JAKARTA, KOMPAS – Inisiatif Komisi Pemilihan Umum melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 menghadapi penolakan. Komisi II DPR, Badan Pengawas Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri menyatakan tidak setuju karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.
Dalam rapat konsultasi draf Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif di Komisi II DPR, Selasa (22/5/ 2018), di Jakarta, KPU memaparkan Pasal 7 Ayat 1 huruf J draf PKPU Pencalonan yang mengatur calon anggota legislatif bukan bekas terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Sejak KPU menyosialisasikan rancangan itu pada uji publik beberapa bulan lalu, penolakan terhadap gagasan itu kini disuarakan anggota DPR. Namun, sejumlah kelompok masyarakat sipil dan pengguna internet mendukung langkah KPU dengan membuat petisi daring berisi dukungan yang ditandatangani puluhan ribu pengguna internet.
KPU kemudian tetap mengajukan rancangan tersebut karena menganggap langkah ini penting untuk membantu mendorong pemilu yang lebih berkualitas.
Selain larangan itu, KPU juga memasukkan kewajiban calon anggota legislatif melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara kepada instansi berwenang maksimal tiga hari setelah kandidat menerima surat keputusan terpilih menjadi anggota legislatif.
”Kepentingan KPU bukan untuk mengatur orang-orang yang sudah terlibat kasus korupsi sebelumnya. Namun, ini lebih penting, mengantisipasi pemilu kita mendatang. Kalau ini disepakati, kami membayangkan pemilu kita ke depan diisi oleh orang-orang bebas dari kasus korupsi,” kata Ketua KPU Arief Budiman.
Dalam rapat konsultasi itu, anggota KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan, langkah KPU memasukkan klausul pelarangan bekas narapidana (napi) kasus korupsi merujuk pada sejumlah perundangan terkait pengisian jabatan kenegaraan.
Selain itu, dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, terkait syarat calon presiden, juga disebutkan capres tak pernah mengkhianati negara, tak pernah terlibat pidana korupsi dan pidana berat lainnya.
Penolakan
Anggota Komisi II DPR bergantian menyampaikan ketidaksetujuan terhadap usulan KPU itu. Pasalnya, pengaturan di PKPU itu bertentangan dengan Pasal 240 Ayat 1 Huruf G UU No 7/2017. Pasal itu menyatakan calon anggota legislatif tidak pernah dipidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan bekas terpidana.
Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali meminta publik tidak menganggap DPR menolak pengaturan di PKPU itu karena DPR mendukung agar koruptor bisa dicalonkan. Menurut dia, sikap DPR itu lebih karena berpegang pada UU Pemilu.
Sikap DPR itu, kata Zainudin, juga bertujuan melindungi KPU. Alasannya, jika memunculkan norma di luar UU No 7/2017, KPU akan menghadapi gugatan. Dia mengusulkan, KPU membuat surat edaran saja kepada parpol untuk mengimbau parpol agar tidak mencalonkan bekas napi korupsi.
Wakil Ketua Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh juga pernah meminta tanggapan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Dalam Negeri. Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, Bawaslu sependapat dengan KPU atas pentingnya mewujudkan anggota legislatif yang mempunyai rekam jejak bersih. Namun, dia berpendapat pencabutan hak politik seseorang hanya bisa dilakukan melalui UU atau lewat putusan pengadilan.
”Mahkamah Konstitusi dalam dua putusannya menegaskan, seseorang yang sudah menjadi terpidana, dia bisa kembali menjadi calon kepala daerah. Konsep ini bisa ditarik ke legislatif,” kata anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar.
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Suhajar Diantoro mengatakan, saat seseorang jadi napi dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan, pemerintah bertanggung jawab mengedukasi mereka. Setelah mereka kembali ke masyarakat, pemerintah menganggap mereka sudah bisa bersosialisasi dengan baik. Karena itu, dengan pertimbangan manusiawi, tanpa keputusan pengadilan mencabut hak politik, menurut dia, bekas napi masih mempunyai hak untuk dicalonkan.
Pada akhir rapat, pimpinan Komisi II membacakan kesimpulan rapat dengan poin, antara lain, menyatakan Komisi II DPR, Bawaslu, dan pemerintah sepakat pengaturan bekas terpidana kasus korupsi kembali ke Pasal 240 Ayat 1 Huruf G UU Pemilu.
Menanggapi hal itu, Arief Budiman menyatakan, KPU akan membahas di rapat pleno, apakah tetap dengan draf PKPU atau menyesuaikan dengan kesimpulan rapat itu. (ANTONY LEE)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 23 Mei 2018 di halaman 2 dengan judul “Inisiatif KPU Ditentang”. https://kompas.id/baca/utama/2018/05/23/inisiatif-kpu-ditentang/