November 15, 2024

Harap-harap Cemas Pilkada

Pemilu seharusnya menjadi harapan. Banyak harapan bahkan. Ada harapan terpilihnya pemimpin yang bisa mewujudkan aspirasi publik. Ada juga harapan menghasilkan kepemimpinan yang bisa membuat kebijakan yang tidak diskriminatif. Atau harapan-harapan lainnya.

Untuk itu, penyelenggaraan pemilu harus dipastikan sesuai dengan prinsip pemilu yang demokratis. Untuk apa pemilu diselenggarakan tanpa tujuan pemenuhan harapan?

Namun, tampaknya pilkada kali ini berbeda. Harapan-harapan yang baik itu malah diliputi kecemasan. Pasalnya, penyelenggaraan pilkada akan dilakukan di tengah pandemik Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah pada Rabu, 27 Mei 2020 menegaskan bahwa penyelenggaraan pilkada tetap dilakukan pada 9 Desember 2020. Menuju hari pemungutan suara tersebut, tahapan pilkada akan dimulai pada 15 Juni 2020. Dengan kalimat lain, tahapan pilkada mulai berjalan kembali lebih kurang dua minggu lagi.

Tahapan yang harus langsung dilakukan adalah melanjutkan tahapan yang sebelumnya ditunda. Di antaranya verifikasi faktual untuk dukungan bakal calon perseorangan. Ada juga tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih.

Hal yang menjadi kecemasan pertama adalah bahwa KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dituntut tetap sanggup menyelenggarakan pilkada. Keduanya didorong bisa kreatif menyelenggarakan pilkada dalam kondisi darurat di tengah wabah Covid-19.

Tetapi tuntutan kreativitas itu tidak didukung dengan regulasi yang cukup. Perpu No. 2/2020 tidak memberikan ruang kepada KPU untuk menyelenggarakan pilkada secara kreatif. Hal ini karena di dalam Perpu 2/2020 hanya menjawab mengenai otoritas KPU untuk menunda tahapan pilkada secara nasional, menggeser jadwal Pilkada dari September 2020 ke Desember 2020, dan jika kondisi belum memungkinkan untuk menyelenggarakan pilkada maka KPU dapat menunda dengan persetujuan DPR dan Pemerintah.

Dari ketentuan Perpu tersebut, tidak ada perubahan pasal mengenai tata cara penyelenggaraan pilkada. Tata cara penyelenggaraan pilkada yang ada di dalam UU Pemilu adalah tata cara penyelenggaraan pilkada dalam situasi normal. Hal ini lah yang menjadikan ruang gerak penyelenggara pemilu tidak bisa bebas, sulit berkreatif.

Kecemasan berikutnya adalah ketersediaan anggaran untuk mendukung penyelenggaraan pilkada di tengah wabah Covid-19. Salah satu kesimpulan hasil RDP antara KPU, DPR, dan Pemerintah adalah meminta KPU dan Bawaslu mengajukan anggaran tambahan kepada pemerintah daerah untuk dapat mendukung penyelenggaraan pilkada.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah anggaran tersebut akan siap dicairkan dalam waktu kurang lebih dari dua minggu ini? Bagaimana dengan mekanisme perubahan APBD yang biasanya baru dibahas pada bulan Agustus? Sementara tahapan akan kembali dimulai pada 15 Juni 2020.

Tahapan yang segera dilakukan adalah melanjutkan tahapan yang sebelumnya ditunda. Sebutlah itu proses pencocokan dan penilitian untuk pemutakhiran daftar pemilih dan juga verifikasi dukungan bakal calon perseorangan. Dalam tahapan ini petugas akan bertemu dengan banyak orang sehingga mereka membutuhkan alat perlindungan seperti masker, sarung tangan, dan alat pelindung diri. Artinya, kebutuhan tersebut harus bisa dianggarkan dan diadakan dalam waktu kurang lebih dua minggu ini, sementara anggarannya baru akan diajukan oleh KPU.

Bagi kandidat juga tentu akan diliputi kecemasan karena khawatir tidak bisa melakukan kampanye dengan maksimal. Padahal kampanye adalah tahapan yang sangat penting dalam rangka menyampaikan visi, misi, dan program kandidat untuk dapat menarik pilihan pemilih.

Memang ada wacana agar kampanye dilakukan dengan metode daring, menggunakan media sosial atau virtual meeting. Tetapi, seberapa besar hal tersebut dapat menjangkau pemilih? Bagaimana dengan daerah yang perangkat teknologi dan jaringan internetnya tidak memadai? Sementara pemilih harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin mengenai kandidat yang akan memimpin daerahnya.

Pemilih pun juga akan diliputi kecemasan jika pilkada diselenggarakan di tengah wabah Covid-19 yang belum berakhir. Pemilih butuh adanya jaminan bahwa ketika pemilih hadir ke TPS tidak akan membahayakan kesehatan mereka. Untuk itu perlu ada dukungan perlengkapan seperti pulpen, masker, sarung tangan, atau tinta yang aman. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa permukaan dari sebuah benda dapat menjadi media penularan covid-19. Tentunya semua ini harus betul-betul dijamin kemanannya. Jaminan ini diperlukan agar partisipasi masyarakat di Pilkada 2020 tinggi.

Ada yang mengatakan bahwa pemilu untuk manusia. Bukan sebaliknya, manusia untuk pemilu. Karena itu penyelenggaraan pemilu harus memastikan nilai-nilai kemanusiaan dan tetap menjaga prinsip pemilu yang demokratis. Bukan yang penting bisa diselenggarakan tapi mengabaikan prinsip dan harapan.

KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI

Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)