August 8, 2024

Kebinekaan Milik Bersama

JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan yang tetap menyatu dalam semangat kebangsaan merupakan salah satu modal bangsa Indonesia. Kekuatan ini merupakan modal bersama dalam menjadikan Indonesia negara yang unggul di era kompetisi global.

Berbagai peristiwa yang diduga bertujuan mengganggu kebinekaan telah menggugah anak bangsa untuk kembali meneguhkan semangat kebangsaan. Bagaimana pun, kebinekaan merupakan milik bersama bangsa Indonesia.

Sebanyak 196 tokoh dan aktivis dari berbagai kalangan, seperti Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Robikin Emhas, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno, Pemimpin Wihara Dhammadipa Arama Biksu Jayamedho, dan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom, menyerukan enam seruan moral untuk menjaga dan memperjuangkan kebinekaan, Selasa (20/2) di Jakarta.

Keenam poin yang diserukan tersebut adalah, pertama, sebagai negara berlatar belakang suku, etnis, agama, ras, dan golongan yang beragam, memperjuangkan nilai kebinekaan dan mencegah ancaman terhadap nilai-nilai tersebut merupakan kewajiban seluruh bangsa Indonesia.

Seruan kedua dan ketiga ditujukan kepada pemerintah. Pemerintah diminta untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengancam rusaknya kebinekaan. Pada seruan poin ketiga, pemerintah beserta aparatnya diminta menindaklanjuti setiap gerakan yang mengancam kebinekaan, menyusul posisi tegas Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa Indonesia tidak menerima intoleransi dan kebebasan beragama setiap warga dijamin konstitusi.

Peran semua pihak

Selain kepada pemerintah, seruan untuk menjaga kebinekaan juga disampaikan kepada seluruh pihak pemangku kepentingan. Poin keempat seruan terkait dengan pelaksanaan kontestasi politik, baik lokal maupun nasional, yang akan berlangsung pada dua tahun terakhir. Intinya, menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, penggunaan isu SARA, hoaks, atau ujaran kebencian harus dilarang dengan tegas karena mengancam kohesi sosial.

Kelima, seluruh pihak, khususnya yang berperan dalam bidang pendidikan, harus berkontribusi lebih dalam mengajar nilai kebinekaan dan cara berinteraksi secara damai dalam lingkungan yang beragam.

Keenam, tokoh agama juga harus memastikan bahwa pengajaran agama efektif membentuk kepribadian bangsa yang sesuai dengan kebinekaan. Tokoh agama juga harus mencegah penggunaan isu keagamaan yang berpotensi memecah masyarakat.

”Diskriminasi dan serangan atas dasar SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) perlu ditangani secara efektif. Tindakan itu tidak kompatibel dengan Indonesia yang majemuk,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi.

Menurut perwakilan Asian Muslim Action Network Indonesia, Ruby Khalifah, nilai kebinekaan seharusnya dijadikan sebagai fondasi pendidikan anak-anak. ”Negara tidak mengontrol satu per satu apa yang ada dalam ceramah atau lingkungan pendidikan lain. Seorang guru bisa saja mengajar muridnya memilih pemimpin yang sama dengannya,” ujar Ruby.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampouw menambahkan, persoalan intoleransi itu berkaitan dengan rasa nasionalisme yang belum melekat erat di dalam benak masyarakat. Menurut dia, nasionalisme Indonesia belum matang.

”Di masa Orde Baru, nasionalisme kita tidak terbuka kepada perbedaan. Setelah reformasi, semua perbedaan bisa diekspresikan. Sekarang, kita masih bingung bagaimana mengelola ini,” katanya.

Sementara itu, rangkaian kasus penyerangan pemuka agama dan tempat ibadah menyisakan pertanyaan yang belum terjawab. Beberapa pelaku dalam peristiwa ini disebut sebagai orang dengan gangguan kejiwaan. Namun, aksi mereka terjadi berurutan. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mempertanyakan keganjilan itu. Kalla juga mempertanyakan apakah ada pihak-pihak yang mendorong mereka bergerak. ”Apakah ada yang mengoordinir orang gila untuk menyerang? Ini serius, bahwa mungkin saja ada yang mengoordinir mereka,” kata Jusuf Kalla saat berada di Osaka, Jepang, Senin (20/2), seperti dilaporkan wartawan KompasAndy Riza Hidayat.

Wapres Kalla pun meminta polisi untuk mencari kebenaran terkait kasus tersebut. (DD07)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2018 di halaman 4 dengan judul “Kebinekaan Milik Bersama”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/02/21/kebinekaan-milik-bersama/