September 13, 2024

Kampanye Daring Pilkada yang Tidak Nyaring

Sudah lebih dari dua pekan kampanye Pilkada 2020 berlangsung. Tidak semua pasangan calon berkampanye secara daring. Pasangan calon yang sudah memanfaatkanya antara lain calon wali kota dan wakil wali kota Solo, Jawa Tengah, Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakoso.

Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo itu, memanfaatkan virtual box campaign untuk blusukan menyapa calon pemilih. Gibran menyapa dan mendengarkan keluhan calon pemilih melalui percakapan video yang difasilitasi tim pemenangan di perkampungan. Warga bisa berkomunikasi dengan Gibran melalui layar monitor yang dibawa tim. Dengan metode ini, pemilih yang tak punya gawai tetap dijangkau.

Bentuk kampanye daring lain adalah konser virtual Panglipur Ati bersama orkes humor Pecas Ndahe. Konser tanpa melibatkan penonton itu disiarkan melalui Facebook, Instagram, dan Youtube. Konser virtual dinilai mampu menggaet pemilih milenial sekaligus memberi ruang bagi para seniman untuk tetap berkarya.

”Mas Gibran dan masyarakat tetap bisa berkomunikasi, sekaligus sama-sama menjaga protokol kesehatan dengan menghindari kontak langsung,” kata ketua tim narasi, konten, dan digital pasangan calon Gibran-Teguh, Farid Muttaqin, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (11/10/2010).

Bentuk kampanye virtual lain dilakukan paslon wali kota dan wakil wali kota Surabaya, Jawa Timur, Eri Cahyadi-Armuji. Setidaknya ada tiga bentuk kampanye daring yang dilakukan, yakni bilik sambat daring, cangkrukan daring, dan tanya jawab di media sosial. Adapun kampanye di medsos dilakukan dengan membuat video pendek tentang program kerja serta pelibatan jasa pemberi pengaruh (influencer).

”Banyak teknologi yang bisa mendekatkan kami dengan pemilih dalam jumlah banyak tanpa harus bertatap muka langsung. Apalagi, masyarakat Surabaya punya literasi digital sangat tinggi. Kami pegang data survei terkait itu,” kata Eri.

Menurut dia, kampanye daring dan media sosial menjadi prioritas.

Efektivitasnya dinilai cukup bagus berdasarkan interaksi dengan calon pemilih. Aplikasi yang bisa dimanfaatkan untuk kampanye daring antara lain Zoom, Google Meet, Facebook, Instagram, Youtube, dan Whatsapp.

”Setiap mengadakan kampanye daring, kami selalu lapor dan memberikan tautan kepada Bawaslu,” ujarnya.

Paslon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan, Banten, Muhammad-Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menilai, kampanye daring cukup efektif. Peserta diskusi atau ngobrol daring justru lebih bebas bertanya serta memberikan kritik, ide, dan masukan kepada paslon.

Untuk kampanye satu arah, semua platform medsos, seperti Twitter, Facebook, Youtube, dan Instagram, dioptimalkan. Sementara untuk berdiskusi dan ngobrol daring, paslon yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerindra itu memanfaatkan aplikasi Zoom. Diskusi daring itu dibuat dengan format ”Ber-Zoom-pa dengan Mpok Saraswati”. Sementara di kanal Youtube, Twitter, dan Facebook ada program bernama Let’s Talk with Sara (LTWS).

”Sekarang, kami manfaatkan dengan format yang sama dengan memperbanyak konten edukatif dalam bentuk perbincangan tokoh-tokoh, misalnya Deddy Corbuzier, Gus Irfan Yusuf Hasyim (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Farros Tebuireng), Pandji Pragiwaksono, Diah Pitaloka, Desy Ratnasari, dan sebagainya,” kata Saras.

Belum maksimal

Berdasarkan pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 10 hari pertama masa kampanye (26 September-5 Oktober), kampanye daring hanya dilakukan pasangan calon di 37 kabupaten/kota dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Bawaslu tidak mendapati kampanye dengan metode daring di 233 kabupaten/kota. Kampanye masih didominasi oleh kampanye tatap muka yang ditemukan di 256 kabupaten/kota. Adapun kampanye berlangsung 26 September hingga 5 Desember.

Di sisi lain, dorongan agar pasangan calon memaksimalkan metode kampanye daring sudah muncul dari banyak pihak, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun masyarakat sipil dan pemerintah.

Masyarakat juga cenderung setuju dengan penerapan kampanye daring guna menghindari penyebaran Covid-19. Ini terindikasi dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 2-5 Oktober 2020, yang melibatkan 514 responden di 34 provinsi.

Sebanyak 63,4 persen responden menyatakan setuju jika kampanye pilkada dilakukan secara daring karena dinilai bisa menghindari penularan Covid-19. Dalam kampanye daring, sebanyak 71 persen responden ingin agar program saat menjabat menjadi bahan yang perlu dikampanyekan.

Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, kampanye daring merupakan terobosan bagus untuk memperbaiki format kampanye konvensional yang menghamburkan uang, seperti konser musik. Padahal, efektivitas acara meriah tersebut dari sisi elektoral juga kecil.

Dalam situasi pandemi, paslon dituntut kreatif berkampanye agar kegiatan kampanye tidak melanggar protokol kesehatan. Opsi yang dipilih adalah pertemuan terbatas, pembagian selebaran, dan optimalisasi kampanye daring. Untuk kampanye di ruang maya, menurut dia, platform yang cukup efektif digunakan di Indonesia saat ini adalah Facebook dan Whatsapp. Untuk Twitter dan Instagram, jumlah penggunanya masih sedikit dan terbatas di perkotaan.

”Kalau bicara efektivitas, kampanye daring itu hanya bermanfaat untuk pengenalan saja. Untuk sampai pada level memengaruhi pilihan, masih lebih efektif (metode) komunikasi langsung karena bisa menyentuh sisi emosional pemilih,” ujar Yunarto.

Oleh karena itu, lanjutnya, tak heran jika paslon cenderung masih lebih memilih kampanye pertemuan terbatas maksimal 50 orang. Sebab, kampanye itu lebih efektif daripada kampanye daring.

Di sisi lain, paslon juga mulai menyiasati keterbatasan kampanye di masa pandemi dengan kegiatan lain, seperti pembagian masker tiga lapis, obat-obatan, hand sanitizer, atau disinfektan. Hal ini menjadi pilihan karena penyebaran alat kampanye, seperti spanduk dan baliho, dibatasi.

”Adaptasi mutlak dilakukan karena diatur dalam PKPU (peraturan KPU). Oleh sebab itu, tidak ada alasan kampanye daring atau pertemuan tatap muka terbatas sulit dilakukan karena alasan jadwal. Baik paslon maupun konsultan politik mudah beradaptasi dengan peraturan KPU,” katanya.

Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Mada, Sukmajati, menuturkan, kreativitas paslon mulai diuji saat melakukan kampanye di masa pandemi Covid-19. Namun, dia menilai, pemanfaatan teknologi paling banyak digunakan untuk kampanye satu arah dengan mengunggah konten di media sosial. Belum banyak kampanye daring dua arah.

”Situasi ini menjadi momentum untuk mendorong kreativitas paslon dan tim pemenangan karena kampanye daring merupakan keniscayaan saat pandemi. Sangat disayangkan jika pemilu tak mampu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong pemanfaatan teknologi dalam kepemiluan,” kata Mada.

Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, dalam kampanye di media sosial, KPU mewajibkan setiap paslon mendaftarkan semua akun media sosial beserta pengelolanya yang digunakan selama kampanye. Untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dibatasi 30 akun, sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota 20 akun.

Hingga Jumat (9/10) atau dua pekan pertama masa kampanye, berdasarkan data Bawaslu, belum semua paslon menyerahkan laporan daftar akun medsos yang digunakan untuk kampanye. Setidaknya ada 50 pasangan calon yang belum menyerahkan daftar akun media sosialnya ke KPU.

Pengawasan kampanye daring dan medsos, kata anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, tidak hanya dilakukan terhadap akun resmi yang terdaftar, tetapi juga akun lain yang tak didaftarkan, tetapi mengunggah materi kampanye.

”Potensi pelanggaran terjadi pada akun-akun yang tidak terdaftar sehingga kami mengajak masyarakat ikut melaporkan akun-akun kampanye yang tidak sesuai aturan,” ujarnya.

Pelanggaran yang dilakukan menggunakan akun paslon terdaftar diteruskan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu Bawaslu. Sementara pelanggaran terkait akun tak dikenal diteruskan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk di-takedown. Adapun jika pelanggaran dilakukan aparatur sipil negara, kasus diteruskan ke Komisi Aparatur Sipil Negara. Apabila pelanggaran terkait dengan tindak pidana siber dilakukan akun tidak dikenal, kasusnya akan diteruskan ke tim siber Polri.

Kompetensi pengawas

Pakar pemasaran politik Firmanzah mengingatkan perlunya Bawaslu meningkatkan kesiapan mengawasi konten kampanye daring. Karena aturan kampanye berubah di tengah pandemi, Bawaslu juga harus mengimbangi dengan sistem teknologi informasi, kompetensi pegawai TI, jaringan TI, dan administrasi agar pengawasan lebih optimal. Bawaslu juga harus lebih aktif memantau akun sosial media paslon yang sudah resmi didaftarkan untuk berkampanye.

Solusi lain, menurut analis media sosial Ismail Fahmi, Bawaslu bisa bekerja sama dengan kampus-kampus lokal serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan kampanye daring. Sebab, potensi kampanye hitam dan penyebaran berita bohong yang dilakukan akun-akun tidak terdaftar sangat tinggi.

Bahkan, potensi manipulasi pelanggaran kampanye bisa dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Misalnya, ada pihak yang sengaja melakukan kampanye hitam, lalu melaporkannya ke Bawaslu sehingga seolah-olah pelanggaran itu dilakukan tim lawan.

”Kampanye di media sosial sebaiknya dilakukan dengan sangat berhati-hari karena semua riwayat bisa ditelusuri jejak digitalnya,” kata Fahmi.

Kampanye daring juga memiliki tantangan dari sisi keamanan. Pakar forensik digital Ruby Alamsyah mengatakan, pasangan calon harus mengantisipasi peretasan akun ataupun penyebaran hoaks melalui akun anonim. Berdasarkan pengalaman di pilkada sebelumnya, seperti Pilkada DKI 2017, peretasan akun dan penyebaran hoaks menjadi temuan yang paling banyak.

”Peretasan itu dapat dilakukan untuk memperkecil potensi lawan melakukan sosialisasi program. Ada juga motif untuk menyebarkan hoaks melalui akun yang diretas,” kata Ruby.

Sementara itu, jika paslon memilih aplikasi seperti Zoom, mereka juga harus mengantisipasi masuknya penyusup yang dapat mengacaukan pertemuan daring. Penyusup biasanya mengacaukan rapat dengan menayangkan konten-konten tak bertanggung jawab. Hal ini sering disebut dengan istilah Zoom-bombing.

Serangan dari penyusup dapat diantisipasi dengan memperketat opsi pengaturan sebelum pertemuan daring dimulai. Pihak yang mengadakan pertemuan daring dapat mengatur agar tak mudah disusupi.

Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat beradaptasi dengan kebiasaan baru. Dalam Pilkada 2020, penyelenggara, paslon, pengawas, dan pemilih dituntut kreatif dan inovatif. Jika saat kontestasi pilkada paslon tidak mampu menunjukkan kreativitasnya, bagaimana kelak memberikan terobosan untuk rakyatnya? (SYA/DEA/BOW/ETA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 13 Oktober 2020 di halaman 3 dengan judul “Kampanye Daring yang Tidak Nyaring”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/13/kampanye-daring-pilkada-yang-tidak-nyaring/