January 15, 2025
Diskusi “Dampak kecurangan pemilu presiden bagi Pilkada 2024,” di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan (7/5). Rumahpemilu.org/Rikky MF

Kecurangan Pilpres Berpotensi Terulang di Pilkada 2024

Tahapan Pemilu Presiden 2024 telah selesai, namun menyisakan banyak catatan. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi (MK) menilai presiden mendukung salah satu pasangan calon. Selain itu MK memandang penyaluran bansos juga harus diatur untuk meminimalisir pengaitan program pemerintah dengan kepentingan pribadi, khususnya menjelang pemilu.

Peneliti Bidang Hukum Themis Indonesia, Hemi Lavour Febrinandez mengatakan besar kemungkinan pola kecurangan pada Pemilu 2024 akan diikuti oleh kontestan Pilkada 2024, baik petahana yang akan maju kembali maupun petahana yang tidak dapat maju kembali tetapi mendukung salah satu paslon. Menurut Lavo penting untuk mencermati proses perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres kemarin, agar Pilkada berjalan sesuai aturan.

“Dalam pilkada besok, yang perlu dipersiapkan untuk mencegah permasalahan tidak independen dari penyelenggara pemilu adalah mengumpulkan alat bukti yang kuat secara langsung oleh tim dari pasangan calon yang akan bertarung,” kata Lavo dalam diskusi “Dampak kecurangan pemilu presiden bagi Pilkada 2024,” di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan (7/5).

Lebih lanjut Levo mencatat, selama sidang PHPU Pilpres, para pemohon yang menyampaikan argumentasi kurang melampirkan alat bukti, sehingga kurang meyakinkan hakim konstitusi. Misalnya tidak disertai alat bukti berupa dokumen yang menjelaskan pelanggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait pencalonan Gibran Rakabuming sebagai capres. Selain juga tidak disertainya keterangan saksi dalam mendalilkan penyelenggara pemilu melakukan kecurangan.

“Catatannya, nanti pada November 2024 kandidat dapat menemukan saksi yang benar-benar mampu menjelaskan bagaimana kecurangan tersebut terjadi di TPS dan dapat dibuktikan dengan baik,” jelasnya.

Terkait penyalahgunaan dan politisasi bansos Levo menilai, sebenarnya argumentasi yang didalilkan didukung alat bukti sehingga beberapa hakim mengabulkan dalil yang diajukan. Namun standar pembuktian hakim dalam PHPU tidak cukup hanya berupa titik penyebaran bansos, harus disertai surat berupa dokumen yang benar-benar membuktikan politisasi bansos.

Jika Ingin mencegah politasi bansos, lanjut Levo, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan audit pembagian bansos sepanjang lima tahun pembagian bansos, disertai waktu dan jumlah yang dibagikan. Kemudian menganalisa terjadinya pelonjakan pembagian bansos menjelang PIlkada di daerah tersebut.

Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024 mendatang, sebanyak 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota akan melaksanakan pilkada. Hampir seluruh wilayah tersebut saat ini dipimpin oleh pejabat kepala daerah yang ditunjuk langsung oleh presiden dan Kementerian dalam Negeri (Kemendagri). Hal itu menurut Levo, pj kepala daerah berpotensi mengeluarkan berbagai kebijakan bermasalah yang menguntungkan pasangan calon tertentu.

“Artinya, pada penyelenggaraan pilkada terdapat potensi para pj kepala daerah ini akan menggunakan kewenangannya untuk melakukan pembentukan hukum berupa peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah untuk mencurangi Pilkada 2024,” tandasnya.

Hal yang sama juga disampaikan Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Seira Tamara, ia menyoroti intervensi presiden, dinasti politik, politisasi sumber daya negara, dan lemahnya pengawasan yang berpotensi juga terjadi pada Pilkada 2024. Hal itu dapat mempengaruhi preferensi publik dan membuat kontestasi pilkada tidak setara. Terlebih tren kandidat pilkada yang terafiliasi dengan dinasti politik terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Pada tahun 2005 sampai 2014, kandidat yang punya afiliasi terhadap dinasti politik berjumlah sekitar 59. Kemudain pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018, meningkat hingga 86 kandidat dan pada Pilkada 2020 jumlahnya meningkat drastis menjadi 124 kandidat,” ujar Seira.

Fenomena lain yang marak terjadi pada Pilkada 2024 adalah politisasi sumber daya negara melalui penggunaan bansos yang disisipi foto dan nama kepala daerah untuk membangun citra positif di tengah masyarakat. Meski belum secara resmi mencalonkan diri, tindakan seperti itu dianggap sebagai strategi awal untuk mencalonkan diri kembali. Hal itu diperparah dengan lemahnya pengawasan terhadap proses pilkada, terutama dalam penindakan dugaan kecurangan.

Seira mengatakan, afiliasi terhadap dinasti politik dalam pilkada menghalangi hak masyarakat mendapatkan calon yang kompeten. Karena seringkali kandidat yang didukung dinasti politik lebih mudah mencalonkan diri meskipun kompetensinya tidak lebih baik dari calon lain. Seira memandang hal itu imbas dari mahalnya biaya politik di Indonesia yang berujung pada korupsi politik.

“Ketika menjabat yang dipikirkan bukan lagi membuat kebijakan berbasis kepentingan masyarakat, tetapi bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan,” ucapnya.

Menurut catatan ICW terdapat sekitar 294 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pada tahun 2010 sampai 2019. Sementara dalam dua tahun terakhir, terdapat 61 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Praktik korupsi tersebut mencakup suap, penyalahgunaan anggaran dan jual beli jabatan yang digunakan untuk mendanai kampanye.

“Dampaknya terhadap pelaksanaan Pilkada nanti adalah proses persaingan yang tidak imbang, minimnya kebaruan calon, ide, dan gagasan. Serta menghambat masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang optimal,” jelasnya.

Potensi kecurangan ini berdampak negatif pada kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pilkada. Minimnya calon baru dengan ide segar karena dominasi dinasti politik menghambat terciptanya pemerintahan yang kompeten dan inovatif. Oleh karena itu, pengawasan ketat dan reformasi penyelenggaraan pemilu sangat diperlukan untuk memastikan pilkada berjalan dengan jujur dan adil. []