Partai politik merupakan salah satu lembaga yang paling penting untuk memastikan proses demokrasi dan transisi kekuasaan dapat dijalankan secara teratur. Herbert Feith (2006), dalam bukunya The Decline of constitutional in Indonesia, menjelaskan bahwa partai politik di Indonesia pada tahun 1950-an merupakan lembaga yang secara umum kurang berkembang karena figur elit yang hanya menggunakan partai politik sebagai mesin untuk meraih akses terhadap jabatan publik (Feith, 1960). Hal ini kemudian menyebabkan berkurangnya legitimasi partai politik bahkan hingga 50 tahun setelahnya, yang oleh Paige Johnson Tan dianggap sebagai ‘antipati yang tersebar secara masif’ terhadap partai politik sebab partai politik yang telah terpisahkan dari massa dan hanya berperan sebagai alat bagi para elit saja (Tan, 2006).
Legitimasi yang berkurang ini kemudian menyebabkan perlunya infusi nilai-nilai baru yang diaplikasikan dalam partai dengan tujuan untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Mengakarnya antipati masyarakat terhadap partai karena dianggap hanya sebagai lembaga untuk self-seeking bagi para elit-elitnya kemudian mendorong adanya keterlibatan anggota partai yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan dan pengorganisasian partai politik secara luas. Legitimasi yang berkurang inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan utama mengapa setiap partai kemudian menaruh perhatian terhadap infusi nilai-nilai demokrasi dalam tubuh partai politik, atau biasa disebut Intra-Party Democracy (Borz & Janda, 2018).
Intra-Party Democracy (IPD) dapat dipahami sebagai kumpulan kriteria untuk menilai seberapa demokratis suatu partai politik. Sudah cukup banyak pendefinisian dan pengklasifikasian mengenai IPD yang secara teoritis dirumuskan oleh para ahli studi partai politik, misalnya saja Piero Ignazi (2020) yang membagi klasifikasi IPD berdasarkan 4 aspek, yaitu inklusi, pluralisme, musyawarah, serta difusi. Aspek-aspek ini berbeda jika dibandingkan dengan klasifikasi yang dirumuskan oleh Poguntke (2016) yang menawarkan penilaian IPD dalam bentuk assembly dan plebiscitary. Meskipun dengan banyaknya teori yang dikembangkan terkait pengklasifikasian bentuk-bentuk IPD, teori ini merujuk pada suatu tujuan yang sama, yaitu bagaimana melihat seberapa jauh pengaplikasian nilai-nilai demokrasi dalam tubuh internal partai politik serta seberapa besar suatu partai berinvestasi terhadap nilai-nilai tersebut.
Penting untuk membahas mengapa penerapan IPD dalam pengorganisasian partai politik adalah hal yang diperlukan. Cross dan Katz (2013) mengklaim bahwa penting bagi partai politik untuk menjadi demokratis, karena telah ada konsensus bersama bahwa partai politik adalah institusi yang berperan penting dalam mewujudkan demokrasi yang sehat. Argumen ini memberi penegasan bahwa terdapat hubungan antara demokrasi tingkat partai dengan demokrasi tingkat negara, dimana pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dalam pengorganisasian partai akan berpengaruh terhadap iklim demokrasi yang lebih luas (level negara). Argumen ini kemudian didukung oleh pendapat lain yang menyebutkan bahwa partai politik yang demokratis akan mampu membantu mempromosikan budaya politik yang demokratis di level negara (Amundsen, 2013), mampu memperkuat legitimasi dari rezim demokratis, serta mampu mendorong partisipasi politik dalam kehidupan bernegara (Scarrow, 1999).
Salah satu rumusan IPD yang menarik adalah kriteria yang ditawarkan oleh Rahat dan Saphira (2016) dalam An Intra-Party Democracy Index: Theory, Design and A Demonstration. Kriteria IPD yang ditawarkan oleh Rahat dan Shapira ini berusaha untuk menghubungkan nilai-nilai demokrasi dalam partai dengan dampaknya terhadap demokrasi secara umum di tingkat negara. Nilai-nilai ini juga selaras dengan argumen Katz dan Mair (1993) mengenai ‘tiga wajah’ organisasi partai politik, dimana partai politik memiliki peran untuk terhubung dengan publik, lembaga-lembaga partai, serta perwakilan partai dalam cabang pemerintahan. Keterhubungan ini kemudian diklasifikasi oleh Rahat dan Saphira dalam 5 kriteria Intra-Party Democracy, yang akan dielaborasi satu persatu.
Pertama, aspek partisipasi politik. Aspek ini menilai seberapa jauh pelibatan partisipasi anggota dalam kehidupan kepartaian. Untuk menjelaskan lebih jauh, Rahat dan Shapira meminjam argumen Huntington dan Nelson (1976) yang menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah konsep yang mencakup perbuatan atau perilaku yang bertujuan untuk—secara langsung maupun tidak langsung—mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Mereka kemudian lebih jauh menjelaskan bahwa salah satu komponen paling penting dalam pengambilan keputusan adalah aktor yang memiliki otoritas untuk menetapkan keputusan, sehingga apabila dikontekstualisasikan dengan kehidupan partai politik, maka pelibatan anggota partai dalam menentukan pemimpin partai dan perwakilan di parlemen—dua aktor yang dianggap memiliki otoritas untuk menetapkan keputusan—menjadi penting untuk menilai seberapa besar partisipasi politik anggota partai.
Kedua, aspek kompetisi. Aspek ini menilai seberapa terbuka kesempatan untuk berkompetisi dalam kehidupan pengorganisasian partai. Aspek ini dapat dilihat dari seberapa besar kesempatan setiap anggota untuk mengikutsertakan diri dalam pencalonan kandidat pemimpin partai atau kandidat perwakilan di parlemen, dan juga seberapa berpengaruh gagasan dan pendapat dari setiap anggota partai mampu dipersaingkan dalam proses penetapan keputusan, misalnya dalam proses menentukan sikap partai terhadap suatu isu atau rekomendasi formula kebijakan. Kompetisi secara gagasan dan personal ini kemudian menjadi penting karena memberikan ruang bagi seluruh anggota partai untuk memiliki beberapa alternatif pilihan untuk didukung atau disetujui (Rahat & Shapira, 2017).
Ketiga, aspek representasi. Untuk menjelaskan aspek ini, Rahat dan Shapira menggunakan pembagian ‘representasi deskriptif’ dengan ‘representasi substantif’. Representasi deskriptif secara singkat diartikan sebagai perwakilan yang secara demografis sama atau mirip dengan mereka yang diwakili (Rahat & Shapira, 2017). Representasi deskriptif ini dianggap sebagai salah satu jalan utama untuk mencapai representasi substantif, yang memiliki arti bahwa perwakilan memiliki persepsi dan kepentingan yang sama dengan orang yang mereka wakili (Phillips, 1995). Aspek representasi ini dianggap penting untuk melihat seberapa besar kepentingan dari setiap kelompok sosial dalam partai—misalnya kelompok perempuan, anak muda, imigran—terakomodir dalam struktur kepengurusan partai, atau dalam perannya untuk menentukan keputusan yang diambil oleh partai politik.
Keempat, aspek responsivitas. Responsivitas dimaknai dalam persepsi bahwa seorang perwakilan dari partai merupakan delegasi dari pihak yang direpresentasikan, sehingga seorang perwakilan harus bertindak sebagai agen dari publik atau kelompok sosial yang ia wakili, dan merespon secara langsung keinginan dan tuntutan dari mereka (Rahat & Shapira, 2017). Dewasa ini, seorang wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menjaga hubungan baik dengan konstituennya, bisa melalui proses pemberdayaan dengan turun langsung membantu permasalahan di masyarakat, ataupun melalui media komunikasi yang baru seperti sosial media.
Kelima, aspek transparansi. Transparansi dianggap penting berdasarkan premis bahwa dalam demokrasi, publik harus diberikan kesempatan untuk mengikuti tindakan dari wakil yang terpilih (Rahat & Shapira, 2017). Lebih lanjut lagi, mereka menjelaskan bahwa modern ini gagasan transparansi dalam tingkat partai erat hubungannya dengan penggunaan internet dan sosial media oleh partai politik. Oleh karenanya, aspek ini diperlukan untuk menilai seberapa besar partai membuka kesempatan atas akses informasi kepada basis massanya dan kepada publik, serta seberapa besar ruang-ruang diskusi dibuka antara kepemimpinan partai politik dengan pendukung partai tersebut.
Kelima kriteria Intra-Party Democracy ini menunjukkan bagaimana pelaksanaan nilai-nilai demokrasi tidak selalu dimulai dari masyarakat sipil atau lembaga eksekutif. Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi yang paling penting dalam kehidupan bernegara juga bertanggungjawab untuk membuat iklim demokrasi yang lebih sehat dengan cara membenahi tubuh partai terlebih dahulu. Pembenahan internal partai ini dapat dilakukan dengan cara menjadikan nilai-nilai demokrasi seperti yang telah disebutkan diatas sebagai fondasi institusional dalam tubuh partai, yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya efektivitas kaderisasi partai politik demi menghasilkan individu-individu demokratis yang akan menduduki jabatan publik. []
SATRIYA NUGROHO
Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada