Penyelenggaraan Pemilu 2019 menorehkan sejarah baru bagi panggung politik Indonesia. Salah satunya dengan digelarnya pemilu serentak secara nasional untuk pertama kali, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Sayangnya, pemilihan umum legislatif menyisakan dilema tersendiri, terutama terkait posisi calon anggota legislatif terpilih.
Fakta menyebutkan, meskipun caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak dalam penerapan sistem proporsional terbuka, kekuasaan partai politik tetap berpeluang menentukan keterpilihan mereka. Padahal, penerapan sistem pemilu dengan mekanisme proprosional terbuka bertujuan membangun kedekatan pemilih dengan anggota legislatifnya.
Upaya ini diperkuat dengan suara terbanyak sebagai syarat bagi caleg menduduki kursi yang diraih partai politik. Harapannya, legislator yang terpilih benar-benar dikehendaki pemilih, tak sekadar kepanjangan tangan partai. Namun, harapan ini tak sepenuhnya mudah terwujud.
Sejumlah penggantian caleg terpilih oleh partai menjelang penetapan hasil pemilu oleh KPU menjadi sinyal bahwa posisi caleg yang terpilih belum sepenuhnya aman. Mereka yang secara sistem dan mekanisme konversi suara sah terpilih karena mendapatkan suara terbanyak harus rela melepas kursi gara-gara keputusan partai. Hal ini terjadi setidaknya menjelang KPU menetapkan caleg (DPR) terpilih pada akhir Agustus lalu.
Ada dua partai politik yang mengajukan permohonan agar caleg mereka diganti dengan sejumlah alasan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), misalnya, mengajukan penggantian terhadap tiga calegnya untuk tidak ditetapkan. Satu orang dari Dapil Sumsel I karena meninggal dunia, sedangkan dua orang lainnya dari Dapil Kalbar I karena mundur dan dipecat partai. Untuk kasus caleg yang meninggal, tentu hal itu tak bisa dipermasalahkan. Namun, untuk pemecatan dua caleg lainnya, kasusnya menarik untuk dikaji.
Partai Gerindra melakukan hal serupa. Empat caleg terpilih Gerindra diganti DPP Gerindra dengan alasan menindaklanjuti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait gugatan sejumlah caleg partai itu atas hasil pemilu.
Menariknya, mencermati putusan PN Jaksel, ada keterangan ahli yang menyatakan, jika suara partai politik lebih besar dari suara caleg, partai dapat menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi. Dalam catatannya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan, keterangan ahli tersebut bertentangan dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu.
Mengacu pada Pasal 420 UU No 7/2017, disebutkan bahwa penetapan perolehan jumlah kursi tiap partai peserta pemilu di suatu dapil dilakukan dengan tahapan pertama, yakni penetapan jumlah suara sah setiap partai politik peserta pemilu di dapil.
Kedua, membagi suara sah tersebut dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya. Ketiga, hasil pembagian diurutkan berdasarkan nilai suara terbanyak. Keempat, nilai terbanyak pertama mendapatkan kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapatkan kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapatkan kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di dapil habis terbagi.
Untuk melakukan PAW pun, partai tak bisa melakukannya sewenang-wenang.
Jika mengacu pada tahapan-tahapan tersebut, jelas suara terbanyak menjadi dasar seorang calon legislatif terpilih berhak mendapatkan kursi. Partai tak lagi berwenang menentukan siapa yang berhak menduduki kursi yang diraih partai dalam proses konversi suara ke dalam kursi tersebut.
Penggantian calon terpilih lebih pas menggunakan mekanisme penggantian antarwaktu (PAW). Untuk menggunakan mekanisme ini, tentu caleg yang terpilih berdasarkan hasil Pemilu 2019 mesti dilantik dulu. Pelantikan ini bertujuan menghormati suara pemilih mengingat berdasarkan sistem konversi kursi, raihan suara terbanyak menjadi penentu caleg terpilih menduduki kursi parlemen.
Untuk melakukan PAW pun, partai tak bisa melakukannya sewenang-wenang. Pasal 426 Ayat (1) UU No 7/2017 menyebutkan, ada empat alasan untuk mengganti calon terpilih, yakni meninggal; mengundurkan diri; tak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/ kota; serta terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Suara caleg
Penerapan sistem proporsional terbuka secara tak langsung juga membuat pemilih cenderung memberikan suara kepada caleg. Ada kemungkinan suara yang diraih caleg mengungguli suara yang ditujukan hanya pada partai politik.
Hasil pengolahan Litbang Kompas, dari perolehan suara 575 anggota DPR terpilih, hampir separuh anggota DPR terpilih (49,2 persen) meraih suara lebih banyak dari suara yang hanya ditujukan pada partai. Hal ini mengindikasikan, ada lebih banyak pemilih yang mencoblos calon anggota legislatif dibandingkan pemilih yang hanya mencoblos gambar partai politik.
Bahkan, ada perolehan suara anggota DPR yang jauh melebihi suara murni partai (suara yang hanya ditujukan ke partai politik). Dari 283 anggota DPR terpilih, sepuluh di antaranya mendulang suara jauh melebihi suara partai di daerah pemilihannya, bahkan kisarannya 9-45 kali lipat lebih banyak ketimbang suara murni yang ditujukan ke partai.
Dari 10 anggota DPR terpilih dengan suara jauh lebih besar dari suara partai ini, enam di antaranya berasal dari Dapil Jatim XI (Madura) dan dua di antaranya berasal dari Dapil Sulawesi Selatan I. Ada nama Haruna MA yang terpilih melalui Dapil Sulsel I dengan pencapaian 46.692 suara. Angka ini 45 kali lipat lebih besar daripada perolehan partainya (PKB), yakni 1.040 suara. Selanjutnya, di urutan kedua, ada Willy Aditya dengan 190.814 suara dari Dapil Jawa Timur XI. Perolehan ini 35 kali lipat lebih banyak daripada perolehan partainya (Nasdem), yakni 5.347 suara.
Partai politik tak berwenang menentukan keterpilihan caleg.
Merujuk kecenderungan ada banyak pemilih yang memberikan suara (mencoblos) untuk caleg dibandingkan partai, bisa dikatakan terdapat indikasi kuat sistem proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak lebih mendukung penguatan kedaulatan pemilih dibandingkan proporsional tertutup. Praktik penggantian caleg terpilih sebelum dilantik dengan alasan pelanggaran aturan partai berpotensi menggerus kedaulatan pemilih.
Bagaimanapun kedaulatan pemilih harus dijamin, seperti yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 22-24/PUU-VI/ 2008. Penerapan sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak membuka ruang bagi pemilih untuk bebas memberikan suara guna menentukan wakilnya di lembaga legislatif. Hal ini bertolak belakang dengan kecenderungan partai yang mengabaikan perolehan suara caleg sehingga membuat sistem proporsional menjadi dilema bagi mereka.
Untuk menghindari dilema tersebut, upaya ”memotong” calon terpilih dengan memanfaatkan kuasa partai harus dihindari. Penegasan hal ini penting dituangkan dalam regulasi, khususnya jika revisi terhadap UU Pemilu dilakukan. Penyelenggara dan peserta pemilu harus konsisten menjaga kedaulatan pemilih.
Merujuk undang-undang, partai politik tak berwenang menentukan keterpilihan caleg. Suara yang diraih sebuah partai hanya dipakai untuk menghitung total suara partai itu dalam pembagian kursi. Adapun perolehan kursi tetap ditentukan oleh seberapa banyak suara yang diraih caleg dari partai peraih kursi. (Litbang Kompas)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/12/13/evaluasi-pemilu-dilema-sistem-proporsional-terbuka/