August 8, 2024

Kamuflase Kepemimpinan Muda

Mahkamah Konstitusi tengah menguji konstitusionalitas norma batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Syarat usia pencalonan dalam undang-undang pemilu ini mau diturunkan dari 40 menjadi 35 tahun. Sejumlah akademisi hukum tata negara dan aktivis menduga uji materi ini semata untuk memperpanjangan kekuasan orang tua atau politik dinasti.

“Yang terjadi adalah orangnya berganti namun konfigurasinya tetap,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles  Simabura dalam diskusi daring berjudul “Menilik Syarat Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden: Membaca Potensi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Potret Kepemimpinan Orang Muda Kini” (26/9).

Charles menilai perkara tersebut erat kaitannya dengan politik kekuasaan. Menurutnya, kata “kepemimpinan muda” hanya kamuflase untuk mempertahankan konfigurasi kekuasaan.

“Spirit kita membatasi kekuasaan karena adanya sirkulasi kekuasaan. Sehingga tidak menjadi absolut dan bisa tumbuh kembang,” tegas Charles.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati menilai tidak seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Ia merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sedang diujikan di MK. Menurutnya, jika ingin mengubah aturan batas usia pencalonan harus melalui revisi UU Pemilu.

“Ini bukan soal menolak anak muda untuk masuk dalam kepemimpinan. Hal itu bukan ranahnya MK, harusnya pembahasannya direvisi UU Pemilu. Sehingga definisinya jelas,” kata Khoirunnisa.

Ketika dibahas pada bingkai revisi UU Pemilu, lanjut Khoirunnisa, tentu semua pihak bisa memberikan masukan, mengajukan rapat dengar pendapat dengan DPR, melakukan kajian dan melakukan advokasi, Sehingga ruangnya lebih luas dan komprehensif.

“Sementara kita tahu, proses di MK yang bisa menyampaikan argumentasi adalah pihak terkait. Jadi memungkinkan ada hal yang tidak tersampaikan dalam ruang persidangan,” imbuhnya.

Violla Reininda, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, jika pemerintah ingin mendorong kepemimpinan orang muda harusnya bukan hanya untuk pemilu saja, tetapi untuk urusan publik dan kepentingan negara secara luas. Vioalla menganggap ada kontradiksi lain, misalnya naiknya usia hakim konstitusi dari menjadi 55 tahun, KPK usianya dinaikkan menjadi 50 tahun.

“Sebenarnya orang muda yang dimaksud itu siapa? Jadi saya kira tidak ada ketulusan untuk mendorong kepemimpinan orang muda pada umumnya,” kata Violla.

Menurut Juru Bicara Blok Politik Pelajar, Delpedro Marhaen, banyak dimensi yang tertinggal terkait batas usia minimal Capres dan Cawapres. Ia berpendapat, kepemimpinan orang muda itu identik dengan perubahan dan perlawanan status quo. Anak muda bukan hanya bicara soal usia, melainkan keberpihakan.

“Ketika batas usia diturunkan, siapa yang bisa mengakses? Tentu saja tidak, hanya dia yang mempunya sumber yang bisa,” tegas Delpedro.

Setidaknya terdapat tiga pemohon yang mengajukan itu. Diantaranya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) (perkara 29/PUU-XXI/2023); Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda (perkara 51/PUU-XXI/2023); dan dua kader Partai Gerindra; Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan, Pandu Kesuma Dewangsa dalam perkara 55/PUU-XXI/2023.

Perludem jadi salah satu pihak terkait dalam perkara itu. Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafidz dalam sidang MK (8/8) menilai permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, karena tidak jelas hak konstitusional apa yang dilanggar. Ia menilai, pemohon berusaha menarik MK menetapkan norma hukum yang ada di dalam undang-undang yang tidak ada pelanggaran hak konstitusionalnya.

Kahfi melanjutkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 tidak memberikan ketentuan terkait usia minimum untuk jabatan-jabatan publik. Menurutnya, konstitusi memberikan kewenangan pada pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat, bukan MK.

“Bila mengatakan batas usia 40 tahun adalah diskriminasi usia, maka menurunkannya menjadi 35 tahun juga sama saja. Sehingga isu yang dibawa pemohon bukan diskriminasi usia, melainkan usia mana yang ideal untuk capres dan cawapres. Sehingga tidak terdapat isu inkonstitusional,” kata Kahfi.

Kahfi mengingatkan, sebagai evaluasi Pemilu 2019, hampir semua pemangku kepentingan merasa perlu adanya perbaikan kerangka pemilu. Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komisi II telah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, namun dibatalkan dengan ditariknya RUU dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. Di tengah tahapan pemilu, muncul keinginan mengubah banyak hal, mulai dari sistem pemilu hingga syarat usia yang akan memunculkan ketidakpastian terhadap kerangka hukum pemilu Indonesia.

“Karenanya dalil pemohon tentang original intens tidak beralasan menurut hukum,” kata Kahfi.

Kahfi menambahkan, esensi penting bagi pejabat publik adalah hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik pada masyarakat sehingga memungkinkan kesejahteraan. Untuk itu perlunya menghadirkan syarat yang ketat bagi pejabat publik.

“Menyatakan pasal 169 q tentang pemilu tidak bertentangan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” sambungnya.

Sementara itu, dalam sidang yang sama, Partai Gerindra ngotot mengubah batas usia calon wakil presiden menjadi di bawah umur 40 tahun. Hal itu disampaikan Raka Gani Pissani dalam keterangannya di MK. Ia menyebut batas usia tidak bisa menjadi pengecualian masyarakat untuk mendapatkan hak dipilih sebagai cawapres atau bahkan capres. Kaum muda, menurut Raka, berhak mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden sepanjang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

“Bahwa aspirasi dalam pemilu yang akan datang dapat mengakomodir usia di bawah 40 tahun cukup beralasan, karena jumlah pemilih muda dan puncak demografi. Dengan situasi saat ini, oleh sebab itu, walaupun usianya di bawah 40 tahun asal memiliki pengalaman,” kata Raka.

Seperti diketahui, Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka digadang-gadang masuk bursa calon wakil presiden yang satu-satunya berumur 35 tahun. Namun, jika mengacu aturan saat ini dalam UU 7/2017, Gibran tidak bisa maju berkontestasi karena belum memenuhi batas umur. []

AJID FUAD MUZAKI