JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang belum juga tuntas hingga mendekati pertengahan Juli membuat penyelenggara pemilu khawatir persiapan anggaran dan peraturan teknis bisa terganggu. Penyelenggara pemilu berharap pemerintah dan DPR bisa duduk bersama, mendahulukan kepentingan bangsa dalam menghadapi Pemilu Serentak 2019.
Dalam desain RUU Penyelenggaraan Pemilu yang tengah dibahas, tahapan pemilu direncanakan mulai 1 Oktober 2017 dengan agenda verifikasi partai politik. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang sampai saat ini masih berlaku, tahapan pemilu sudah harus dimulai pada Juli tahun ini.
Mengantisipasi belum rampungnya RUU Penyelenggaraan Pemilu, pada Juni lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengirimkan dua versi draf peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan, program, dan jadwal, yakni yang mengacu pada UU No 8/2012 dan yang mengacu perkembangan terkini RUU Pemilu, kepada DPR. Namun, Parlemen berencana mengagendakan pembahasan PKPU itu setelah RUU Penyelenggaraan Pemilu disahkan.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/7), mengatakan, terus mundurnya penetapan RUU Penyelenggaraan Pemilu berarti persiapan penyelenggara kian pendek. Dia berharap pemerintah dan DPR bisa segera berbicara bersama, mempercepat pengesahan RUU itu demi kepentingan bangsa dan negara menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada 2019.
Khawatir
Ketua KPU Arief Budiman khawatir akan persiapan anggaran pemilu. UU Pemilu akan memengaruhi struktur anggaran. Pembahasan anggaran tidak bisa disiapkan dengan cepat karena berhubungan dengan lembaga lain di luar KPU. Berbeda dengan penyiapan PKPU yang bisa dipercepat kendati tetap harus dikonsultasikan dengan DPR.
“Tantangan selanjutnya pada pengaturan teknis. Kalau melihat draf RUU Penyelenggaraan Pemilu, ada lebih dari 20 PKPU yang harus kami buat. Bukan hal mudah,” kata Arief yang menyebutkan bahwa, pada pemilu legislatif dan pemilu presiden yang lalu, jumlah PKPU yang disiapkan kurang dari 20 PKPU.
Parpol dan pemerintah diminta berbesar hati mencari konsensus terkait lima isu krusial yang akan diputuskan pada Kamis ini. Kebuntuan politik patut dihindari karena risiko untuk kembali ke UU lama terlalu besar.
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, mengatakan, jika pemerintah harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai dampak dari pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang dihentikan, persiapan penyelenggaraan Pemilu 2019 akan memakan waktu yang panjang.
“DPR dan pemerintah harus mengambil pilihan yang bijak. Skema Pemilu 2019 itu serentak sehingga dibutuhkan payung hukum baru. Jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, jangan sampai ada kebuntuan. Upaya voting paket isu krusial dapat ditempuh,” tuturnya.
Kemarin, Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu merumuskan lima paket isu krusial yang menurut rencana akan diputuskan secara musyawarah untuk mufakat di tingkat pansus, Kamis ini. Jika opsi paket yang tersedia itu tidak mampu disepakati bersama-sama, DPR dan pemerintah akan membicarakan opsi keputusan diambil melalui voting di forum rapat paripurna.
“Ada opsi berikutnya jika gagal mencapai titik temu, yaitu voting di paripurna. Artinya, menyelesaikan UU tak perlu menarik diri dan kembali ke UU yang lama,” kata Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy.
Lima opsi
Lima opsi paket isu krusial disiapkan Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Pertama, Paket A (didukung PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura) terdiri dari ambang batas pencalonan presiden 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional, ambang batas parlemen 4 persen perolehan suara sah nasional, sistem pemilu proporsional terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konversi suara ke kursi Sainte Lague Murni.
Paket B (didukung Gerindra, Demokrat, PKS) terdiri dari ambang batas pencalonan presiden 0 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu proporsional terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konversi suara ke kursi Kuota Hare. Paket C (didukung PPP dan Nasdem) terdiri dari ambang batas pencalonan presiden 10 persen perolehan kursi atau 15 persen perolehan suara sah nasional, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu proporsional terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konversi suara ke kursi Kuota Hare.
Berikutnya, Paket D (didukung PKB), terdiri dari ambang batas pencalonan presiden 10 persen perolehan kursi atau 15 persen perolehan suara sah nasional, ambang batas parlemen 5 persen, sistem pemilu proporsional terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-8, dan metode konversi suara ke kursi Sainte Lague Murni.
Terakhir, Paket E (didukung PAN), terdiri dari ambang batas pencalonan presiden 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional, ambang batas parlemen 3,5 persen, sistem pemilu proporsional terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konversi suara ke kursi Kuota Hare.
(GAL/AGE/NDY)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2017, di halaman 1 dengan judul “Kepentingan Bangsa Harus Didahulukan”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/07/13/Kepentingan-Bangsa-Harus-Didahulukan?IFA=e04a3ceecd62e5379e984f8db2e56d9cKCd41d8cd98f00b204e9800998ecf8427eKC151b9ff9391226428e88f42e578e3d76