November 28, 2024

Gangguan Informasi Pemilu 2024 dan Antisipasi Pilkada Serentak

Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 gangguan informasi pemilu diprediksi bakal kembali meningkat. Berbeda dengan Pilpres, gangguan informasi di Pilkada memiliki kekhasan masing-masing daerah. Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat sejak 2018 hingga 2023 disinformasi terkait politik terus meningkat, terutama selama pemilu.

“Pada tahun 2023, dari 2.330 disinformasi yang kami temukan, lebih dari separuhnya sebanyak 1.292 terkait dengan politik, dan 646 di antaranya spesifik mengenai pemilu. Tren ini meningkat setiap tahunnya,” kata Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho dalam diskusi online Perludem bertajuk “Potret Gangguan Informasi di Pemilu 2024 dan Potensinya di Pilkada Serentak 2024” (11/6).

Septiaji menerangkan, terdapat tiga jenis gangguan informasi yakni; misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Ia memaparakan, misInformasi merupakan informasi yang disebarkan oleh masyarakat tanpa mengetahui bahwa informasi itu salah. Kemudian Informasi yang sengaja disebarkan untuk menyesatkan disebut disinformasi. Sementara malinformasi adalah Informasi yang benar tetapi digunakan dengan cara yang menyesatkan, misalnya dipotong atau dikeluarkan dari konteks.

Lebih lanjut, Septiaji mengatakan, disinformasi sering kali berbentuk foto asli tetapi digunakan secara menyesatkan atau dipotong. Pada Pilpres 2024 lalu, menurutnya disinformasi digunakan untuk menyerang kandidat sebagai bagian dari kampanye gelap. Kesalahpahaman itu sering kali digunakan untuk menyebarkan disinformasi.

Sementara platform yang paling banyak digunakan untuk menyebar disinformasi adalah YouTube, diikuti oleh TikTok, Facebook, Twitter, dan aplikasi percakapan. Menurut Septiaji tantangan yang dihadapi saat Pemilu 2024 adalah konten hoaks lebih banyak menggunakan video. Berdasarkan temuannya, konten hoaks video menyebar lebih cepat dan lebih luas dibanding bentuk lainnya.

“Saat ini, konten mayoritas berbentuk video, yang membuat disinformasi lebih mudah menyebar karena video lebih menarik bagi audiens,” terang Septiaji.

Saat ini konten video yang dibuat dengan artificial inteligen mulai bermunculan di Indonesia. Konten deepfake audio atau video itu dibuat menggunakan Generative AI yang juga biasa digunakan dalam pembuatan content writing dan foto kampanye kandidat. Misalnya Deepfake video Presiden Soeharto yang telah wafat viral pada akhir masa kampanye, dalam video itu, Soeharto mengajak pemilih untuk memberikan suara kepada Partai Golongan Karya (Golkar). Selain itu beredar pula video Presiden Joko Widodo berpidato dalam Bahasa Mandarin, serta calon presiden Anies Baswedan, berpidato menggunakan Bahasa Arab.

“Konten yang dibuat dengan kecerdasan buatan juga mulai muncul di Indonesia. Teknologi ini dapat merekayasa audio dan video sehingga sulit dibedakan antara yang asli dan palsu,” terangnya.

Perbedaan Regulasi Penanganan Disinformasi antara Pemilu dan Pilkada

Sementara Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty menuturkan, terdapat perbedaan regulasi mengenai disinformasi pada pemilu dan pilkada. Ia memaparkan, dalam UU Pemilu definisi kampanye sudah dijelaskan lebih detail unsur dan citra yang termuat, sementara dalam UU Pilkada masih sangat umum. Ia juga memandang, definisi penanganan pelanggaran di UU Pilkada masih memiliki banyak kelemahan.

“Di undang-undang Pilkada, Bawaslu hanya bisa memberikan rekomendasi untuk pelanggaran administrasi, sementara di undang-undang Pemilu, putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat,” jelas Lolly.

Mengingat masih banyaknya kelemahan, Lolly mengatakan pentingnya memperluas kacamata regulasi yang digunakan untuk menangani disinformasi. Menurutnya, dengan menggabungkan berbagai regulasi khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE) dapat menjangkau lebih jauh pelanggaran disinformasi di Pilkada 2024.

Ancaman Kerawanan Pilkada 2024

Berdasarkan kerawanan kampanye di media sosial menurut Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Bawaslu untuk Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 menunjukkan pola kerawanan yang berbeda di tingkat provinsi dan kabupaten maupun kota. Provinsi paling rawan kampanye di media sosial bermuatan hoaks, politisasi SARA, dan ujaran kebencian paling tinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Maluku Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo. Sementara tiga kabupaten atau kota dengan kerawanan tertinggi adalah Kabupatenn Intanjaya, Kabupaten Malaka, dan Kota Jakarta Timur.

“Ini menjadi tantangan besar karena penyebaran konten yang tidak akurat tidak terbatas pada satu wilayah saja, namun dapat dimulai dari mana saja di Indonesia,” ujar Lolly.

Sementara hasil pengawasan siber Bawaslu sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 menemukan, dari 355 konten yang sudah diawasi, platform Facebook menjadi platform dengan jumlah dugaan pelanggaran konten paling banyak, yaitu konten 33,2% dan Youtube menjadi paling sedikit dengan dua konten atau 0,6%. Sedangkan berdasarkan jenis, dari 355 konten yang diawasi, ujaran kebencian diidentifikasi menjadi jenis dugaan pelanggaran paling banyak yakni 340 atau 96%, sedangkan jenis berita bohong memiliki jumlah paling sedikit yaitu 5 atau 1%.

Lolly menegaskan, Bawaslu berkomitmen untuk meningkatkan edukasi publik dan kolaborasi dengan pihak terkait dalam rangka menanggulangi tantangan ini menjelang Pemilu 2024. Saat ini pihaknya terus berupaya mengembangkan strategi pengawasan berbasis teknologi dengan penggunaan aplikasi intelijen media dan monitoring konten digital. Ia berharap langkah-langkah strategis itu dapat menciptakan lingkungan pemilu yang lebih bersih, adil dan transparan.

“Kita perlu berpikir maju ke depan, mengatasi berbagai persoalan tanpa melanggar aturan yang ada. Masyarakat sipil menjadi elemen yang sangat penting dalam proses ini,” pungkasnya. []