August 8, 2024

Demokrat dan PKS Dorong Revisi UU Pemilu

Dua fraksi di luar koalisi pemerintah, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera mendorong terus dilakukan revisi terhadap Undang-undang Pemilu. Revisi UU itu dinilai penting untuk membangun sistem pemilu yang lebih baik dan mengoreksi sejumlah kekurangan yang terjadi dalam Pemilu 2019, maupun Pilkada 2020. Penolakan sejumlah fraksi lainnya pun dinilai masih berupa dinamika yang sifatnya belum resmi disampaikan, lantaran belum ada pembicaraan lebih jauh di internal Komisi II DPR selaku pengusul RUU Pemilu.

Dinamika sikap fraksi dan wacana penolakan terhadap pembahasan RUU Pemilu terus bergulir dari fraksi-fraksi koalisi pemerintah. Terbaru, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani dalam keterangan tertulisnya mengatakan, partainya mengusulkan agar UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tetap dipertahankan. Alasannya, hal itu semi menjaga kualitas demokrasi serta dengan mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19 yang memerlukan perhatian lebih komprehensif.

Ia mengatakan, sejak Pemilu 1999, Indonesia selalu mengalami perubahan sistem pemilu, setiap lima tahun sekali. Perubahan itu mencakup sistem penghitungan suara, sistem pemilu apakah akan terbuka atau tertutup, ambang batas (threshold) baik pencalonan presiden maupun penghitungan kursi yang selalu naik, sampai konversi suara menjadi kursi, dan besaran daerah pemilihan (dapil) yang juga selalu bertambah.

“Ini yang menyebabkan pola pemilu tidak pernah ajeg, dan tidak pernah bisa dilakukan perbaikan kualitasnya, karena sistemnya selalu berubah. Partai politik selalu menyesuaikan dengan UU yang baru setiap lima tahun,” ujarnya.

“Ini yang menyebabkan pola pemilu tidak pernah ajeg, dan tidak pernah bisa dilakukan perbaikan kualitasnya, karena sistemnya selalu berubah. Partai politik selalu menyesuaikan dengan UU yang baru setiap lima tahun”

Senada dengan dua parpol lainnya yang lebih dulu menolak pembahasan, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muzani beralasan saat ini semua pihak harus fokus pada penanganan pandemi. Pembahasan RUU Pemilu akan memakan energi besar, dan pembahasan yang intens secara langsung sukar diwujudkan.

“Situasinya sekarang masih masa pandemi Covid-19, di mana pembahasan secara langsung tidak dimungkinkan. Atau perdebatan-perdebatan yang memakan waktu dalam rapat-rapat harus dihindari. Sebaiknya energi kita digunakan untuk pemulihan ekonomi nasional dan pemulihan energi nasional termasuk energi kita digunakan untuk penanganan Covid-19 yang lebih komprehensif,” ujar Muzani.

Dorong perbaikan

Sementara wacana penolakan pembahasan RUU Pemilu bergulir di antara parpol koalisi, dua parpol di luar koalisi pemerintah menghendaki revisi tetap dilakukan demi perbaikan sistem pemilu. Anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat Wahyu Sanjaya mengatakan, normalisasi jadwal pilkada pada 2022 dan 2023 dipandang sebagai upaya yang bagus untuk dilaksanakan. Pertimbangannya ialah mengurangi potensi timbulnya kluster baru Covid-19. “Kita tidak tahu sampai kapan pandemi berakhir. Belum tentu juga 2024 selesai. Apabila kita melaksanakan serentak di daerah (pilkada) itu 2024, potensi untuk terjadinya kluster Covid-19 semakin besar, daripada jika kita menyelenggarakannya bertahap di 2022 dan 2023,” ujarnya.

Selain itu, menurut Wahyu revisi UU Pemilu itu diperlukan sebagai bentuk evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019, yang serentak antara pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Sejumlah celah harus diperbaiki, misalnya tentang penataan daftar pemilih tetap (DPT), yang datanya antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri beberapa kali tidak sesuai. Di sisi lain, penegakan hukum pemilu dan penanganan sengketa pemilu juga menjadi problem besar.

“Kita banyak lihat pelanggaran-pelanggaran pemilu lambat ditindaklanjuti. Sekalipun ada laporan, tetapi kerap dibiarkan saja, dan tahapan tetap berlanjut. Misalnya, ketika ada gugatan atau laporan pelanggaran, hal itu tidak menghentikan tahapan, sehingga hasilnya lambat ditindaklanjuti,” ujarnya.

Terkait dengan sikap beberapa fraksi koalisi pendukung pemerintah yang menolak RUU Pemilu, menurut Wahyu, itu hak mereka. Namun, ia perlu menegaskan dan mengingatkan bahayanya jika RUU Pemilu itu tidak direvisi. Ada celah-celah kelemahan yang membuat penyelenggaraan pemilu selanjutnya menjadi tidak sesuai harapan. “Apakah nanti itu (RUU Pemilu) setuju diteruskan ataukah tidak diteruskan, kita semua sepakat hal itu akan diselesaikan tata cara bernegara dan berpolitik yang baik. Kalau belum disepakati, ya kewajiban kami untuk menyuarakan hal yang benar. Paling tidak, kami sudah mengingatkan,” ungkap Wahyu.

Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera, Jumat, akhir pekan lalu, mengatakan, masyarakat harus terlibat dalam diskursus RUU Pemilu. Penolakan yang dilakukan sejumlah parpol itu pun harus dilandasi oleh alasan yang kuat. Sebab, pembahasan RUU Pemilu itu pun sudah disepakati bersama di Komisi II. Namun, beberapa parpol kini justru menolak setelah RUU berproses di Badan Legislasi (Baleg).

“Pembahasan RUU Pemilu dari Komisi II sudah selesai. Sekarang ada di Baleg. Namun anehnya, ada beberapa partai mulai menolak revisi, padahal ketika di Komisi II mereka perlu revisi,” uajrnya.

Mardani mengatakan, revisi UU Pemilu diperlukan berlandas pada evaluasi Pemilu 2019, ketika 894 petugas KPPS meninggal, serta proyeksi munculnya ratusan Plt (pelaksana tugas) akibat nihilnya Pilkada serentak tahun 2022 dan 2023. Menurut dia, hal ini dapat menjadi pertimbangan serius untuk merevisi UU Pemilu. Kemunculan Plt ditakutkan akan memunculkan oligarki yang terstruktur.

“Kalau dibilang landasan untuk tidak revisi adalah biar tidak perlu (revisi) 5 tahun sekali, saya pikir ini sesuatu yang sangat naif. Dibandingkan dampaknya, yakni dengan adanya ratusan Plt selama masa yang sangat panjang, ini amat sangat berbahaya. Hal ini bisa melahirkan tirani baru, bisa melahirkan oligarki yang terstruktur. Lalu, koreksi pelaksanaan Pemilu 2019, ketika ratusan petugas KPPS meninggal. Revisi perlu agar kita tidak jatuh di lubang yang sama.” ujar Mardani.

Revisi perlu agar kita tidak jatuh di lubang yang sama.

Mardani juga mengkhawatirkan polarisasi seperti pada Pilpres 2019 terulang jika UU Pemilu tidak direvisi. Hal ini mungkin terjadi karena ambang batas pencalonan presiden yang cukup tinggi, yakni 20 persen suara. PKS menawarkan revisi, yakni dengan menurunkan ambang batas pencalonan presiden menjadi 10 persen kursi atau 15 persen suara.

Masih berproses

Ditanyai terpisah mengenai kemungkinan penundaan pembahasan RUU Pemilu setelah adanya sejumlah parpol yang menolak pembahasan, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan,  hal itu harus melalui mekanisme yang diatur oleh tata tertib DPR. Sebab, pernyataan fraksi-fraksi dan petinggi parpol itu baru disampaikan melalui media, atau wacana di publik, tetapi belum diutarakan resmi dalam sikap fraksi di DPR.

“Fraksi-fraksi itu menyatakan di mana (bukan di DPR). Kita tunggu saja, karena pengusungnya bukan fraksi-fraksi, melainkan Komisi II. Ini kan masih dinamis, dan semua masih berproses, ya nanti kita lihat saja,” ucapnya.

Saat ini, RUU itu sudah masuk ke Baleg untuk harmonisasi dan sinkronisasi. Namun, karena hingga saat ini program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021 belum juga dibawa ke paripurna, proses di Baleg dihentikan sementara menunggu paripurna. “Prolegnas Prioritas 2021 disahkan dulu, baru RUU Pemilu ini berproses di Baleg. Kalau mau dicabut, harus mengikuti mekanisme. Misalnya, kalau  pemerintah tidak setuju, ya mereka bisa menolak untuk mengirimkan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Tidak bisa tiba-tiba dicabut, karena ini kan sudah ada kesepakatan dengan pemerintah, dan draf sudah di Baleg,” ucapnya.

Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Baleg yang juga dipimpin Willy telah melakukan rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Dalam raker itu, RUU Pemilu termasuk yang disetujui menjadi prioritas dituntaskan 2021. Namun, hingga saat ini, prolegnas itu belum dibawa ke paripurna.

Ditanyai mengenai adanya pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan sejumlah perwakilan partai koalisi beberapa waktu lalu, yang kemudian disusul pernyataan penolakan mereka atas pembahasan RUU Pemilu, menurut Willy, tidak dapat serta-merta dijadikan dasar penolakan. “Memang ada pertemuan dengan para mantan jubir Pilpres 2019. Presiden mengutarakan beberapa catatan,” ucapnya.

Menurut Willy, fraksinya melihat usulan RUU Pemilu itu baik, karena ingin memperbaiki sistem pemilu. Jika penyelenggaraan pilkada dibarengkan dengan tahun yang sama dengan pilpres dan pileg, penyelenggaraannya akan karut-marut, karena berpotensi waktu penyelenggaraan tumpang tindih antara tiga jenis pemilihan itu. Jeda waktu tujuh bulan di tahun 2024 dipandang tidak memadai.

“Kalau Nasdem melihatnya bagaimana agar kita tidak terjebak pada terjadinya krisis elektoral. Kita tidak mau hasilnya tidak memiliki legitimasi karena tahapannya tumpang tindih, antara tiga pemilihan itu. Saat tahapan pilpres dan pileg belum selesai, lalu sudah disusul dengan tahapan pilkada, ujarnya.

Willy mengatakan, jangan ada keinginan untuk secara tidak fair mencegah calon bertarung dalam Pilkada 2022 dan 2023. Sirkulasi kekuasaan itu, lanjutnya, harus secara fair, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh aktor-aktor utama. “Nanti, kalau tidak ada pilkada, lalu banyak muncul pejabat kepala daerah yang banyak, dan diserahkan kepada siapa itu semua. Sebab, akan ada ratusan orang, sementara jumlah orang di Kemendagri terbatas,” katanya.

Sebelumnya, Kemendagri juga menyatakan keberatan dengan revisi UU Pemilu. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan, ketentuan pilkada serentak nasional pada 2024 di UU No 10/2016 tentang Pilkada, saat ini belum dilakukan. Dengan demikian, menurut dia, revisi tidak tepat (Kompas, 30/1/2021).

“Dalam konteks itu, pembahasan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada harus ditempatkan urgensinya dalam desain sistem yang jauh lebih matang untuk tidak digonta-ganti setiap menjelang pemilu. Oleh karena itu, saya menyayangkan perdebatan terkait dengan tahun pilkada dalam diskusi revisi RUU Pemilu tersebut tanpa melihat kepentingan jangka panjang UU ini dihadirkan”

Willy mengatakan, sikap Kemendagri yang semacam itu justru kontradiktif atau inkonsisten dengan maksud penyelenggaraan Pilkada 2020 yang menginginkan tidak ada kekosongan kekuasaan sedikit pun, sehingga dalam masa pandemi pun pilkada itu tetap digelar. Namun, ketika ada potensi Pilkada 2022 dan 2023, Kemendagri justru bersikap sebaliknya, dan ingin menundanya, sehingga justru memicu munculnya kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, keputusan untuk mengubah atau tidak mengubah UU Pemilu sebaiknya tidak didasarkan pada kepentingan jangka pendek parpol, melainkan dengan mempertimbangkan perbaikan sistem pemilu.

“Dalam konteks itu, pembahasan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada harus ditempatkan urgensinya dalam desain sistem yang jauh lebih matang untuk tidak digonta-ganti setiap menjelang pemilu. Oleh karena itu, saya menyayangkan perdebatan terkait dengan tahun pilkada dalam diskusi revisi RUU Pemilu tersebut tanpa melihat kepentingan jangka panjang UU ini dihadirkan,” ujarnya. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/01/demokrat-dan-pks-dorong-revisi-uu-pemilu/