Kepentingan pemerintah agar pembahasan revisi UU Pemilu tak dilanjutkan bertemu dengan kepentingan mayoritas fraksi di DPR. Revisi pun berpotensi kuat bakal kandas di tengah kebutuhan payung hukum baru agar pemilu selanjutnya lebih berkualitas.
Masa sidang ketiga DPR, 10 Februari lalu, ditutup dengan antiklimaks setelah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 belum juga disahkan. Padahal, seharusnya, prolegnas tahunan itu sudah disahkan sebelum 2020 berakhir. Salah satu yang membuat alot, perubahan sikap-sikap fraksi terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Informasi yang dihimpun Kompas menyebutkan, RUU Pemilu baru belakangan menjadi problematik ketika ada suara berbeda yang disampaikan pemerintah.
Sejak Januari lalu, Presiden Joko Widodo disebutkan melakukan konsolidasi dengan partai politik (parpol) yang kadernya ada di DPR agar pembahasan RUU Pemilu tak dilanjutkan. Presiden, antara lain, disebutkan memikirkan kondisi pandemi Covid-19 yang belum teratasi, dan perlunya fokus semua pihak diarahkan kepada penanganan pandemi.
Selain itu, pemerintah mengkhawatirkan potensi gangguan yang terjadi jika pemilihan kepala daerah (pilkada) diselenggarakan pada 2022 dan 2023.
Pembelahan dalam Pemilu 2019 dipandang tidak terlepas dari panasnya suasana kontestasi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Suasana itu dikhawatirkan terulang pada Pilkada 2022 dan Pemilu 2024 jika normalisasi jadwal pilkada dilakukan melalui RUU Pemilu. Pembelahan dikhawatirkan semakin tajam, dan polarisasasi ditakutkan akan merusak keutuhan bangsa.
Sejumlah analisis politik pun mengemuka dari sikap fraksi-fraksi di DPR yang kemudian berbalik 180 derajat menolak RUU Pemilu. Ada anggapan penundaan pembahasan RUU Pemilu itu untuk menghadang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2022. Namun, anggapan ini dibantah oleh partai-partai koalisi pemerintah.
”Itu pengamatnya amatiran jika mengatakan hal itu. Imbas saja kalau dia (Anies) tidak bisa mencalonkan diri pada 2022. Sebab, UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) itu dibentuk sebelum Anies jadi Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, waktu itu masih menteri. UU Pilkada sudah mengatakan pilkada serentak nasional pada 2024. Ini tidak ada hubungannya dengan orang per orang. Pertimbangannya ialah karena Presiden menghitung kondisi pandemi ini,” kata Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi di Jakarta, awal Februari lalu.
Baidowi mengatakan, negara demokratis seperti Amerika Serikat saja mengalami guncangan akibat pembelahan tajam pascapilpres 2020. Padahal, AS adalah kampiun demokrasi yang kerap dijadikan kiblat demokrasi, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, potensi sekecil apa pun untuk timbulnya pembelahan warga bangsa harus dihindari. Terlebih lagi, saat ini residu Pilpres 2019 masih terasa di tengah-tengah masyarakat kendati para aktor politiknya telah bersatu di dalam pemerintahan yang berkuasa.
Ambang batas
Namun, ia tidak menampik jika ada kepentingan partai-partai kecil dan menengah untuk menunda pembahasan itu.
Dengan tidak adanya perubahan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, aturan yang lama tetap berlaku, termasuk soal ambang batas perolehan suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold). Partai kecil menengah, seperti PPP dan Partai Amanat Nasional (PAN), sejak awal keberatan jika ada kenaikan parliamentary threshold. Hal ini berkaitan erat dengan eksistensi parpol di parlemen ke depan.
Tidak mengherankan jika kedua parpol inilah yang pertama kali berubah sikap, menyatakan menolak pembahasan RUU Pemilu.
Wacana itu terus bergulir dan diikuti fraksi lainnya di DPR. Perubahan sikap paling akhir ditunjukkan Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Golkar yang menolak revisi UU Pemilu setelah sempat ngotot untuk merevisi UU Pemilu.
Perubahan sikap paling ekstrem diperlihatkan Nasdem. Pada 4 Februari, Fraksi Nasdem di DPR masih menggelar diskusi dengan mengundang para ahli pemilu, yakni anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan. Dalam diskusi, semua sepakat mendorong revisi UU Pemilu.
Namun, keesokan harinya, 5 Februari, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh mengeluarkan pernyataan menolak RUU Pemilu yang kemudian diikuti fraksinya di DPR.
Dengan perubahan sikap mayoritas fraksi itu, tinggal Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat yang masih mendorong agar pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan.
Normalisasi pilkada
Adapun Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada dasarnya tidak keberatan dengan revisi UU Pemilu. Namun, sebagai fraksi pendukung pemerintah, pembahasan RUU ini juga harus mempertimbangkan suara dari pemerintah. Di sisi lain, PDI-P sejak awal tidak menyetujui kodifikasi UU Pilkada dan UU Pemilu, sebagaimana diusulkan di dalam draf RUU Pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, fraksinya tidak menginginkan revisi UU Pilkada. ”Ini, kan, awalnya revisi UU Pemilu, bukan revisi UU Pilkada. Seharusnya tidak ada perubahan jadwal atau normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023 karena tidak ada revisi UU Pilkada. Namun, sejumlah fraksi ingin normalisasi jadwal pilkada,” katanya.
Jika revisi UU Pemilu dilakukan dengan menormalisasi jadwal pilkada, Arif mengatakan, fraksinya juga menolak RUU Pemilu.
Arif mengatakan, PDI-P ingin mewujudkan kesinambungan pembangunan daerah dan nasional dengan keserentakan antara pilkada dan pemilu. Sebab, dengan adanya keserentakan itu, masa jabatan antara bupati/wali kota dan gubernur dapat selaras dengan presiden. Implikasinya, arah kebijakan pembangunan di daerah bakal searah dengan pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilu.
Penundaan pembahasan RUU Pemilu ini di satu sisi mempertemukan semua kepentingan, baik dari pemerintah maupun parpol. Namun, bagaimana dengan kepentingan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik dan berkualitas?
Jawaban atas hal ini tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara pemilu. Sebab, tanpa dukungan payung hukum yang kuat, kualitas elektoral dalam Pemilu 2024 bukan tidak mungkin akan stagnan, bahkan lebih buruk dibandingkan Pemilu 2019. Ini terutama jika penyelenggaraan pemilu presiden, legislatif, dan pilkada serentak nasional, yang digelar pada satu tahun yang sama, tidak disiapkan dan diantisipasi dengan baik. (RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2021 di halaman 18 dengan judul “Kepentingan yang Saling Bertemu di RUU Pemilu”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/22/kepentingan-yang-saling-bertemu-di-ruu-pemilu/