September 13, 2024

Harapan Politik Bersih Tahun Politik

Pada Juni 2018, kita akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] serentak di 171 daerah, dan pada saat yang bersamaan menjalani proses politik menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada tahun 2019. Politik elektoral ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada warga pemilih (citizen voters) untuk menagih akuntabilitas dari para wakil dan pemimpinnya, namun juga peluang untuk memprkokoh pelembagaan demokrasi di Indonesia.

Perhelatan politik elektoral ini tidak akan menjadi instrumen yang efektif bagi demokratisasi. Pasalnya integritas proses dan pengelolaannya dinodai oleh berbagai praktek buruk yang terus-menerus berlangsung.

Merujuk pesta demokrasi sebelumnya, banyak terdapat noda dan praktek buruk. Bentuknya adalah politisasi SARA, kriminalisasi lawan politik, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian dan intimidasi, tidak netralnya aparatur negara (Polisi, TNI, ASN, PNS, dan Intelijen) maupun penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu).

Penanganan kompleksitas masalah itu harus diupayakan melalui ranah negara/pemerintah dan ranah masyarakat. Kesadaran pemetaan ranah ini penting agar upaya penanganan masalah tak menambah masalah baru.

Pertama, masyarakat sebagai warga pemilih harus mengambil peran secara aktif memantau dan mengawal berlangsungnya politik elektoral, Tujuannya agar pemilu dan demokrasi selaras dengan prinsip supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Sebagai pemilih yang bertanggung jawab, masyarakat diharapkan ikut memikirkan masa depan bangsa ini. Caranya dengan memilih pemimpin yang menghargai demokrasi, menerima dan merawat keberagaman, mendukung pemberantasan korupsi, serta tidak mengedepankan identitas kesukuan dan agama.

Kedua, aparat negara, khususnya TNI dan Polri, maupun intelijen harus netral dan profesional. Kapolri dan Panglima TNI harus memastikan setiap calon Kepala Daerah yang berasal dari TNI/Polri tidak menggunakan kekuatan, sumber daya, jejaring teritori TNI/Polri dalam kontestasi Pilkada.

Tindakan yang tegas, terbuka, dan transparan harus dilakukan terhadap anggota TNI/Polri yang terbukti berpolitik praktis dan atau memberikan dukungan (terbuka atau diam-diam) kepada calon tertentu. Hal ini ini harus diwujudkan dengan independensi dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

Di sisi lain, para birokrat, khususnya para petahana punya kewenangan besar yang penyalahgunaannya bisa merusak pemilu dan demokrasi. Harus dipastikan dalam kontestasi politik petahana kepala daerah tidak boleh menggerakan Aparat Sipil Negara serta memanfaatkan fasilitas negara untuk menggalang suara.

Ketiga, para kontestan yang bersaing di Pilkada, Pileg, dan Pilpres harus tunduk pada  aturan main yang berlaku dan tetap memperhatikan nilai-nilai etika. Praktik kampanye kotor dan tak bermartabat tidak boleh dilakukan.

Selama ini praktik kotor dan tak bermartabat jauh lebih banyak dimulai dari tim sukses peserta pemilu. Bentuknya dengan mempolitisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) guna mendulang suara, mengadu domba, dan memecah belah masyarakat dengan menyebarkan kebencian serta berita bohong; dengan sengaja menerjang aturan dan menabrak nilai kepantasan, kesopanan, kerukunan, dan keharmonisan.

Keempat, para tokoh agama hendaknya mendorong umat agar tetap bersaudara satu-sama  lain meskipun pilihan politiknya berbeda-berbeda. Saat  agama sering dipolitisasi seperti sekarang ini, agama benar-benar direndahkan  karena hanya dijadikan sarana untuk mendulang suara dan alat meraih kemenangan.

Di seperti itu, para tokoh agama bertugas mengembalikan kedaulatan agama. Sejatinya agama adalah pencerah, pendamai, pemegang otoritas moral, dan pengkritik terhadap hal-hal yang merendahkan martabat kehidupan dan memecah belah bangsa. Tokoh agama bertugas membuat politik mempunyai nilai dan benar-benar menjadi sarana untuk membangun kesejahteraan bersama. []

RD. P. C. SISWANTOKO

Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)