August 8, 2024

Kekosongan Hukum Mendesak Diisi

Pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang penundaan pelaksanaan pilkada serentak 2020 dari yang semula akan dilaksanakan 23 September menjadi 9 Desember. Dasar hukum penundaan pilkada serentak di 270 daerah itu hingga kini belum ada.

Selain memberi dasar hukum untuk penundaan, perppu juga diharapkan mengatur penyederhanaan tahapan pilkada.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar, dalam diskusi daring tentang penyelenggaraan pilkada yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN/HAN) pada Senin (27/4/2020) mengatakan, hingga saat ini, dasar hukum untuk penundaan pilkada belum ada. Sebab, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan hingga kini masih berlaku. Regulasi tersebut tidak dapat digunakan sebagai payung hukum untuk menunda pilkada.

Menurut dia, tidak ada pengaturan penundaan pilkada secara nasional dalam regulasi tersebut. Hanya terdapat pengaturan pemilihan susulan atau lanjutan.

“Itulah kenapa perppu dibutkan untuk isi kekosongan hukum,” kata Fritz.

Selain Fritz, diskusi itu juga menghadirkan sejumlah narasumber yakni Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, pengajar hukum tata negara Universitas Trisakti Jakarta, Radian Syam, pengajar hukum tata negara Universitas Pamulang Bachtiar, dan pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti.

Isi perpu

Mengenai isi perpu, Fritz mengaku belum mengetahuinya. Ia pun belum mendapatkan informasi apakah draf perppu itu nantinya bersifat minimalis hanya mengatur waktu pelaksaan pilkada ataukah maksimalis mengatur juga hal-hal teknis yang terkait dengan alasan penundaan dilakukan. Hal-hal teknis itu misalny terkait dengan penyederhanaan proses yang sesuai dengan tuntutan untuk memutus penyebaran wabah Covid-19.

Fritz juga menyebutkan bahwa Bawaslu mengusulkan untuk menunda pilkada pada September 2021. Hal ini menyusul tidak adanya jaminan kapan Indonesia akan terbebas dari Covid-19. Atau kalaupun sudah bebas, imbuh Fritz, bagaimana dengan dampak dari luar negeri yang kemungkinan akan memunculkan dampak “pingpong” dari wabah tersebut di Indonesia.

Sementara Titi menyebutkan, dengan tidak adanya pihak yang bisa memastikan kapan terbebas dari wabah Covid-19, mekanisme pemilihan bisa dibuat dengan lebih akomodarif serta mengadaptasi situasi krisis. Misalnya dengan pemilihan awal, kampanye daring, dan sebagainya.

Ia menyebutkan, jika pilkada dilakukan 9 Desember 2020 akan menurunkan kualitas teknis. Selain itu pemerintah bisa dianggap kurang serius menghadapi pandemik. Juga bisa menurunkan partisipasi pemilih dan menjadikan kampanye yang tidak menyajikan konten program.

Adapun Radian menilai, konten perppu yang akan diterbitkan harus jelas. Ia juga menilai jika pilkada diselenggarakan 9 Desember 2020 maka akan terjadi kesimpangsiuran perangkat hukum.

Pasalnya selain perppu, masih dibutuhkan PKPU dan Peraturan Bawaslu. Jika pilkada dipaksakan pada Desember 2020, imbuh Radian, maka akan terjadi bentrokan dan ketidakharmonisan perangkat-perangkat hukum.

Sementara Bachtiar mengemukakan sejumlah syarat untuk menyederhanakan pilkada. Di antara jaminan rasa aman dan percaya yang mesti diberikan pemerintah dan penyelengara pemilu. Kedewasan berdemokrasi dinilainya merupakan keniscayaan dalam situasi darurat kebencanaan, untuk memberikan payung hukum pelaksanaan pilkada serentak.

Sebelumnya anggota KPU Viryan Azis yang dihubungi terpisah mengatakan faktor regulasi, sosialisasi, bimbingan teknis, dan anggaran menjadi sejumlah faktor utama terkait perubahan manajemen pemilu. Sehubungan dengan belum diterbitkannya perppu, ia menyebutkan bahwa pemerintah pasti menimbang dengan seksama dan matang sehingga memerlukan waktu yang cukup. (INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/28/pilkada-2020-kekosongan-hukum-mendesak-diisi/