Khoerul Sarifudin leyeh-leyeh di rumahnya, saat petugas tempat pemungutan suara (TPS) sibuk menyiapkan kebutuhan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta, Rabu (27/11). Ia yang telah menerima surat undangan memilih beberapa hari sebelumnya, tak beranjak ke TPS hingga waktu pemungutan suara ditutup.
Irul, begitu ia akrab disapa,mangkel. Ia memilih untuk golput. Rasa kecewa yang mendalam terhadap kontestasi Pilkada kali ini membuatnya enggan mencoblos. Ia menganggap demokrasi sudah “dibajak” elite politik, tak ada lagi alasan baginya untuk tetap memilih.
“Karena demokrasinya sudah hilang, bukan sakit hati ya, makanya gua di Pilgub ini yaudalah siapa aja (yang terpilih) terserah lu, tapi gua gak milih,” ujar pria yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan ini, kepada Parboaboa, Rabu (4/12).
Kekecewaan Irul bukan tanpa alasan. Banyak pihak menganggap Pilkada Jakarta sudah kehilangan esensinya dan hanya menjadi ajang permainan elite politik. Koalisi gemuk KIM Plus, yang mengusung Ridwan Kamil-Suswono, diduga berupaya memastikan kemenangan mudah. Bahkan, Anies Baswedan, yang memiliki elektabilitas tinggi, disinyalir dijegal agar tak bisa mencalonkan diri.
Awalnya, Ridwan Kamil dirancang melawan pasangan independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Namun, arah politik berubah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ambang batas pencalonan gubernur-wakil gubernur dari 20% menjadi 7,5%. Keputusan ini membuka peluang baru bagi PDI Perjuangan, yang sebelumnya tak memiliki cukup kursi untuk mengusung pasangan calon sendiri.
Momentum ini dimanfaatkan PDI Perjuangan untuk mengajukan kader mereka, Pramono Anung dan Rano Karno, sebagai penantang Ridwan Kamil-Suswono. Dengan dinamika seperti ini, Pilkada Jakarta kembali menjadi ajang pertarungan politik yang penuh intrik.
Bagi Irul, Pilkada Jakarta bukan saja telah “dibajak” elite politik tetapi paslon yang dihadirkan juga tidak bermutu. Irul mengakui, dirinya juga mengikuti serangkaian debat paslon gubernur-wakil gubernur, tapi visi-misi yang ditawarkan tidak substantif. Ia justru menemukan berbagai persoalan di lapangan. Menurut Irul, alih-alih berperang gagasan, para paslon justru bagi-bagi uang demi merebut hati warga.
“Gua kecewa dengan demokrasi kita. Udah gitu pakai sistem politik praktis, bagi-bagi uang di lingkungan gua,” ujar pemuda yang kerja di bidang Informatika ini.
Selain itu, kecurangan di Pilpres lalu juga menjadi faktor Irul enggan memilih paslon gubernur-wakil gubernur Jakarta. Ia merasa muak dengan kondisi politik tanah air pasca Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024 dengan segala kontroversinya.
Kala itu, Irul ikut mencoblos Pilpres 2024. Ia tak ingin paslon Prabowo-Gibran yang menghalalkan segala cara memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Irul dengan tegas tidak memilih pasangan yang “melanggar konstitusi” itu.
“Nyoblos salah satu paslon. Karena gua ingin menjaga demokrasi, supaya Prabowo-Gibran gak menang. Gua milih yang bisa menjaga demokrasi, yang memang gak ada kecurangan dalam prosesnya,” tegasnya.
Partisipasi Pemilih Menurun
Irul bukan satu-satunya yang memilih golput dalam Pilkada Jakarta 2024. Sebanyak 42% atau 3.449.882 pemilih tercatat tidak menggunakan hak pilihnya. Menurut survei Charta Politika, angka ini berdampak langsung pada turunnya partisipasi pemilih, yang hanya mencapai 58% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 8.214.007. Dibandingkan dengan Pilkada DKI 2017, yang mencatat partisipasi di atas 70%.
Peneliti Charta Politika, Dadang Nurjaman, menilai penurunan ini dipengaruhi oleh kejenuhan masyarakat terhadap proses politik. Ia menjelaskan bahwa sosok calon yang tidak menarik bisa menjadi salah satu alasan masyarakat enggan datang ke TPS.
“Atau mungkin bisa jadi karena isu-isu beberapa yang muncul seperti mencoblos, tidak mencoblos, atau kemudian mencoblos semua gitu kan, dan daripada datang kemudian mencoblos semua mungkin saja orang itu lebih pada tidak datang ke TPS,” ujarnya di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Kirana, menilai tingginya angka golput sebagai bentuk protes pasif dari masyarakat. Protes ini muncul karena proses politik dianggap tidak relevan dan tidak memberikan dampak signifikan bagi kehidupan mereka. Annisa menuturkan sejumlah faktor yang mempengaruhi angka golput. Pertama, ketidakpercayaan terhadap sistem politik.
“Banyak warga merasa bahwa siapa pun yang terpilih tidak akan membawa perubahan berarti, sehingga memilih menjadi tidak relevan,” ujarnya kepada Parboaboa, Rabu (4/12/2024).
Faktor kedua menurut Annisa, intrik politik dan konflik elit. Ia mengatakan, proses Pilkada Jakarta diwarnai dengan intrik politik yang dapat menciptakan ketidakpuasan atau kejenuhan terhadap politik. Kejenuhan terhadap politik itu, lanjutnya, karena jarak antara pemilu dan pilkada yang berdekatan. Hanya 9 bulan saja pasca pemilu Februari lalu.
Faktor ketiga, Annisa menyebut, kandidat yang ditawarkan partai politik tidak mempunyai daya tarik. Paslon yang ada, menurutnya, tidak merepresentasikan aspirasi warga.
“Ditambah dengan intrik politik yang melibatkan elite, hal ini dapat menciptakan kesan bahwa pilkada hanya menjadi ajang kekuasaan, bukan pelayanan masyarakat,” tegas Annisa.
Hal serupa juga diungkap John Muhammad, aktivis gerakan politik salam 4 jari. Ia menegaskan, tingginya angka golput merupakan tanda perlawanan rakyat yang kritis dan beroposisi.
“Rakyat kritis sebenarnya sedang mengeluh karena paslon yang tersedia tidak menarik, tidak sesuai dengan aspirasi warga, dan secara proses Pilkada ini sejak awal sudah terindikasi akal-akalan,” jelasnya.
John yang di Pilkada Jakarta ini menggaungkan gerakan coblos semua alias gercos memaparkan, jika dijumlahkan golput dan gercos mencapai 3.862.206 suara atau sebesar 50,6% dari total DPT. Menurut Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia ini, angka golput dan gercos jauh lebih besar daripada perolehan suara paslon Pramono Anung-Rano Karno sebesar 2.178.762 suara.
“Ini menunjukan bahwa warga Jakarta yang merupakan pemilih rasional sudah apatis terhadap calon yang diusung elit politik,” tegas John.
Lebih lanjut, dia berharap elite politik ke depan harus lebih mendengarkan aspirasi masyarakat.
Catatan Perludem
Sementara itu Perludem memberikan catatan evaluasi bagi penyelenggara Pilkada dan Partai Politik. KPU, menurut Annisa, harus meningkatkan aksesibilitas tempat pemungutan suara, terutama bagi kelompok masyarakat yang sibuk. Dia mengatakan, meskipun telah ditetapkan sebagai hari libur nasional, tapi banyak masyarakat, misalnya, pekerja industri kreatif tetap bekerja seperti biasa. Annisa juga meminta KPU memperkuat sosialisasi pentingnya partisipasi dalam pemilu.
“Bagaimana value suara dari masing-masing pemilih sangat berharga, dengan menggunakan platform digital yang populer di perkotaan atau bahkan menggunakan influencer,” jelasnya.
Adapun hal yang paling penting menurut Annisa, menjamin proses pemilu bersih, transparan, dan bebas dari konflik elite politik. Hal itu, katanya, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Langkah konkrit untuk menjamin pemilu bersih dan transparan, lanjut Annisa, adalah dengan menindaklanjuti aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran.
Aduan tersebut mencakup pelanggaran sebelum kampanye, selama masa kampanye, masa pencoblosan, perhitungan suara, hingga penetapan kepala daerah terpilih. Evaluasi juga perlu dilakukan oleh partai politik. Annisa mengatakan, partai harus mendengarkan aspirasi masyarakat terkait pasangan calon yang akan diusung.
Ia mendorong, partai mencalonkan kandidat yang memiliki kredibilitas tinggi dan rekam jejak yang sesuai kebutuhan masyarakat.
“Bukan hanya terikat pada pembagian kekuasaan saja. Karena saya yakin banyak kader yang berkompetensi namun tidak dicalonkan,” tegas Annisa.
Apalagi, lanjutnya, ambang batas pencalonan kepala daerah sudah turun dari 20% menjadi 7,5%. Dengan penurunan ambang batas itu, menurut Annisa, seharusnya partai politik tidak tersandera oleh koalisi gemuk.
“Partai politik juga jangan malas, jangan hanya mau menang instan saja dengan membentuk koalisi yang gemuk,” jelas Annisa.
Terakhir, dia mengingatkan agar paslon kepala daerah menyusun program kampanye yang lebih substansial dengan narasi yang bisa diterima akal sehat. Khusus di Jakarta, paslon bisa fokus pada isu-isu seperti transportasi, lingkungan, dan perumahan. []
Achmad Rizki Muazzam, Jurnalis Parboaboa
Liputan ini telah terbit di Parboaboa merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.