August 8, 2024

Demokrasi Indonesia Masih Stagnan

JAKARTA, KOMPAS – Indeks Demokrasi Indonesia 2017 mengindikasikan kondisi demokrasi Indonesia sedikit membaik dibanding tahun sebelumnya, tapi relatif stagnan jika dilihat dalam rentang waktu hampir satu dekade. Penguatan fungsi partai politik dalam rekrutmen politik, kaderisasi, dan pendidikan politik warga yang berkelanjutan menjadi salah satu kunci untuk memecah stagnasi demokratisasi di Indonesia.

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2017 yang diluncurkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Rabu (15/08/2018) mencapai angka 77,11. Angka ini sedikit membaik dibandingkan IDI 2016 yang mencapai 70,9. Dalam skala 0-100, semakin besar nilai indeks, maka semakin baik kondisi demokrasi.

Kendati angka ini membaik, tetapi tetap masih lebih rendah dari capaian IDI tahun 2014 (73,04) dan 2015 (72,82). Selain itu, dalam kurun waktu sembilan tahun sejak indeks ini disusun pada 2009, nilai IDI berfluktuasi kendati ada tren perbaikan secara gradual. Pada tahun 2009, IDI tercatat 67,30. BPS membuat tiga kategori demokrasi, yakni buruk (kurang dari 60), sedang (60-80, serta baik (lebih dari 80). Dengan begitu, sejak 2009 hingga 2017, demokrasi Indonesia masih belum beranjak dari kategori sedang.

IDI merupakan indeks komposit yang berbasis pada tiga aspek, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Tiga aspek itu dijabarkan dalam 11 variabel yang diukur menggunakan 28 indikator. Pada IDI 2017, aspek kebebasan sipil mendapat nilai 78,75, hak politik 66,63, dan lembaga demokrasi 72,49. Lembaga demokrasi mencatat kenaikan paling tinggi dibanding tahun sebelumnya, yakni 10,44 poin.

Dari aspek itu, variabel peran parpol meningkat tajam, yakni 19,35 poin menjadi 71,64. Hal ini disumbang oleh dua indikator yakni, kegiatan kaderisasi yang dilakukan parpol peserta pemilu, yang naik dari tahun lalu 47,90 menjadi 68,91 serta persentase perempuan pengurus parpol, yang naik dari 91,84 menjadi 96,27.

Tim Ahli IDI yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat mengingatkan publik perlu berhati-hati dalam membaca kenaikan jumlah signfikan kegiatan kaderisasi yang dilakukan partai politik. Secara kuantitatif memang peningkatannya signifikan, tetapi indeks ini belum bisa merekam kualitas aktivitas kaderisasi yang dilakukan partai.

“Jika dilihat dalam kurun waktu sembilan tahun ini, IDI belum terlalu menggembirakan. Bahkan bisa dikatakan jalan di tempat. Ini harus diwaspadai karena pengalaman beberapa negara berkembang, seperti Meksiko, bila kondisi demokrasi stagnan, tidak dikelola dengan baik, maka demokrasi bisa mundur,” kata Syarif.

Oleh karena itu, dia mendorong elite bercermin dari kondisi demokrasi Indonesia saat ini untuk mengubah perilaku mereka. Sebab, jika elite tetap mempertahankan oligarki politik dalam tubuh partai politik serta meninggalkan fungsi kaderisasi, maka kepercayaan masyarakat akan turun terhadap demokrasi. Selain itu, akan terjadi pembusukan lembaga demokrasi.

Mendobrak

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga meyakini bahwa kunci untuk mendobrak stagnasi demokrasi ialah dengan memfungsikan partai politik, tidak hanya dalam fungsi elektoral, tetapi agar terus mewarnai perjalanan demokrasi secara berkesinambungan dalam bentuk pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen.

Dia juga menyebutkan, naiknya peran partai politik pada IDI 2017, tidak terlepas dari adanya perhelatan pilkada serentak 2017. “Data itu memperlihatkan fungsionalisasi parpol baru muncul ketika ada agenda elektoral. Ketika tidak ada agenda elektoral, kemampuan dan fungsi parpol mennadi terbatas. Kalau parpol bisa berfungsi terus menerus, ada optimisme bahwa sebagian dari masalah demokrasi kita bisa dibenahi,” kata Titi. (ANTONY LEE)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2018 di halaman 2 dengan judul “Demokrasi Masih Stagnan”.карго китайvoyage à moscou