August 8, 2024

Hoaks Diduga Picu Penggembosan Suara

Mahkamah Konstitusi akan mulai memeriksa 132 perkara sengketa hasil pilkada mulai Selasa (26/1/2021). Masyarakat sipil berharap MK bisa memeriksa perkara secara lebih substantif. Penyebaran berita bohong atau hoaks misalnya ditengarai menjadi model baru penggembosan suara yang banyak didalilkan pemohon.

Selasa (25/1/2021), MK akan mulai memeriksa perselisihan hasil pilkada serentak 2020. Pada sidang pemeriksaan pendahuluan hari pertama, MK dijadwalkan memeriksa 35 perkara. Sidang akan dimulai sejak pukul 08.00. Ada tiga panel  hakim yang akan memeriksa perkara secara simultan. Panel I terdiri dari hakim konstitusi Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih. Panel II terdiri dari Aswanto, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P Foekh. Adapun, panel III terdiri dari Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra.

Banyak pemohon yang mendalilkan penyebaran hoaks dan kampanye negatif berdampak pada hasil suara pasangan calon

Hasil kajian Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menunjukkan, banyak pemohon yang mendalilkan penyebaran hoaks dan kampanye negatif berdampak pada hasil suara pasangan calon. Apalagi, jika penyebaran konten tersebut dilakukan menjelang hari pemungutan suara. Momentum itu dianggap berdampak signifikan dalam memengaruhi hasil pilkada.

Dari hasil pemantauan Bawaslu pada masa kampanye 15 November-24 November 2020, ada sebanyak 380 konten yang diperiksa. Hasilnya, sebanyak 182 URL dihapus (take down) dari sosial media. Sebanyak 38 konten di antaranya mengandung isu hoaks. Sejumlah daerah yang mengalami kasus penyebaran hoaks adalah pilkada di Provinsi Sumatra Baarat, Kalimantan Tengah, Kota Medan, Kota Solo, Kota Makassar, Kota Surabayam dan Kabupaten Bayuwangi.

“Dari sejumlah daerah tersebut, ada yang menggugat sengketa hasil pilkada di MK, salah satunya dengan dalil penyebaran konten hoaks. Misalnya, Provinsi Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, Kota Surabaya, dan Kabupaten Banyuwangi,” kata peneliti KoDe Inisiatif Ihsan Maulana.

Selain berita bohong, ada pula pemohon yang mendalilkan kampanye hitam dalam perselisihan hasil pilkada di MK. Pemohon dari Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.

Pemeriksaan di MK akan menunjukkan apakah pilkada sudah berjalan sesuai prinsip penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil

Kebenaran materiil

Selain isu hoaks, KoDe Inisiatif juga menemukan penegakan hukum yang diduga untuk memengaruhi hasil pilkada. Misalnya, penetapan tersangka salah satu calon kandidat kepada daerah di Sumatra Barat. Kandidat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran kampanye di luar jadwal, lima hari sebelum pemungutan suara. Dalam perkembangannya, kasus tersebut kemudian dihentikan penyidikannya (SP3), dua hari setelah pemungutan suara.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, tujuan pemohon menggugat sengketa hasil pilkada di MK adalah untuk mencari kebenaran materiil. Pemeriksaan di MK akan menunjukkan apakah pilkada sudah berjalan sesuai prinsip penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karena itu, proses persidangan di MK seharusnya tidak hanya mengadili perhitungan dan perselisihan angka hasil pilkada. MK diharapkan memeriksa secara lebih substansial untuk menemukan kebenaran materiil. Terutama aspek pemilu yang jujur dan adil.

“Kalau melihat perkara dan dalil-dalil yang diajukan pemohon ini menarik. Bagaimana nantinya para hakim di MK bisa mengungkap kebenaran materiil dalam perkara tersebut,” kata Fadli.

Menurut Fadli, dalam memeriksa perkara sengketa hasil pilkada, MK akan melihat apakah pemohon mamu mengonstruksikan dalil kecurangan pilkada, pengaruhnya dengan perolehan suara. Sejauh mana kecurangan itu berdampak pada pergeseran suara pemilih. Pemohon harus menyertakan bukti yang valid dan kuat untuk membuktikan dugaan kecurangan tersebut. Sementara itu, MK diminta untuk mendengarkan secara lebih substantif penjelasan dari pihak-pihak terkait. Hal itu sangat relevan karena artinya MK sedang menjalankan kontrol yudikatif terhadap substansi demokrasi di tingkat daerah.

Aspek keadilan substantif harus menjadi arus utama MK dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pilkada. MK diharapkan tidak terjebak pada keadilan prosedural semata

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menambahkan, aspek keadilan substantif harus menjadi arus utama MK dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pilkada. MK diharapkan tidak terjebak pada keadilan prosedural semata. MK diharapkan mampu menggali secara lebih mendalam aspek jujur dan adil dalam pilkada serentak 2020. Terlebih, pilkada dilakukan di masa pandemi, di mana interaksi fisik sangat terbatas. Sehingga wajar jika temuan Bawaslu ada banyak hoaks, dan kampanye negatif berseliweran di dunia maya.

“Sosial media memainkan peranan yang signifikan dalam pilkada serentak 2020 karena dalam suasana pandemi Covid-19. Iklan, maupun konten sosial media itu bisa diarahkan di wilayah tertentu, dengan konten spesifik, untuk memengaruhi psikologis pemilih,” kata Kaka.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, MK diharapkan dapat memeriksa perkara secara lebih substantif. Jangan sampai, sengketa perselisihan hasil hanya menjadi residu akhir dalam penegakan hukum pemilu. Sebab, pertimbangan dan putusan MK nantinya akan berdampak pada penegakan hukum pemilu ke depan. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2021 di halaman 2 dengan judul “Hoaks Diduga Picu Penggembosan Suara “. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/26/mk-diharapkan-memeriksa-perkara-lebih-substantif/