September 13, 2024

DPR Tolak Realokasi Kursi

Pemerintah Batasi Tambahan untuk Daerah Otonom Baru

JAKARTA, KOMPAS — Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat sepakat menambah 19 kursi DPR. Usul itu muncul karena DPR menolak realokasi kursi dari daerah pemilihan dengan rasio keterwakilan berlebih ke yang kurang.

Usulan tersebut akan membuat jumlah kursi DPR bertambah dari 560 menjadi 579. Sementara di sisi lain, pemerintah membatasi 5 atau 10 kursi tambahan DPR untuk mengakomodasi daerah otonom baru.

Usul tambahan 19 kursi belum mencapai titik temu antara DPR dan pemerintah dalam rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/5). Keputusan terkait dengan kursi tambahan DPR dalam RUU Pemilu dijadwalkan diambil pada Selasa.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu DPR Ahmad Riza Patria menjelaskan, realokasi atau redistribusi kursi akan memunculkan guncangan sosial di daerah pemilihan yang kursinya dikurangi. “Kami tidak mau mengurangi dapil yang keterwakilannya telanjur berlebih. Bayangkan saja, kalau dikurangi, bisa ribut. Bukan kami yang ribut sebagai anggota DPR, tetapi masyarakatnya,” ujar Riza seusai rapat.

DPR juga memunculkan opsi menambah 10 kursi menjadi total 570 kursi DPR tanpa realokasi dan redistribusi. Sebelumnya, muncul usulan menambah lima atau 10 kursi, tetapi dengan diiringi realokasi dan redistribusi. Namun, setelah penolakan dari sejumlah fraksi yang tidak ingin ada pengurangan kursi, DPR akhirnya menyepakati penambahan 19 atau 10 kursi tanpa realokasi.

Selama ini, alokasi kursi DPR belum sepenuhnya ideal sehingga keterwakilan tidak adil dan setara. Ada provinsi yang alokasi kursinya berlebihan (over-represented), seperti Sumatera Barat yang berpenduduk 4,84 juta jiwa memiliki 14 kursi DPR dari seharusnya 11 kursi.

Ada pula provinsi yang tidak memperoleh kursi sebagaimana mestinya (under-represented), seperti Riau yang berpenduduk 5,87 juta jiwa hanya dialokasikan 11 kursi DPR dari seharusnya 13 kursi. Untuk memenuhi prinsip keadilan dan kesetaraan antar-provinsi, realokasi atau redistribusi kursi sebenarnya merupakan salah satu solusi.

Namun, DPR berkukuh menentangnya. “Realokasi saya tidak setuju, mau ditambah berapa pun saya tidak setuju. Masa ditambah lima kursi, tetapi harus redistribusi? Mana bisa seperti itu? Jangan ada yang dikurangi, ditambah saja sekalian. Pemerintah juga jangan pelit-pelit, dong,” ucap Rambe Kamarul Zaman dari Fraksi Partai Golkar.

Tambahan 19 kursi usulan DPR untuk Riau (2 kursi), Lampung (2), Kalimantan Barat (2), dan Papua Barat (2). Sementara 13 kursi lagi untuk Sumatera Utara (1 kursi), Kepulauan Riau (1), Jambi (1), Sumatera Selatan (1), DKI Jakarta (1), Jawa Barat (1), Sulawesi Tenggara (1), Nusa Tenggara Barat (1), dan Kalimantan Utara (1).

Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Yuswandi Temenggung mengatakan, pemerintah akan menggelar rapat internal untuk menentukan sikap. Pemerintah masih tetap pada posisi menyarankan penambahan kursi sebanyak lima atau 10 kursi. Penambahan lima kursi ditujukan untuk Kalimantan Utara (3 kursi), Riau (1), dan Kepri (1). Sementara penambahan 10 kursi untuk 5 provinsi lain yang kursinya dikurangi saat pemilu lalu, antara lain Maluku karena pemekaran Maluku Utara, Papua karena Papua Barat, Sulawesi Utara karena Gorontalo, dan Kalimantan Timur karena Kalimantan Utara.

“Esensi awal sebenarnya kami mau ada redistribusi agar ada yang ditambah dan ada yang dikurangi,” kata Yuswandi.

Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, pemerintah tetap berpendapat kursi tambahan DPR hanya untuk daerah otonom baru saja, yakni 5 kursi. Kendati demikian, pemerintah masih menunggu lobi-lobi dan keputusan yang diambil di DPR.

“Kemungkinan diputuskan melalui voting,” ujar Tjahjo.

Secara terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Heroik Mutaqin Pratama, mengatakan, penambahan jumlah kursi akan meningkatkan kebutuhan biaya partai politik dan biaya politik setiap kandidat. Dia mengkritik pembahasan RUU Pemilu yang justru tak menyentuh masalah perekrutan calon legislatif di internal parpol. “Untuk 560 anggota DPR saat ini saja tidak diketahui seperti apa perekrutan di dalam parpol, apalagi jika jumlah anggota DPR ditambah,” kata Heroik.

Hal lain yang mencuat dalam pembahasan RUU Pemilu adalah parpol yang memenuhi syarat wajib mengajukan pasangan calon presiden/calon wakil presiden saat pemilu presiden. Jika tidak, parpol tidak dapat mengikuti pemilu selanjutnya.

Calon tunggal

Aturan ini dimunculkan untuk mencegah calon tunggal dalam pemilu presiden. Syarat dimaksud salah satunya terkait dengan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden yang masih dibahas pemerintah dan Pansus RUU Pemilu. Sebagian fraksi menginginkan masih ada ambang batas, sebagian lagi tidak.

Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy mengatakan, Pansus sudah menyepakati aturan itu dimasukkan. Namun, sanksi tidak serta-merta dijatuhkan.

Sebelum sanksi dijatuhkan, Komisi Pemilihan Umum harus lebih dulu membuka kembali pendaftaran calon presiden/wakil presiden selama 14 hari setelah diketahui hanya satu pasangan calon yang didaftarkan hingga batas akhir pendaftaran. Jika masih belum ada pendaftar juga, pemilu presiden tetap digelar dengan calon tunggal.

“Bagi partai yang telah memenuhi syarat, tetapi tidak mengajukan calon, dijatuhi sanksi tidak bisa ikut pemilu legislatif dan presiden selanjutnya,” katanya.

(AGE/INA/NTA/APA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2017, di halaman 2 dengan judul “DPR Tolak Realokasi Kursi”.

 http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/30/DPR-Tolak-Realokasi-Kursi