Pemilihan kepala daerah serentak gelombang ketiga tahun 2018 diyakini publik menjadi ajang pemanasan mesin politik partai menjelang Pemilihan Umum 2019. Pilkada tahun depan juga dibayangi terjadinya potensi kerawanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Meski demikian, pilkada diyakini akan berjalan aman dan lancar.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas, pekan lalu,dengan mayoritas responden (88,2 persen) menilai pelaksanaan pilkada yang akan digelar 27 Juni 2018 sebagai ajang pemanasan mesin politik partai.
Penilaian ini cukup wajar mengingat tensi politik 2018 disinyalir menjadi pembuka kontestasi politik sebelum berlaga dalam pemilihan umum yang juga digelar serentak, yakni memilih anggota legislatif sekaligus memilih presiden dan wakil presiden. Apalagi pilkada tahun depan akan digelar di 171 daerah dengan tiga di antaranya untuk memilih gubernur-wakil gubernur, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Total pemilih di ketiga provinsi itu hampir 50 persen dari jumlah pemilik hak pilih nasional. Kondisi ini menjadikan pilkada tahun depan sebagai parameter atau peta politik menuju konsolidasi politik jelang Pemilu 2019. Sejumlah parpol harus ekstra berhitung dalam menyusun strategi politik untuk memenangi pilkada di ketiga provinsi lumbung suara pemilih nasional tersebut. Tidak heran jika kemudian bursa calon dalam pilkada di ketiga provinsi ini selalu menjadi perhatian publik. Antarpartai politik pun cenderung saling menunggu dan berhitung.
Sampai kini masih belum jelas dan final terkait bursa calon yang diusung. Sejauh ini baru Pilkada Jawa Timur yang relatif sudah terlihat petanya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa menjadi partai pertama yang mendeklarasikan pasangan calon yang diusungnya, yakni pasangan Saifullah Yusuf-Abdullah Azwar Anas. Kemudian disusul pasangan Khofifah-Emil Dardak yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar. Partai politik lain masih belum secara resmi menyatakan kepada siapa tiket diberikan.
Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Barat, peta pertarungan calon gubernur cenderung masih belum jelas. Di Jawa Tengah, baru Partai Gerindra yang secara resmi mendeklarasikan nama Sudirman Said sebagai calon gubernur yang diusungnya. Hal yang sama terjadi pada Pilkada Jawa Barat. Tercatat baru nama Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang relatif banyak didukung oleh partai. Setidaknya Nasdem, PPP, dan PKB menyatakan dukungan kepada Ridwan. Meski demikian, sampai saat ini, di Jawa Tengah dan Jawa Barat juga belum secara final memunculkan pasangan calon.
Perhitungan partai politik tidak lepas dari agenda Pilkada 2018 yang bersinggungan dengan tahapan pelaksanaan Pemilu 2019. Jika dilihat, pilkada digelar pada 27 Juni 2018, padahal partai juga harus dihadapkan pada keharusan mengajukan daftar calon anggota legislatif pada 4-7 Juli 2018. Partai juga harus menghadapi jadwal pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden pada awal Agustus 2018. Artinya, agenda yang bersinggungan ini bakal banyak menguras energi parpol. Tak heran jika kemudian penentuan calon yang diajukan di pilkada cenderung alot, terlihat di Jabar, Jateng, dan Jatim.
Tentu belum finalnya bursa nama pasangan calon dalam pilkada di tiga provinsi tersebut menjadi potret partai politik masih terus berhitung menentukan siapa pasangan calon yang akan diusungnya. Bagaimanapun hasil Pilkada 2018 bisa menentukan peta politik pada Pemilu 2019. Tidak heran separuh lebih responden (51,9 persen) melihat potensi kerawanan dalam pilkada serentak tahun depan lebih tinggi ketimbang pilkada serentak sebelumnya.
Potensi kerawanan
Sebagian besar alasan yang dikemukakan responden adalah suhu politik yang semakin memanas menjelang pemilihan umum serentak 2019. Selain itu, potensi politik uang dan menguatnya politik identitas dalam kontestasi politik menjadi alasan yang banyak disampaikan responden terkait penilaian mereka soal potensi kerawanan yang lebih tinggi terjadi di pilkada tahun depan. Responden juga memandang dimensi kontestasi antarcalon dan partai politik pendukung di pilkada memberikan kontribusi lebih besar akan terjadinya kerawanan di pilkada.
Penilaian responden yang melihat potensi kerawanan di pilkada serentak 2018 lebih tinggi sejalan dengan catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bawaslu mendefinisikan kerawanan sebagai ”segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis”. Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018, yang diluncurkan Bawaslu beberapa waktu lalu, terekam bagaimana penyelenggara pemilu, kontestasi politik, dan partisipasi politik memberikan kontribusi terhadap potensi kerawanan.
Selain itu, IKP Pilkada 2018 juga merekam bagaimana aspek keamanan, politik identitas, dan penggunaan media sosial turut berpengaruh memicu terjadinya kerawanan. Data Bawaslu mencatat, dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada tahun depan, sebagian besar memang masuk kategori kerawanan rendah. Namun, jika dilihat titik-titik wilayah, terlihat potensi kerawanan yang tinggi terekam di sejumlah daerah, seperti Provinsi Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat.
Ketiga provinsi ini juga masuk dalam radar Kepolisian Negara RI yang memilah potensi gangguan keamanan untuk 17 provinsi yang melaksanakan pemilihan gubernur pada Pilkada 2018. Provinsi Papua, menurut data Badan Intelijen dan Keamanan Polri, memiliki potensi gangguan keamanan paling tinggi ketimbang 16 provinsi lainnya. Papua menjadi provinsi yang dikategorikan Rawan II. Adapun 16 provinsi lainnya masuk kategori Rawan I. Klasifikasi provinsi berdasarkan tingkat kerawanan itu memperhatikan tiga hal, yaitu konflik yang pernah terjadi pada masa lalu, lokasi
geografis yang sulit terjangkau, serta potensi perseteruan antara calon kepala daerah dan partai politik (Kompas, 30/10).
Sementara itu, jika kembali pada tiga aspek yang disebut Bawaslu, aspek penggunaan media sosial paling banyak terekam terjadi di daerah yang berpotensi melahirkan kerawanan. Konten-konten informasi bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang kerap membanjiri media sosial menjadi salah satu sumber kerawanan dalam pilkada. Apalagi fenomena kampanye melalui media sosial relatif lebih masif dilakukan daripada kampanye riil. Selain penggunaan media sosial, isu politik identitas juga marak dijadikan konten ujaran kebencian, yang diakui atau tidak, turut memberikan kontribusi meningkatnya potensi kerawanan.
Isu SARA
Catatan Bawaslu ini lebih kurang sebangun dengan hasil jajak pendapat Kompas. Responden memandang kampanye yang memuat isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) cenderung lebih tinggi memengaruhi terjadinya kerawanan. Selain itu, ujaran kebencian di media sosial terkait isu pilkada dan maraknya politik uang memberikan kontribusi terhadap potensi terjadinya kerawanan di pilkada. Rata-rata separuh lebih responden menyatakan, hal-hal di atas memiliki potensi tinggi melahirkan kerawanan. Sementara problem daftar pemilih tidak terlalu dianggap tinggi melahirkan kerawanan seperti yang pernah terjadi dalam Pemilu 2009.
Meski penilaian responden cenderung mengkhawatirkan potensi kerawanan lebih tinggi pada Pilkada 2018, mayoritas responden meyakini pilkada serentak tahun depan akan terselenggara dengan lancar dan aman. Penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, dinilai responden relatif menjalankan tugas dan perannya secara profesional dan netral.
Kepercayaan publik terhadap kinerja penyelenggara pilkada dan pemilu sangat penting untuk meningkatkan kualitas hasil pilkada dan pemilu itu sendiri.
(Yohan Wahyu/Litbang Kompas)
Sumber : https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/12/18/pemanasan-mesin-partai-jelang-pemilu/