August 8, 2024

Jaga Kualitas Pilkada

Pelanggaran marak terjadi selama masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2020. Dalam sepekan terakhir masa kampanye, pelanggaran berpotensi kian masif. Pengawasan perlu ditingkatkan untuk menjaga kualitas pemilihan.

Masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 memasuki pekan terakhir setelah berlangsung sejak 26 September lalu. Namun, antusiasme publik mengikuti agenda kampanye cenderung rendah.

Hal ini terungkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas pekan lalu. Lebih dari dua pertiga responden atau sebanyak 68,9 persen, hingga pekan lalu, sama sekali tidak mengikuti kegiatan kampanye, baik kampanye dalam bentuk pertemuan tatap muka maupun daring.

Tak hanya itu, sebagian aktivitas kampanye tatap muka cenderung melanggar aturan protokol kesehatan. Padahal, kepatuhan pada protokol kesehatan menjadi syarat mutlak di tengah pandemi Covid-19.

Salah satu pelanggaran yang ditemukan oleh responden adalah pengumpulan massa di atas 50 orang. Hal ini diungkapkan oleh responden di banyak daerah. Padahal, dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020, pertemuan tatap muka hanya boleh dilakukan dengan jumlah kehadiran maksimal 50 orang.

Menurut catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terdapat 91.640 pertemuan tatap muka selama pelaksanaan kampanye sejak 26 September hingga 24 November 2020. Dari jumlah itu, terdapat 2.126 pelanggaran protokol kesehatan, 1.618 penerbitan surat peringatan, dan 197 kali pembubaran kampanye. Kondisi ini sekaligus menggambarkan bahwa pertemuan tatap muka masih menjadi pilihan utama yang dilakukan oleh calon.

Salah satu faktor pendorong masih maraknya pelaksanaan kampanye tatap muka adalah akses internet yang terbatas. Akibatnya, kampanye secara daring tidak efektif. Kondisi ini memaksa tim kampanye dan pasangan calon kepala/wakil kepala daerah untuk bertemu langsung dengan konstituen.

Keterbatasan ini dialami oleh sebagian besar daerah penyelenggara pilkada. Di Kalimantan Utara, misalnya, Badan Pusat Statistik mencatat, hanya 54,3 persen individu yang menggunakan internet selama 2019. Proporsi individu pengguna internet yang lebih rendah terdapat di daerah penyelenggara pilkada lainnya, seperti Bengkulu (40,7 persen) dan Sulawesi Tengah (35,5 persen).

Politik uang

Selain protokol kesehatan, dugaan pelanggaran lain yang juga ditemukan oleh responden adalah praktik pemberian uang dan barang oleh pasangan calon atau tim kampanye kepada masyarakat. Indikasi ini ditemukan oleh 9,2 persen responden, baik dari generasi milenial muda sebagai pemilih pemula maupun generasi yang lebih tua. Meskipun secara persentase tergolong kecil, hal ini menunjukkan praktik politik uang masih terjadi.

Politik uang menjadi hal yang sejak awal diwaspadai oleh Bawaslu selama masa kampanye pilkada. Kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 disinyalir membuat praktik politik uang kian masif.

Dalam pemutakhiran Indeks Kerawanan Pemilu dalam Pilkada 2020 yang dirilis pada 22 September lalu, terdapat 19 kabupaten/kota yang masuk ke dalam kategori kerawanan tinggi terkait politik uang. Beberapa di antaranya ialah Depok di Jawa Barat, Bukittinggi di Sumatera Barat, dan Kabupaten Halmahera Timur di Maluku Utara.

Praktik politik uang dalam pilkada telah memperoleh atensi khusus dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam beleid ini, politik uang merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun dan denda hingga Rp 1 miliar.

Selain itu, pasangan calon yang terbukti memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih dapat dijatuhi sanksi pembatalan sebagai calon kepala daerah ataupun wakil kepala daerah.

Netralitas ASN

Dugaan pelanggaran lain yang ditemukan publik adalah terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN) selama periode kampanye. Hal ini diungkapkan oleh 9 persen responden di sejumlah wilayah penyelenggara pilkada.

Dugaan pelanggaran ini juga sejalan dengan temuan dan laporan yang diterima Bawaslu. Hingga 25 November lalu, terdapat 990 temuan dan 119 laporan yang diterima Bawaslu terkait persoalan netralitas ASN dalam pilkada. Bentuk pelanggaran beragam, seperti menghadiri kampanye calon hingga ikut serta mengampanyekan calon. Padahal, dalam UU No 10/2016, calon sudah dilarang melibatkan ASN dalam setiap kegiatan kampanye.

Bawaslu menemukan 456 pelanggaran terkait keterlibatan ASN dalam memberikan dukungan melalui media sosial. Selain itu, terdapat sejumlah pelanggaran lain, seperti kehadiran ASN dalam bakti sosial atau sosialisasi bakal pasangan calon (142 kasus) serta melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri kepada partai politik (103 kasus).

Dugaan pelanggaran terkait netralitas ASN paling banyak ditemukan di daerah Indonesia Timur, yakni di Provinsi Maluku Utara (140 kasus), Sulawesi Selatan (114 kasus), dan Sulawesi Utara (104 kasus). Di ketiga daerah ini terdapat 28 pilkada tahun ini yang terdiri dari 1 pemilihan gubernur, 6 pemilihan wali kota, dan 21 pemilihan bupati. Adapun di Indonesia bagian barat, dugaan pelanggaran netralitas ASN paling banyak ditemukan di Jawa Barat (40 kasus) dan Sumatera Barat (36 kasus).

Dalam Indeks Kerawanan Pemilu, semua kabupaten/kota penyelenggara pilkada tahun ini berada pada kategori rawan terkait netralitas ASN. Dari 261 daerah, 56 daerah lainnya termasuk pada kategori kerawanan tinggi, seperti di Halmahera Selatan di Maluku Utara dan Agam di Sumatera Barat.

Tantangan

Memasuki sepekan terakhir pelaksanaan kampanye, tantangan yang mesti dihadapi bersama, terutama oleh penyelenggara pemilu, adalah meningkatnya aktivitas kampanye dan pertemuan tatap muka. Di tengah pertambahan jumlah kasus positif Covid-19, aktivitas kampanye yang kian intens itu harus diwaspadai untuk mencegah penularan kian parah.

Pada 15-24 November 2020, umpamanya, terdapat 18.025 pertemuan tatap muka yang dilakukan kontestan. Jumlah ini tercatat tertinggi sepanjang pelaksanaan kampanye.

Anggota Bawaslu Divisi Penindakan, Ratna Dewi Pettalolo, mengatakan, Bawaslu akan meningkatkan pengawasan hingga tingkat kecamatan selama periode 10 hari terakhir kampanye. Pengawasan akan lebih ketat, khususnya terkait pelanggaran protokol kesehatan.

”Kami memprediksi intensitas kampanye semakin meningkat karena pasangan calon mengejar sisa waktu untuk melakukan komunikasi dan interaksi politik. Kami menginstruksikan kepada jajaran untuk lebih meningkatkan pengawasan, tetapi dengan pendekatan pencegahan,” kata Dewi.

Bawaslu juga bekerja sama dengan kepolisian untuk melindungi pengawasnya agar terhindar dari kekerasan. Sepanjang 5-14 November lalu, sebanyak 19 pengawas mengalami kekerasan verbal dan 12 orang mengalami kekerasan fisik.

Menurut Dewi, kekerasan salah satunya terjadi karena tim kampanye tidak menerima tindakan pencegahan dan pengawasan oleh pengawas.

Pada akhirnya, temuan-temuan pelanggaran tersebut berpotensi memengaruhi kualitas pilkada jika terus dibiarkan terjadi. Penyelenggara pemilu dan tim kampanye perlu bahu-membahu menciptakan suasana kondusif menjelang hari pemilihan. Jangan sampai pula pelanggaran yang terus terjadi mengikis minat masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember mendatang. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 30 November 2020 di halaman 3 dengan judul “Jaga Kualitas Pilkada”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/30/jaga-kualitas-pilkada-2/