Dari 10 meja di ruang pendaftaran partai politik di Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Senin (9/10) siang, satu meja tampak sibuk melayani sejumlah orang dengan atribut Partai Persatuan Indonesia. Hari itu, Perindo menjadi parpol pertama yang mendaftar untuk mengikuti Pemilu 2019.
Sebelum kedatangan kader Perindo, ruang pendaftaran parpol yang dibuka sejak 3 Oktober lalu itu hanya didatangi oleh beberapa pengurus parpol yang berkonsultasi. KPU memperkirakan parpol baru akan ramai-ramai mendaftar di hari terakhir pendaftaran pada 16 Oktober. Pendaftaran yang riuh di hari-hari terakhir terjadi pula saat pendaftaran parpol peserta Pemilu 2014 pada 10 Agustus-7 September 2012.
Namun, apakah suasana yang sama-sama relatif sunyi di awal pendaftaran kali ini juga akan berujung pada pengulangan “badai” di pengujung tahapan pendaftaran parpol peserta Pemilu 2014 pada tahun 2012?
Tahap pendaftaran Pemilu 2014 setidaknya diwarnai tiga drama yang membuat persiapan pemilu jadi riuh. Pertama, muncul uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif terkait pasal yang mengatur verifikasi tidak dilakukan atas parpol yang telah punya kursi di parlemen. Sepekan sebelum penutupan pendaftaran parpol peserta pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan partai politik yang lolos ambang batas parlemen Pemilu 2009 tetap harus menjalani proses verifikasi (Husein dan Pramono, Penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, 2017).
Drama kedua muncul dengan “panasnya” hubungan antarpenyelenggara pemilu, yakni antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPU. Saat itu, 12 parpol yang dinyatakan KPU tidak lolos penelitian administrasi mengadu ke Bawaslu. Lalu, Bawaslu merekomendasikan KPU melakukan verifikasi faktual terhadap 12 parpol itu.
Pada saat bersamaan, Bawaslu juga merekomendasikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik anggota KPU. Kelanjutan drama berlangsung pada babak akhir saat parpol yang tidak lolos verifikasi faktual kemudian menempuh sengketa melalui jalur yang berbeda-beda, yakni ada yang melalui Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Agung.
Uji materi MK
Seperti halnya tahun 2012, kini tahapan pendaftaran berada di bawah “bayangan” uji materi Undang-Undang Pemilu. Pada kurun waktu dua bulan terakhir, MK menerima 13 permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jika dikelompokkan, ada empat hal yang jadi materi gugatan, yakni perihal verifikasi parpol, ambang batas pencalonan presiden, kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh, dan keterwakilan perempuan di kepengurusan parpol.
Dari empat kategori itu, uji materi verifikasi parpol tengah menjadi perhatian pemangku kepentingan pemilu. Selain karena tahapan pendaftaran parpol yang sudah berjalan, hal ini juga disebabkan isu yang diuji materi dalam kadar tertentu mirip dengan uji materi 2012, yakni soal parpol mana yang harus melewati verifikasi faktual dan mana yang tidak.
Isi gugatan pada saat ini juga bisa dibedakan menjadi dua. Ada penggugat yang ingin sama sekali tidak ada verifikasi parpol untuk menjadi peserta pemilu dan penggugat yang ingin agar semua parpol harus diverifikasi faktual untuk menjadi peserta Pemilu 2019, tidak terkecuali parpol peserta Pemilu 2014.
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, berharap putusan MK terhadap pasal terkait verifikasi partai politik peserta pemilu bisa segera keluar sebelum pendaftaran ditutup. Namun, jikapun tidak bisa, dia berharap putusan itu bisa muncul sebelum KPU memulai tahapan verifikasi faktual yang akan dimulai 15 Desember 2017. Namun, KPU berada dalam posisi menunggu apa pun putusan yang dikeluarkan MK. Dengan kata lain, “bola” apakah akan muncul keriuhan drama babak pertama saat ini ada di tangan MK.
Sipol
Terkait dengan potensi drama babak kedua, relasi Bawaslu-KPU yang panas terkait dengan persoalan sengketa, benihnya sudah mulai terlihat lewat menghangatnya relasi KPU-Bawaslu akibat beda pandangan soal Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). KPU menetapkan Sipol sebagai prasyarat pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2019 dalam Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu Legislatif 2019. Sistem ini dinilai akan memudahkan proses verifikasi, memperkuat basis data partai, sekaligus bisa menyajikan data untuk diakses publik setelah pendaftaran usai.
Namun, Bawaslu berpendapat Sipol tidak diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “Sipol tidak ada itu (dalam UU Pemilu). Kami mengantisipasi perdebatan hukum jika ada sengketa,” kata anggota Bawaslu, M Afifuddin.
Pada tahun 2012, di antara beberapa alasan Bawaslu merekomendasikan 12 parpol yang tidak lolos penelitian administrasi untuk diikutkan verifikasi faktual, salah satunya karena pengadaan dan penyelenggaraan Sipol. Akan kembali munculkah keriuhan babak kedua itu? “Gejala itu ada. Saya dengar Bawaslu sudah berkirim surat (terkait Sipol),” kata mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay.
Hadar menyayangkan langkah Bawaslu yang dinilainya muncul belakangan, padahal sudah ada sosialisasi Sipol maupun forum konsultasi Peraturan KPU No 11/2017. Dia khawatir, surat Bawaslu itu akan dijadikan amunisi oleh parpol yang belum siap. Hadar berharap KPU dan Bawaslu bisa saling mengisi agar tidak dimanfaatkan pihak ketiga. Tahapan pendaftaran punya posisi signifikan untuk memastikan kualitas peserta pemilu.
Jika pada tahapan itu ada persoalan, bukan tidak mungkin drama ketiga, sengketa multijalur, juga akan terjadi setelah KPU menetapkan parpol yang lolos dan tidak lolos menjadi peserta Pemilu 2019.
Semua pemangku kepentingan tentu ingin proses Pemilu 2019 berjalan baik sehingga menghasilkan “produk” politik yang prima pula. Bisakah hal itu terwujud? Nihil sub sole novum. Tiada sesuatu yang benar-benar baru di bawah mentari. Namun, yang akan menentukan adalah bagaimana semua pihak bersiap agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama. (ANTONY LEE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2017, di halaman 5 dengan judul “Drama Tiga Babak yang Kembali Berulang?”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/10/10/Drama-Tiga-Babak-yang-Kembali-Berulang