Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka seluruh informasi pemilu sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pemilu. Sebelumnya ICW meminta sejumlah informasi antara lain, laporan dana kampanye periode 2014-2023 untuk pileg dan pilpres, serta daftar riwayat hidup seluruh caleg dan kepala daerah tahun 2014-2022. Namun KPU tak menggubrisnya, hingga berujung pada sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 13 Maret 2024.
“Dalam proses tersebut KPU enggan membuka secara rinci informasi penyumbang dana kampanye yang tertera dalam Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Padahal, ICW telah menegaskan urgensi dibukanya informasi nama-nama penyumbang korporasi maupun individu kepada para kontestan pemilu secara mendetail,” tulis ICW dalam siaran pers (15/3).
Dalam persidangan tersebut, KPU menegaskan tidak akan memberikan informasi mengenai riwayat hidup dan sistem informasi dana kampanye. Mereka berdalih informasi tersebut bersifat dikecualikan dari akses publik. Majelis Komisioner mengatakan, pengecualian tersebut dilakukan tanpa uji konsekuensi terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam UU KIP.
Padahal, menurut ICW, apabila informasi tersebut dibuka, selain dapat memenuhi asas transparan dari UU Pemilu, informasi tersebut dapat membantu untuk melihat donatur politik yang selama ini membuat iklim demokrasi menjadi transaksional dan tak setara. Namun sayangnya KPU justru bersikeras menutupi informasi tersebut dengan kekhawatiran nama-nama yang ada masuk ke dalam kategori data pribadi.
“KPU justru membela para perusahaan dan individu-individu kaya penyumbang politik dengan menyatakan bahwa tidak akan ada yang mau untuk membuka data pribadi mereka ketika mereka berperan sebagai penyumbang politik,” imbuh ICW.
ICW memandang argumentasi KPU tersebut menunjukkan KPU gagal memahami permasalahan korupsi pemilu yang telah mengakar, yaitu sumbangan-sumbangan pihak tertentu yang mempengaruhi pengambilan kebijakan publik. Padahal menurutnya pemberi sumbangan seringkali mendapatkan imbalan ketika kandidat memenangkan kontestasi pemilu, untuk itu kandidat acapkali merampas sumber daya publik guna membalasnya.[]