August 8, 2024

Fokus RUU Pemilu Bukan Hanya Keserentakan

Tarik-menarik kepentingan yang terjadi di antara fraksi-fraksi di DPR terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pemilu masih lebih banyak berkutat pada apakah pilkada dilaksanakan pada 2022 dan 2023 ataukah dipertahankan pada 2024. Padahal, banyak isu lain di dalam RUU Pemilu memerlukan perhatian terutama yang terkait dengan upaya perubahan sistem pemilu, peradilan pemilu, dan pencegahan polarisasi masyarakat yang tajam.

Fokus semata-mata pada penyelenggaraan pilkada cenderung berpotensi menjatuhkan wacana RUU Pemilu hanya pada kepentingan jangka pendek parpol, serta subyektivitas politik setiap parpol. Sementara di sisi lain ada kebutuhan revisi UU Pemilu dengan berkaca pada pelaksanaan Pemilu 2019 yang meninggalkan sejumlah persoalan.

Peta politik sementara, dari sembilan fraksi DPR, tiga fraksi menolak pembahasan RUU Pemilu, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Gerindra. Ketiganya beralasan RUU Pemilu tidak perlu dilakukan dan sebaiknya fokus pada penanganan pandemi. Selain itu, ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur keserentakan pilkada dan pemilu presiden (pilpres) dengan pemilu legislastif (pileg) dalam satu tahun, 2024, belum diterapkan. Oleh karena itu, fraksi-fraksi itu berpandangan agar ketentuan mengenai keserentakan pilkada dengan dua jenis pemilihan itu diterapkan terlebih dulu sebelum direvisi.

Adapun empat fraksi, yakni Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat, dan Golkar, menilai revisi UU Pemilu perlu tetap dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019. Pengaturan pilkada dan pemilu pun dinilai sebaiknya dilakukan di  dalam satu UU yang sama untuk menghindari tumpang tindih dan perbedaan pengaturan di antara pilkada dan pemilu.

Dinamika politik yang berkembang dalam pembahasan RUU Pemilu itu merupakan hal yang wajar karena setiap parpol pasti memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Sekalipun titik berat penolakan itu ialah pada keserentakan pilkada dan pemilu, tetapi RUU Pemilu pada dasarnya tidak hanya membahas isu keserentakan.

Dua fraksi lainnya, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menolak UU Pilkada diutak-atik, terutama yang menyangkut penyelenggaraan Pilkada 2024. Namun, kedua partai masih membuka ruang untuk pembahasan isu lain di dalam RUU Pemilu, seperti ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas raihan suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold), metode konversi suara, sistem pemilu, dan besaran kursi setiap daerah pemilihan (dapil).

Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, Selasa (2/2/2021), di Jakarta, mengatakan, dinamika politik yang berkembang dalam pembahasan RUU Pemilu itu merupakan hal yang wajar karena setiap parpol pasti memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Sekalipun titik berat penolakan itu ialah pada keserentakan pilkada dan pemilu, tetapi RUU Pemilu pada dasarnya tidak hanya membahas isu keserentakan. Perbedaan pendapat soal keserentakan pemilu dapat dibicarakan lebih jauh, termasuk dengan pemerintah.

”Keprihatinan publik terkait beberapa hal harus pula diperhatikan. Misalnya tentang kebutuhan peradilan khusus pemilu, upaya menekan politik uang dan mahar politik, dan desain kelembagaan penyelenggara pemilu, itu juga penting dibicarakan. Oke, katakanlah mayoritas ingin Pilkada 2024, tetapi ada hal-hal lain yang mesti dievaluasi dari Pemilu 2019,” katanya.

Pemerintah, kata Saan, harus juga membuka ruang terkait dengan revisi UU Pemilu. ”Pemerintah jangan menutup ruang revisi UU Pemilu. Jadi, itu semua bisa dikompromikan. Dari sekian banyak isu RUU Pemilu, mana pemerintah yang keberatan, dan mana yang tidak keberatan. Kan, kita menganut pembahasan UU bersama antara pemerintah dan DPR,” ujarnya.

Beberapa teknis penyelenggaraan juga harus dipikirkan bersama. Jika pilkada dan  pemilu digelar pada tahun yang sama, apakah UU yang ada saat ini sudah menyediakan cukup waktu jika dilakukan pilpres putaran kedua. Tidak adanya petahana menyebabkan Pilpres 2024 kemungkinan lebih dinamis. Selain itu, harus pula dihitung potensi tumpang tindih jadwal pilpres dan pileg dengan pilkada.

”Di saat KPU selesai menyelenggarakan pilpres dan pileg, mereka mulai menyiapkan diri menghadapi gugatan sengketa pemilu. Di saat yang sama, mereka juga harus menyiapkan tahapan pilkada. Belum lagi jika ada putaran pilpres kedua. Hal ini tentu harus diantisipasi. Jangan kita tahu suatu jalan itu berbahaya, lalu tetap saja kita lewati,” ujar Saan.

Alasan pandemi

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, dinamika yang berkembang di antara fraksi-fraksi itu harus dihargai. Namun, fraksinya menilai UU Pilkada tidak perlu diubah.

”Sampai sekitar dua tahun ke depan, kita masih harus fokus pada penanganan pandemi Covid dan masalah ekonomi yang ditimbulkannya. Dengan skema pilkada serentak nasional tahun 2024, situasi politik nasional akan lebih kondusif dan anggaran negara dapat difokuskan untuk memulihkan ekonomi, mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat pandemi Covid-19,” katanya.

Sampai sekitar dua tahun ke depan, kita masih harus fokus pada penanganan pandemi Covid dan masalah ekonomi yang ditimbulkannya. Dengan skema pilkada serentak nasional tahun 2024, situasi politik nasional akan lebih kondusif dan anggaran negara dapat difokuskan untuk memulihkan ekonomi, mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat pandemi Covid-19.

Terkait revisi UU Pemilu, menurut Luqman, itu hal yang berbeda. Sebab, RUU Pemilu menyangkut hal lain yang juga penting, seperti presidential thresholdparliamentary threshold, besaran dapil, sistem konversi suara, dan sistem pemilu.

”Revisi UU Pemilu itu, kan, terkait konversi suara apa masih pakai Sainte Lague, jumlah calon di dapil berapa banyak maksimal dan minimal. Kalau soal isu-isu itu mau dibahas, silakan saja. RUU Pemilu ini kan juga bicara soal penyederhanaan parpol. Namun, kalau (pemilu) dilakukan serentak 2024, akan terjadi konsolidasi antara pemilu nasional dan pemilu daerah,” ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, fraksinya terbuka dengan pembahasan RUU Pemilu. Namun, sejak awal partainya memberikan catatan bahwa untuk penyelenggaraan pilkada tetap pada 2024.

”Kalau RUU Pemilu mengatur Pilkada 2022 dan 2023, mungkin kami juga akan menolak pembahasannya,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry K Rizkiyansyah menuturkan, jika pilkada serentak nasional dilakukan 2024, tetap diperlukan perbaikan regulasi pemilu. Dengan hanya ada jeda tujuh bulan, potensi tumpang tindih tahapan itu berpotensi terjadi.

”Jika pemilu nasional 2024 dilakukan April, maka tahapan akan dimulai Mei atau Juni 2022. Adapun tahapan pilkada mulai November 2023. Di sinilah akan terjadi tumpang tindih persiapan dan pengelolaan tata kelola pemilunya. Oleh karena itu, perlu penataan melalui regulasi,” katanya.

Kalaupun KPU diminta membuat rekayasa dan antisipasi pilkada dan pemilu serentak 2024, harus ada dasar hukum yang jelas. Dalam menghadapi kemungkinan Covid-19 belum teratasi 2024, misalnya, perlu ada norma UU yang adaptif dan inovatif terhadap Covid-19. Misalnya, dalam pengaturan waktu tahapan, teknis kampanye, early voting, desentralisasi logistik, dan digitalisasi pemilu dengan optimalisasi rekapitulasi elektronik (Sirekap).

”Dengan kondisi desain seperti ini perlu adanya rekayasa elektoral yang dituangkan ke dalam UU dan tidak cukup dengan aturan KPU,” katanya.

Penjabat kepala daerah

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar meminta KPU agar tidak serta-merta menjadikan Pemilu 2019 sebagai acuan dilakukan revisi UU Pemilu. Dia malah mempertanyakan KPU, apakah telah mengaudit persoalan-persoalan yang terjadi pada Pemilu 2019 tersebut.

”Apa (masalah) di Pemilu 2019 terkait masalah distribusi, teknis pengaturan atau hanya semata-mata kelelahaan? Apa ada hasil audit penyelenggaraan? Pilkada 2020 lebih berat di tengah pandemi tetapi aman,” kata Bahtiar.

Menurut Bahtiar, pemilu serentak 2024 harus tetap dilaksanakan sesuai perintah undang-undang. Penyelenggara pemilu pun harus melakukan simulasi terlebih dahulu untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan pemilu serentak tersebut.

”Apa KPU sudah pernah susun simulasi (Pemilu) 2024? Kalau ada masalah yang lalu, apa solusi ke depan? Simulasi (Pemilu) 2024 perlu dilakukan,” ujar Bahtiar.

Bahtiar berpandangan, jika Pemilu 2024 dipersiapkan dengan baik, kisah pilu penyelenggaraan pada Pemilu 2019 tak akan terulang kembali. Apalagi, persiapan menuju Pemilu 2024 masih panjang. Jika KPU membutuhkan inovasi-inovasi untuk menunjang penyelenggaraan, menurut Bahtiar, hal tersebut cukup diatur lewat peraturan KPU.

”Ya, rencanakan dari sekarang. Cukup persiapan lebih panjang tiga tahun. Rencana dan antisipasi jauh-jauh hari,” katanya.

Terkait pengisian penjabat kepala daerah akibat pelaksanaan Pemilu 2024, menurut Bahtiar, itu semua telah diatur di dalam Pasal 201 UU Pilkada. Penjabat bupati dan wali kota akan diisi oleh pejabat eselon 2 (pejabat tinggi pratama), sedangkan penjabat gubernur akan diisi oleh pejabat eselon 1 (pejabat tinggi madya).

”Bukan pelaksana tugas, tapi penjabat. Kewenangan penjabat kepala daerah sama dengan dengan pejabat defenitif,” ujar Bahtiar.

Karena itu, Bahtiar meyakini tak akan ada masalah dalam pengisian penjabat. Penyelenggaraan pemerintahan pun dijamin akan tetap berjalan normal.

”Pelayanan masyarakat tak ada yang berkurang bahkan bisa dikontrol DPRD dan masyarakat. Jika ada penjabat kepala daerah yang melanggar, seketika bisa diganti atau diberhentikan. Misalnya, tak melayani masyarakat dengan baik dan lain-lain,” katanya.

Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, pun menegaskan, penyelenggara pemilu tidak dalam posisi memperdebatkan revisi UU Pemilu. Sebab, penyelenggara pemilu hanya menjalankan amanah sesuai yang tertera di undang-undang.

”Kami tentu menghormati pembentuk undang-undang. Posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu, kami tidak mendebat undang-undang. Jadi kami yang melaksanakan. Namun, sejauh nanti dibuka ruang, tentu dengan senang hati KPU akan memberikan masukan-masukan,” ujarnya.

Kami tentu menghormati pembentuk undang-undang. Posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu, kami tidak mendebat undang-undang. Jadi kami yang melaksanakan. Namun, sejauh nanti dibuka ruang, tentu dengan senang hati KPU akan memberikan masukan-masukan.

KPU, kata Raka, saat ini tengah fokus mengevaluasi program-program, inovasi-inovasi, kinerja sosialisasi serta partisipasi masyarakat, secara khusus selama pelaksanaan Pilkada 2020.

Pada Februari mendatang, seusai proses sengketa pemilihan di Mahkamah Konstitusi, KPU juga akan fokus untuk persiapan dan penataan kelembagaan termasuk organisasi, sumber daya manusia, serta peningkatan kapasitas.

Melalui evaluasi ini, KPU akan menyempurnakan lagi program-program dan regulasi yang ada sehingga bisa menjadi dasar pelaksanaan pilkada atau pemilu selanjutnya. Harapannya, pendidikan pemilih berkelanjutan dan peningkatan kualitas pemilu.

”Dengan demikian, kapan pun nanti pemilu atau pilkada diselenggarakan, kami harapkan, jajaran kami, KPU, ataupun masyarakat pemilih sudah siap untuk itu,” ujar Raka. (RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/02/fokus-ruu-pemilu-bukan-hanya-keserentakan/