisa menjadi benar. Kalau hukum negara bilangnya begitu, maka yang harus itu. Padahal hukum dibentuk oleh penguasa yang bisa dibengkokkan karena otoritas yang dia miliki,” tuturnya.
Menurutnya, pelemahan demokrasi melalui hukum itu sudah dilakukan sejak lama, terbukti dengan adanya upaya pembunuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pelemahan Mahkamah Konstitusi (MK). Semuanya dilakukan dalam koridor hukum melalui pembentukan perundang-undangan dan penegakan hukum, yang tujuan akhirnya adalah kontrol yang lemah sehingga demokrasi mudah untuk diselewengkan.
“Apapun hasil dari Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti itu tidak akan banyak mengubah demokrasi secara signifikan, karena itu warisan sistem politik yang sudah rusak sejak awal. Untuk itu harus ada perombakan sistem secara total,” ungkapnya.
Sementara itu menurut Direktur Center Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto struktur kekuasaan yang oligarkis membuat pemilu hanya menjadi ritual untuk sirkulasi elite belaka bukan tentang publik dan warga negara. Ia menyebut terdapat kemiripan antara gaya kepemimpinan Pemerintahan Joko Widodo dan Pemerintahan Orde Baru dalam upaya melanggengkan kekuasaan, meski dengan cara yang lebih halus.
“Demokrasi memang bukan barang yang jatuh dari langit, kita harus merawat dan menjaganya. Benar bahwa demokrasi kita diujung tanduk, tapi apakah kita harus menunggu hingga demokrasi kita benar-benar mati,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Founder PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah. Menurutnya demokrasi bukan sesuatu yang diformat sekali untuk selamanya, sehingga perlu perjuangan yang bertahap untuk perbaikan demokrasi. Namun Eep menekankan, dalam waktu lima tahun setelah pemilu, upaya perbaikan pada undang-undang yang bermasalah harus diutamakan.
“Kita harus merehabilitasi demokrasi kita yang sudah mengalami berbagai kerusakan. Sejak awal demokrasi memang menyadari setiap orang berpotensi menyelewengkan kekuasaan dan ingin berkuasa. Untuk itu demokrasi membatasi kekuasaan. Dan kekuasaan Presiden harus diatur ulang dengan membatasi kekuatan diujung terminnya, karena dengan segala kekuasaan yang dimiliki Presiden punya kecenderungan untuk menyelewengkan dan merusak demokrasi,” tegasnya. []