November 15, 2024

DPR Cari Sosok Kooperatif

Calon Petahana Dicecar tentang Uji Materi UU Pilkada ke MK

JAKARTA, KOMPAS — Uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU periode 2017-2022 di DPR, Senin (3/4), menjadi ajang bagi partai politik mencari penyelenggara pemilu yang dapat diajak bekerja sama jelang Pemilu 2019. Di tengah upaya intervensi itu, KPU mendatang diharapkan tetap menjaga independensi dan kemandiriannya.

Keinginan partai untuk mencari penyelenggara pemilu yang kooperatif itu terlihat dari materi pertanyaan yang diajukan sebagian besar anggota Komisi II DPR dalam uji kelayakan dan kepatutan terhadap 14 calon anggota KPU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/4).

Terdapat tiga sesi uji kelayakan dan kepatutan. Sejak sesi pertama, anggota Komisi II cenderung mencecar calon yang berasal dari unsur KPU periode 2012-2017. Seperti diketahui, hubungan antara DPR dan KPU selama ini terkesan kurang harmonis karena beberapa perbedaan pendapat.

Topik yang sering diungkit dalam uji kelayakan dan kepatutan adalah uji materi KPU ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 9A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu mengatur, dalam menyusun peraturan teknis, KPU harus mengacu pada keputusan mengikat rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah. KPU menganggap pasal itu mengganggu independensinya.

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Zulkifli Anwar, mengatakan, ke depan, DPR menginginkan penyelenggara pemilu yang dapat seiring sejalan dengan Komisi II. Tindakan komisioner KPU periode 2012-2017 yang menggugat Pasal 9A UU Pilkada dilihat sebagai sikap non-kooperatif.

“Jangan sampai, setelah anggaran disahkan, lalu KPU menohok dan menghujat Komisi II. Ini bicara komitmen antara KPU dan Komisi II sebagai mitra,” kata Zulkifli, menyindir relasi KPU-DPR yang selama ini panas-dingin.

Keinginan serupa juga disampaikan mayoritas anggota Komisi II lainnya. Rambe Kamarul Zaman dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, KPU tidak boleh menjadi cabang kekuasaan tersendiri. Oleh karena itu, KPU harus bersedia bekerja sama dengan partai politik dan DPR sebagai perpanjangan tangan partai di legislatif.

“Mandiri itu bukan berarti KPU tidak boleh dicampuri siapa-siapa. KPU tidak mungkin bebas nilai, KPU itu bukan nabi,” kata Rambe.

Sebagian besar dari 14 calon komisioner KPU yang diuji kemarin merupakan anggota KPU periode ini, baik di tingkat pusat maupun provinsi. Hanya satu calon yang berasal dari unsur akademisi.

Salah satu calon, Arief Budiman, yang saat ini masih menjabat sebagai komisioner KPU mengatakan, prinsipnya KPU tidak boleh diintervensi pihak lain. Meskipun KPU harus berkoordinasi dengan lembaga lain, termasuk DPR, dalam membuat kebijakan, hal itu bukan berarti pengambilan keputusan KPU dapat diintervensi lembaga lain. Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan alasan KPU mengajukan uji materi.

Jaga independensi

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, pertanyaan sebagian anggota Komisi II cenderung mencari pembenaran atas pola hubungan mereka selama ini dengan KPU. DPR terlalu berlarut-larut pada sentimen kelembagaan tersebut dibandingkan dengan menggali tantangan kepemiluan Indonesia ke depan dan bagaimana KPU harus menghadapi tantangan tersebut.

Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan, DPR seharusnya menggali potensi, kapasitas, dan terobosan para calon komisioner KPU, khususnya dalam menghadapi Pemilu 2019 yang merupakan kali pertamanya pemilu presiden dan pemilu legislatif diadakan bersamaan.

Kerja sama yang baik antara DPR dan KPU memang dibutuhkan, tetapi hal itu tidak boleh sampai mengganggu independensi dan kemandirian KPU. “Kooperatif dengan DPR bukan berarti KPU bersedia tunduk pada keinginan DPR,” ujar Syamsuddin. (AGE)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/kompas/2017/20170404kompas/#/2/