August 8, 2024

Jawaban KPU Disiapkan Bersama KPU Daerah

JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum sebagai pihak termohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden berkoordinasi dengan sejumlah KPU daerah untuk menyiapkan jawaban atas permohonan perbaikan sebelum sidang lanjutan, Selasa (18/5/2019). KPU optimistis tak akan kesulitan menghadapi sidang lanjutan karena sudah menyiapkan semua dokumen untuk menjawab petitum yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Sidang lanjutan sedianya diselenggarakan Senin, tetapi dalam sidang perdana Jumat lalu majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menunda sidang menjadi Selasa guna memberi waktu KPU memperbaiki jawaban termohon. Perbaikan ini diperlukan karena KPU menyiapkan jawaban atas permohonan yang awal diajukan Prabowo-Sandiaga pada 24 Mei. Sementara pada 10 Juni, tim hukum Prabowo-Sandi menyerahkan perbaikan permohonan.

Kuasa hukum KPU, Ali Nurdin, dihubungi di Jakarta, Minggu (16/6/2019) mengatakan koordinasi dengan sejumlah KPU daerah dilakukan karena dalam perbaikan permohonan, terdapat lokasi-lokasi baru yang diajukan. Selain itu ada pula sejumlah kejadian yang disebutkan, tetapi lokasinya tidak disebut detail.

“Jadi kita perlu tanya-tanya (terlebih) dulu, (maksud kejadiannya) dimana. Jadi kami (tim hukum dan KPU daerah) akan ketemu,” ujar Ali.

KPU juga sedang menyiapkan alat bukti terkait persidangan dengan agenda mendengarkan jawaban termohon dan pihak terkait itu. Ali mengatakan, koordinasi yang tengah dilakukan, di antaranya dengan sejumlah KPU daerah yang disebut dalam permohonan hasil perbaikan. Mereka ialah KPU DKI Jakarta, Banten, Papua, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Dia menambahkan, tidak ada hal yang terlalu sulit untuk dihadapi pada persidangan Selasa. Ia menyatakan pihaknya memiliki seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk menjawab hal-hal yang dipersoalkan. Hal ini termasuk tuduhan adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang menurut Ali, tidak ada satupun dalam permohonan yang mengaitkannya dengan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Selain itu, keharusan bahwa tudingan kecurangan itu bisa memengaruhi hasil juga cenderung tidak terlihat. Padahal, kata Ali, MK biasanya melihat adanya signifikansi dan hubungan sebab akibat.

Masih terkait hasil pemilu, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi menambahkan, dalam permohonannya, pemohon mendalilkan bahwa KPU melakukan kecurangan dengan cara merekayasa Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Namun dalam petitum, pemohon meminta MK untuk membatalkan perolehan suara hasil rekapitulasi secara manual.

“Ini namanya enggak nyambung,” kata Pramono.

Menurut Pramono, untuk menyambungkan Situng dan penghitungan manual, pemohon mengasumsikan angka di Situng direkayasa sedemikian rupa oleh KPU untuk menyesuaikan dengan target angka hasil rekap secara manual. Menurut dia, asumsi itu tidak tepat. Sebab, kendati Situng dan rekapitulasi manual berangkat dari titik yang sama, yakni formulir C1 hasil penghitungan perolehan suara di TPS, tetapi alur selanjutnya berbeda.

Situng dipindai dan diunggah KPU kabupaten/kota apa adanya, sedangkan jalur manual melalui mekanisme rekap berjenjang dari kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, lalu nasional. Hasil rekap berjenjang itu yang kemudian digunakan untuk menetapkan perolehan hasil peserta Pemilu 2019.

Dalam persidangan Jumat, tim hukum Prabowo-Sandiaga selaku pemohon menguraikan argumentasi terkait pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), mulai dari penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program/kerja pemerintah hingga penegakan hukum. Dalam petitumnya, pemohon meminta majelis hakim MK, antara lain, memerintahkan KPU menetapkan Prabowo-Sandi sebagai capres-cawapres terpilih, atau memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Indonesia, atau memerintahkan pemungutan suara ulang di setidaknya 12 provinsi yang disebutkan di petitum.

Peluang Permohohan

Dalam diskusi bertajuk “Bedah Sidang Perdana MK: Menakar Peluang Prabowo” di Jakarta, Minggu, dibahas perihal perbaikan permohonan yang dilakukan tim hukum Prabowo-Sandiaga. Diskusi dihadiri Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti, dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti.

Veri mengatakan, perbaikan permohonan dalam sidang sengketa hasil dapat dimungkinkan sepanjang sifatnya minor. Sementara perbaikan permohonan yang diajukan merombak dalil-dalil permohonan dan jumlah tuntutan dari tujuh menjadi 15.

Sejumlah pakar dan akademisi, Minggu (16/6/2019) berkumpul di Jakarta untuk melangsungkan diskusi dengan tajuk “Bedah Sidang Perdana MK: Menakar Peluang Prabowo.” Masing-masing adalah pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti, Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti, serta Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari,

Veri juga menilai bahwa sidang sengketa bukanlah forum untuk melakukan pengujian apakah mengenai teori keadilan substantif, pemilu yang demokratis, konsep terstruktur, sistematis, dan masif, serta kedudukan MK. Menurut Veri, MK merupakan forum pembuktian dalil kecurangan oleh pemohon.

“MK kan menangani perselisihan hasil pemilu, bukan mendalilkan adanya pelanggaran pemilu,” kata Veri.

Sementara Bivitri melihat sejumlah petitum yang diajukan pemohon sebagai tidak lazim. Misalnya saja pada bagian tuntutan untuk menyatakan tidak sahnya hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional oleh KPU, mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 01, dan argumen kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Selain itu, imbuh Bivitri, ketidaklaziman itu berupa tuntutan dilakukannya pemungutan suara ulang dan penggantian anggota KPU. Ini menjadi pertanyaan besar, mengingat tuntutan penggantian anggota KPU berarti pula tidak akan ada yang bisa menjadi penyelenggara pemungutan suara ulang.

“Lho, ini gagasan terobosan dari kuasa hukum atau prinsipal? Seakan-akan yang bikin (perbaikan permohonan) bukan orang hukum,” sebut Bivitri.

Adapun Bayu menyoroti kecenderungan belum disinkronisasinya perbaikan permohonan tersebut. Hal ini menyusul perbedaan data mengenai jumlah suara yang disebutkan digelembungkan.

“(Disebutkan) 18-30 juta penggelembungan (suara), di halaman lain 22 juta (suara). Mau buktikan yang mana,” sebut Bayu.

Sementara Feri memperkirakan permohonan tersebut tidak akan diterima. Hal ini menyusul adanya cacat formil terkait hukum acara di MK yang berakibat tidak dapat diterimanya permohonan. Hal tersebut, imbuh Feri, terdapat dalam Peraturan MK Nomor 4/2018 dan PMK Nomor 5/2018 berikut dengan lampirannya.

Adapun Ray menilai, permintaan pemohon cenderung inkonsisten. “Semua hal dimasukkan ke dalam keranjang permohonan tanpa cek satu dengan yang lain cocok atau tidak,” ujar Ray. INGKI RINALDI

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2019 di halaman 2 dengan judul “Jawaban KPU Disiapkan Bersama KPU Daerah” https://kompas.id/baca/utama/2019/06/17/pemilu-2019-termohon-berkoordinasi-dengan-kpu-daerah/