September 13, 2024

Hormati Putusan Uji Materi Keserentakan Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Sekalipun sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemilihan Umum, dan pemohon memiliki harapan yang beragam terkait putusan uji materi keserentakan pemilu yang akan dibacakan besok, Rabu (24/11/2021), mereka tetap akan menghormati dan menghargai putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, putusan MK yang bersifat final dan mengikat wajib ditaati seluruh pihak, termasuk DPR selaku pembuat undang-undang dan KPU sebagai pelaksana UU.

Anggota Komisi III DPR yang memberikan keterangan mewakili DPR di persidangan, Supriansa, mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim MK untuk memutus yang seadil-adilnya. Ia tidak bisa berspekukasi terkait rencana putusan MK besok karena semua tergantung penilaian majelis hakim.

”Kami tentunya hormati dan hargai putusan apa pun dari MK,” ujar legislator asal Partai Golkar itu saat dihubungi, Selasa (23/11/2021).

MK dijadwalkan menggelar sidang pleno pengucapan putusan perkara nomor 16/PUU-XIX/2021 perihal pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, Rabu (24/11). Uji materi diajukan oleh empat panitia penyelenggara pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat.

Supriansa mengatakan, ia tetap konsisten dengan jawaban saat persidangan. Dia berharap MK menolak permohonan itu karena pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi.

Mereka meminta MK membatalkan ketentuan pemilu lima kotak (pemilu presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) karena pelaksanaannya memberatkan petugas penyelenggara pemilihan di lapangan. Salah satu jalan yang diusulkan para pemohon uji materi adalah memformat ulang keserentakan pemilu dengan mengeluarkan pemilu legislatif daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) dari pemilu nasional (pemilu presiden, pemilihan anggota DPR, dan DPD).

Supriansa mengatakan, ia tetap konsisten dengan jawaban saat persidangan. Dia berharap MK menolak permohonan itu karena pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi.

Menurut dia, UU Nomor 7 Tahun 2017 dibentuk untuk menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan pemilu yang termuat dalam tiga UU, yaitu UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU No 5/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dan UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD.

”Selain itu, UU Nomor 7/2017 dibentuk untuk menjawab dinamika terkait pengaturan penyelenggaraan dan peserta pemilu, sistem pemilihan, manajemen pemilihan, dan penegakan hukum dalam satu undang-undang, yaitu UU a quo,” ujar Supriansa.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim mengatakan, PKB pasti menghormati dan mengikuti putusan MK. Sebab putusan itu bersifat final dan mengikat. ”Saya tidak mau berandai-andai dengan putusan MK yang besok akan dibacakan. Saya menunggu sampai besok MK mengumumkan putusannya terkait uji materi keserentakan pemilu lima kotak,” katanya.

Meski demikian, lanjut Luqman, pelaksanaan pemilu lima kotak seperti yang dipraktikkan tahun 2019 memang harus dikoreksi. Ini diperlukan agar tujuan pemilu sebagai sarana konstitusional pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat sungguh-sungguh dicapai.

Menurut dia, pemilu lima kotak terlalu rumit akibat banyaknya fokus pemilihan yang membuat pemilih banyak yang kebingungan. Akibatnya, banyak kertas suara yang tidak dicoblos atau, kalaupun dicoblos, tidak memenuhi ketentuan sehingga dinyatakan rusak atau tidak sah.

Adapun bagi penyelenggara, pemilu lima kotak menimbulkan beban di luar kepantasan kemampuan manusia, terutama bagi penyelenggara pemilu yang bertugas pada hari pemungutan suara di tempat pemungutan suara. Terbukti pada Pemilu 2019, ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara meninggal dan ribuan lainnya jatuh sakit.

Oleh karena itu, Luqman menilai perlu pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal, seperti permohonan penyelenggara pemilu ke MK. Pemilu nasional untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD. Kemudian dalam jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur/wagub, bupati/wabup atau wali kota/wakil wali kota.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, pun berharap permohonan uji materi keserentakan pemilu dikabulkan MK. Dalam membuat keputusan, MK hendaknya turut mempertimbangkan pentingnya penataan sistem pemilu, khususnya keserentakan.

”Ada banyak kualitas yang dikorbankan. Pengalaman 2019, semua terfokus hanya pada Pilpres. Ada lebih dari 10 juta beda suara antara pileg dan pilpres,” katanya.

Dalam membuat keputusan, MK hendaknya turut memprtimbangkan pentingnya penataan sistem pemilu, khususnya keserentakan.

Menurut dia, pemohon, selama rakyat Indonesia, mestinya memiliki posisi yang kuat untuk meminta kesesuaian pemilu serentak dengan desain pemilu konstitusional. Dengan demikian, empat mantan penyelenggara pemilu yang mengajukan permohonan mestinya memiliki kedudukan hukum mengajukan uji materi.

”Keputusan MK dapat dijadikan dasar bagi penataan ulang sistem pemilu kita agar dapat menghasilkan elite yang punya kapasitas dan integritas sebagai modal utama membangun bangsa,” tutur Mardani.

Harapan agar gugatan dikabulkan juga muncul dari KPU. Anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik, berharap MK mengabulkan uji materi tersebut agar ada pemisahan pemilu nasional dan daerah. Sementara Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar tidak merespons saat ditanya harapan terhadap putusan uji materi tersebut.

Kuasa hukum pemohon, Fadli Ramadhanil, berharap permohonan uji materi  dikabulkan oleh MK agar bisa mengurangi beban penyelenggara. Pemisahan pemilu menjadi solusi agar kejadian meninggalnya 893 anggota KPPS dan 5.175 penyelenggara yang sakit tidak terulang lagi.

Ia mengungkapkan, pada 2019 Perludem juga telah menggugat sistem pemilu serentak lima kotak dengan mengajukan uji materi terhadap UU No 7/2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada ke MK. Namun, permohonan yang diajukannya pada 2019 berbeda dengan 2021.

Fadli menjelaskan, permohonan pada 2019 menitikberatkan konstitusionalitas pilihan keserentakan pemilu yang terkait dengan asas pemilu dan sistem presidensial. Untuk permohonan pada 2021 ini, pihaknya meminta kepada MK untuk menilai konstitusionalitas keserentakan pemilu dari beban penyelenggara ad hoc yang berimplikasi pada keamanan warga negara dalam berpartisipasi di pemilu.

Sebelumnya, pada Februari 2020, MK menolak permohonan uji materi Perludem. Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU No 10/2016 tentang Pilkada.

MK menyatakan, permohonan Perludem agar MK menafsirkan dan mengatur kembali keserentakan pemilu menjadi pemilu lokal dan pemilu nasional bukan merupakan kewenangan MK. Hal itu merupakan wilayah pembentuk UU untuk mengaturnya atau merupakan suatu kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy).

MK mendasarkan putusannya dengan merujuk kembali maksud asli (original intent) pengubah konstitusi serta mengelaborasikan argumentasinya dengan upaya penguatan sistem presidensial dan maksud dari putusan terdahulu, yakni putusan No 14/PUU-XI/ 2013 yang mengatur konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak (presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten).

MK menyebutkan, pemilu serentak lima kotak (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPR kabupaten/kota, dan pemilu presiden) hanya salah satu alternatif. Ada enam alternatif keserentakan lain yang konstitusional, antara lain pemilu serentak DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPR; pemilu serentak DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur dan bupati/wali kota; serta lainnya.

Dalam putusan itu, MK juga mengingatkan agar pemilihan model keserentakan yang dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua kalangan diselesaikan lebih awal agar dapat dilakukan simulasi, memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis dan kemudahan bagi pemilih, serta tidak sering ganti model (Kompas, 27/2/2021). (IQBAL BASYARI/PRAYOGI DWI SULISTYO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/23/hormati-putusan-uji-materi-keserentakan-pemilu-di-mahkamah-konstitusi