Hasil Pemilu 2024 dianggap belum menjamin demokrasi di Indonesia akan berjalan dengan baik dan menghasilkan pemerintahan nasional, regional, dan lokal terhubung dengan efektif. Hal itu karena transisi demokrasi di Indonesia tidak pula dibarengi pelembagaan demokrasi yang terkonsolidasi. Menurut Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro hal tersebut dampak amandemen konstitusi yang menghasilkan sistem politik dan tata negara yang tidak memiliki hubungan institusional sama sekali.
“Semua itu berdampak karena tidak adanya koherensi dan konsistensi dalam reformasi institusional sejak tahun 1998,” ujar Zuhro dalam diskusi online bertajuk “Masa Depan Demokrasi Indonesia” yang digelar Forum Guru Besar Insan Cita, (10/3).
Menurut Zuhro sistem perwakilan proporsional yang berubah-ubah berpengaruh pada tidak terbangunnya pola relasi yang stabil dan bersambung antara konstituen dengan wakil rakyat. Perubahan implementasi sistem proporsional tertutup tahun 1999, setengah terbuka tahun 2004, lalu terbuka sejak 2009 hingga saat ini dipandang tidak berpengaruh pada peningkatan kualitas akuntabilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurutnya, multipartai tidak mendukung skema sistem demokrasi presidensial karena terlalu banyaknya kepentingan jangka pendek partai politik untuk mempertahankan kekuasaan.
“Saya mengusulkan beberapa perbaikan. Antara lain, perbaikan sistem pemerintahan, dalam hal ini penyempurnaan skema sistem demokrasi presidensial jika telah menjadi pilihan final bangsa dan perlu peninjauan kembali format sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian,” jelasnya.
Zuhro juga menyoroti perbaikan politik hukum sesuai penataan format pemilu dan skema demokrasi. Hal itu penting untuk memastikan orientasi hukum yang berkeadilan dan berporos pada kepentingan bangsa, melalui hal itu menurutnya demokrasi yang beradab dan berkualitas dapat berjalan.
“Kita selalu lupa bahwa demokrasi tidak akan pernah jalan tanpa diberikan landasan yang kokoh kualitas hukum kita,” imbuhnya.
Sementara itu Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli setelah berlangsungnya Pemilu 2024, memandang penegakan demokrasi di Indonesia akan mengalami problem serius. Pandangan tersebut berdasarkan banyaknya kecurangan, kepentingan pihak-pihak tertentu dalam pemilu. Bahkan ia tidak yakin hasil Pemilu 2024 dapat menegakkan demokrasi atau justru menghancurkan demokrasi.
Gambaran tersebut, kata Romli meskin tidak sampai melahirkan otoritarianisme, namun menciptakan electoral otokrasi. Menurutnya, penegakkan demokrasi secara singkat bisa disalurkan melalui hak angket. Meski hal itu menjadi hak mutlak partai, ia berharap setelah pengumuman hasil pemilu, politik di Indonesia memiliki koalisi besar sebagai oposisi sebagai penyeimbang.
Hal senada diungkapkan oleh Peneliti Utama BRIN, Firman Noor, menurutnya masyarakat boleh optimis soal demokrasi Indonesia, namun sejarah dunia akan selalu bergolak ketika kebebasan masih belum berjalan dengan baik dunia itu akan selalu mencari bentuk jalan terbaiknya. Ia memandang setelah satu dekade Indonesia menjadi negara demokratis, 10 tahun belakangan terjadi gelombang balik kemunduran.
“Setelah Jokowi menang tahun 2014, sistem politik kita menjadi demikian elitis. Saat ini negara yang elite bisa disentuh dan diajak bercanda ngobrol, namun ketika membuat kebijakan tetap maunya elite. Belum murni otoritarian namun sudah tidak lagi murni demokrasi,” jelas Firman.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Firman kehadiran kalangan kritis dari universitas menjadi penting untuk mengedukasi arti penting demokrasi pada masyarakat. Di tengah ketimpangan ekonomi akut dan ketidakmandirian ekonomi, demokrasi akan sangat mudah dihancurkan. Untuk itu menurutnya, kalangan yang sadar akan politik dan masyarakat sipil perlu bersama-sama mengontrol pemerintahan selanjutnya dengan masif.
Masalah lainnya, partai politik telah kehilangan idealisme yang diperjuangkan, menurutnya partai politik saat ini hanya bernafsu untuk berkuasa sehingga hanya membangun dinasti politik masing-masing. Firman memandang para politisi saat ini hanya menjadi mesin partai yang kemudian mereduksi jiwa negarawan atas kepentingan masyarakat.
“Karena yang terjadi saat ini adalah terbelinya partai oleh oligarki dan dinasti politik dan menyebabkan munculnya pragmatisme. Seandainya, partai memiliki idealisme kuat terhadap konstitusi, tidak akan terjadi, tapi ini semua bisa terjadi karena dukungan penuh yang disadari oleh kepentingan ingin berkuasa dari partai yang ada,” pungkasnya Firman. []