August 8, 2024

Implementasi Keterwakilan Perempuan pada Penyelenggaraan Pemilu Belum Maksimal

Implementasi aturan keterwakilan perempuan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dinilai belum maksimal. Dalam proses seleksi tahun ini pun diharapkan perspektif pemilu inklusif dan jender dimasukkan dalam materi tes.

Adapun implementasi UU No 22/2007 dan UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu serta UU No 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam penyelenggaraan pemilu itu baru terlaksana pada Pemilu 2009.

Menurut pegiat pemilu Wahidah Suaib yang juga anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2012, aturan keterwakilan perempuan belum diterapkan secara konsisten. Hanya pada Pemilu 2009 tercapai keterwakilan perempuan 30 persen di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu. Sementara dalam komposisi tim seleksi KPU dan Bawaslu belum pernah terpenuhi keterwakilan 30 persen perempuan.

Pada seleksi tahun ini, keterwakilan perempuan minimal 30 persen belum terpenuhi dalam komposisi timsel. Dari 11 orang timsel, hanya ada tiga perempuan. Jika mengimplementasikan aturan tersebut, seharusnya ada empat perempuan.

”Indonesia tidak kekurangan perempuan yang memiliki latar belakang kepemiluan yang kuat dan memenuhi syarat untuk menjadi timsel seperti pemantau pemilu, mantan KPU/Bawaslu, dan akademisi,” kata Wahidah dalam diskusi publik bertajuk ”Mengawal Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu: Menelaah Profil Kandidat Perempuan yang Lolos Tahapan Seleksi Administrasi KPU RI dan Bawaslu RI Masa Jabatan 2022-2027”, Senin (22/11/2021).

Wahidah menegaskan, komposisi keanggotaan timsel menafikan keberadaan lembaga pemantau pemilu yang selama ini konsisten dan telah berkontribusi mengawal kualitas serta integritas pemilu. Pemantau pemilu sangat relevan mewakili unsur masyarakat dalam timsel.

Meskipun demikian, Wahidah mengapresiasi tim penilai makalah dengan komposisi perempuan mencapai 30 persen, yakni lima perempuan dari 15 anggota tim. Tim penilai ini juga memperhatikan keterwakilan akademisi dari universitas di berbagai wilayah.

Indonesia tidak kekurangan perempuan yang memiliki latar belakang kepemiluan yang kuat dan memenuhi syarat untuk menjadi timsel seperti pemantau pemilu, mantan KPU/Bawaslu, dan akademisi. (Wahidah Suaib)

Ia berharap, proses seleksi tertulis, makalah, dan psikologi yang akan dilaksanakan mulai pekan ini agar memasukkan perspektif pemilu inklusif dan jender dalam materi tes. Selain itu, perlu pemberlakuan afirmatif pada tiap tahapan seleksi untuk mengawal terpenuhinya keterwakilan perempuan pada tiap tahapan seleksi.

”Proses seleksi harus mengimplementasikan seleksi yang ramah perempuan, tidak bias jender, dan tidak diskriminatif pada setiap tahapan seleksi,” kata Wahidah.

Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, menyebutkan, keterwakilan perempuan telah mengalami kemerosotan. Padahal, keterwakilan perempuan bagi lembaga tingkat pusat memengaruhi kualitas keterwakilan perempuan di provinsi dan kabupaten/kota. Karena itu, agar keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu bisa meningkat, harus dikawal sejak proses seleksi.

Berdasarkan data yang dirilis timsel, pendaftar perempuan untuk KPU yang lolos seleksi administrasi sebanyak 97 orang atau 27,5 persen. Sementara itu, pendaftar perempuan untuk Bawaslu yang lolos seleksi administrasi sebanyak 70 orang atau 25,3 persen.

Menurut Dewi, meskipun pendaftar perempuan yang lolos seleksi administrasi belum mencapai 30 persen, mereka memiliki latar belakang pendidikan dan kualitas yang bisa menjadi modal besar untuk terpilih. Sebab, banyak dari pendaftar yang lolos seleksi administrasi berlatar belakang sarjana hukum dan politik. ”Kita yakini perempuan punya kamar sendiri yang harus kita rebut dan kita perjuangkan dengan sebaik-baiknya,” kata Dewi.

Keterwakilan perempuan telah mengalami kemerosotan. Padahal, keterwakilan perempuan bagi lembaga tingkat pusat memengaruhi kualitas keterwakilan perempuan di provinsi dan kabupaten/kota. (Ratna Dewi Pettalolo)

Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Beni Telaumbanua, mengungkapkan, dari penelusuran yang dilakukan Puskapol UI, latar belakang pendidikan calon perempuan anggota KPU untuk jenjang strata 1 (S-1) mayoritas lulusan teknik, S-2 manajemen, dan S-3 hukum. Sementara itu, pada calon anggota Bawaslu, untuk jenjang S-1 hingga S-3 mayoritas lulusan hukum.

Sebelumnya, anggota Timsel Anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027, I Dewa Gede Palguna, mengatakan, perempuan memiliki kelebihan misalnya dalam kesabaran. Timsel akan memperjuangkan keterwakilan perempuan sepanjang sesuai dengan aturan. (PRAYOGI DWI SULISTYO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/22/implementaasi-aturan-keterwakilan-perempuan-belum-maksimal