JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu belum berakhir. Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu dan pemerintah gagal mencapai titik temu dan menyerahkan keputusan terkait dengan lima isu strategis itu kepada rapat paripurna sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dua opsi mekanisme pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR yang akan digelar pada 20 Juli 2017 ialah musyawarah untuk mufakat dan pengambilan suara terbanyak (voting). Selama sepekan ke depan, lobi-lobi lintas partai politik guna memutuskan secara musyawarah untuk mufakat masih akan diupayakan. Jika titik temu gagal dicapai, mekanisme voting anggota (one man one vote) ditempuh.
Hal itu diputuskan dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat pertama antara Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/7). “Sebenarnya kami berharap ada satu sikap yang diambil fraksi-fraksi bersama pemerintah. Namun, masih ada perbedaan dan disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna saja,” kata Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy.
Isu krusial yang sarat dengan kepentingan setiap partai itu membuat pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu berlarut-larut hingga keputusannya ditunda sebanyak lima kali dalam satu bulan terakhir. Lima isu krusial itu adalah sistem pemilu legislatif, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen (parliamentary threshold), alokasi kursi DPR per daerah pemilihan, dan metode konversi suara ke kursi DPR.
Tetap alot
Dari lima isu itu yang paling sulit diputuskan adalah ambang batas pencalonan presiden yang akan menentukan syarat mengusung calon presiden bagi parpol atau gabungan parpol saat pemilu. Terkait dengan isu ini, pemerintah dan sepuluh fraksi di DPR sama-sama memiliki sikap politik yang tegas dan sulit diubah. Sikap kedua pihak yang ajek ini membuat forum lobi tertutup yang diadakan pada Kamis berlangsung cukup alot.
Dalam paparan pandangan pemerintah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dua kali meminta kepada DPR agar beberapa hal yang sudah berlaku selama ini, seperti aturan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional, tidak perlu diubah. “Pemerintah memahami dinamika pandangan fraksi-fraksi. Namun, kami tegaskan, agar hal-hal yang sudah baik dan demokratis setidaknya layak dan patut dipertahankan,” katanya.
Dari lima opsi paket yang disediakan pansus, lima dari tujuh fraksi partai pendukung pemerintah memilih Paket A. Paket A adalah opsi yang didukung pemerintah. Kelima fraksi itu adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, dan Hanura.
Paket A terdiri dari ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara, ambang batas parlemen sebesar 4 persen perolehan suara sah nasional, sistem pemilu proporsional terbuka, alokasi kursi DPR per daerah pemilihan 3-10, dan metode konversi suara ke kursi Sainte Lague Murni.
Dua partai koalisi pemerintah, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), justru bersikap sama dengan partai nonpemerintah (Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sosial), yakni tidak memilih opsi paket dan menyarankan semua isu krusial diputuskan dalam forum rapat paripurna dengan cara voting.
Belum satu
Meski tidak memilih satu paket dari lima opsi paket resmi yang disediakan pansus, PAN dan PKB memaparkan sikapnya terkait kelima isu krusial. Lobi-lobi di internal partai pendukung pemerintah sudah berlangsung berbulan-bulan. PAN dan PKB tetap belum satu frekuensi dengan mayoritas partai koalisi lainnya.
Perbedaan terutama terlihat dalam sikap terkait ambang batas pencalonan presiden, metode konversi suara ke kursi, dan alokasi kursi per dapil. Berbeda dari pemerintah, PAN memilih meniadakan ambang batas pencalonan presiden atau mengambil jalan tengah berupa 10 persen perolehan kursi atau 15 persen perolehan suara sah nasional. PAN juga memilih metode konversi suara ke kursi Kuota Hare, bukan Sainte Lague Murni.
PKB bersedia mendukung besaran ambang batas pencalonan presiden sesuai sikap pemerintah, dengan syarat alokasi kursi per dapil menjadi 3-8, bukan 3-10 kursi. “Kami harap bisa diputuskan secara musyawarah untuk mufakat. Kalau tidak bisa, kami berpendapat agar kelima isu krusial diajukan ke rapat paripurna untuk diputuskan secara voting,” kata anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKB, Siti Masrifah.
Ketua Umum PPP Romahurmuziy tidak menampik, situasi di internal koalisi partai pendukung pemerintah terkait dengan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu tidak solid. Pemerintah berharap ketujuh partai pendukungnya dapat memiliki sikap politik yang sama terkait isu-isu krusial, khususnya isu ambang batas pencalonan presiden.
Menurut dia, isu ambang batas pencalonan presiden sangat berkaitan dengan garis politik kepresidenan. Dengan demikian, wajar jika Presiden memberi perhatian kepada isu itu dan berharap koalisi pendukungnya pun solid.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, berharap pilihan yang diambil fraksi-fraksi di DPR bisa memberikan kepastian hukum kepada penyelenggara pemilu dan tidak multitafsir. (AGE/GAL)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2017, di halaman 1 dengan judul “Keputusan Diserahkan kepada Paripurna DPR”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/07/14/Keputusan-Diserahkan-kepada-Paripurna-DPR