Pelanggaran Kampanye di Media Sosial Akan Diproses Hukum
JAKARTA, KOMPAS — Fragmentasi sosial berpotensi kian meluas pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 jika media sosial dipakai untuk merebut suara dengan menggunakan siasat informasi palsu atau pembentukan identitas eksklusif kelompok.
“Tahun 2018 dan 2019 kita tidak tahu akan menjadi seperti apa karena eskalasi (fragmentasi) dan pembentukan echo chamber (ruang gema) akan diakselerasi media sosial secara kuat,” kata Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia Septiaji Eko Nugroho dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/5).
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia mengusulkan agar pemerintah mengantisipasi hal itu dengan penegakan hukum atas penggunaan media sosial yang melanggar aturan. Pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama juga perlu membangun “rumah klarifikasi”, tempat masyarakat bisa mengecek silang isu-isu yang tidak benar. Gerakan edukasi dan gerakan untuk membuat orang berpikir kritis terhadap informasi juga harus terus dibangun.
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta mengemukakan kekhawatiran serupa soal penggunaan media sosial dalam Pilkada 2018 yang akan digelar di 171 daerah dan Pemilu 2019. Menurut dia, potensi “anarkisme” media sosial dalam kampanye harus diantisipasi. “Pilkada (DKI Jakarta tahun 2017) kemarin menjadi peringatan untuk pemilu yang akan datang,” ujarnya.
Septiaji mengatakan, secara teknis sangat sulit menerapkan sanksi administrasi berupa pembatalan kepesertaan dalam pemilihan bagi pasangan calon yang menggunakan media sosial untuk menyebar informasi palsu atau berbau suku, agama, ras, dan antar-golongan. Hal ini karena umumnya mereka melibatkan “penyamaran” akun sehingga memutus koneksi antara pasangan calon dan pengguna akun penyebar informasi tersebut.
Namun, dia berpendapat, penegak hukum bisa hadir dalam ruang maya dengan memberi komentar-komentar hukum pada informasi yang palsu atau berbau SARA. Hal ini akan menimbulkan efek penggentaran. Namun, pemilik akun yang memang menggunakan siasat informasi palsu dan SARA untuk memenangi pemilihan tetap harus ditindak sesuai hukum.
Progresif
Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, menyampaikan, KPU tidak dalam posisi bisa melacak pengelola akun media sosial yang melanggar aturan kampanye. Berdasarkan pengalaman, jumlah akun tim sukses yang dilaporkan ke KPU amat terbatas. Namun, akun-akun “pasukan siber” yang banyak justru tidak diketahui.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan menjanjikan kebijakan progresif untuk menggunakan undang-undang umum guna menjerat pihak yang melanggar aturan kampanye menggunakan media sosial. Hal ini untuk menyiasati ketiadaan aturan khusus untuk menghadapi kampanye di media sosial.
“Bisa dengan menggunakan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) menggunakan pidana umum bekerja sama dengan penyidik kepolisian untuk penyidikannya. Kami akan terapkan ini,” ucapnya. (GAL)
http://print.kompas.com/baca/polhuk/hukum/2017/05/15/Fragmentasi-Bisa-Meluas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Mei 2017, di halaman 2 dengan judul “Fragmentasi Bisa Meluas”.