November 28, 2024

Kesiapan Data Pribadi Pemilu di Tengah Implementasi UU PDP

Berakhirnya masa transisi UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) pekan depan bertepatan dengan dimulainya pemerintahan baru hasil Pemilu 2024, mengharuskan pengendali dan prosesor data, termasuk yang terkait dengan pemrosesan data pemilu segera mematuhi standar kepatuhan yang ada. Di tengah maraknya kasus pencatutan dalam Pilkada 2024, kesiapan peraturan pemerintah dan lembaga pengawas perlindungan data pribadi menjadi sorotan, terlebih jelang implementasi UU 27 Tahun 2022 tentang PDP.

“Informasi yang kami dapat, memang peraturan pemerintah tentang implementasi pelindungan data pribadi akan disahkan oleh presiden baru yang dilantik pada 20 Oktober mendatang,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar dalam diskusi “Implementasi Kepatuhan Pelindungan Data Pribadi dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pengaturannya ke Depan”, di Mentang, Jakarta Pusat (14/10).

Menurut Wahyudi, berdasarkan Pasal 74 UU PDP, saat undang-undang mulai berlaku pengendali data pribadi, prosesor data pribadi, dan pihak lain yang terkait wajib menyesuaikan dengan ketentuan pemrosesan data pribadi. Berdasarkan UU PDP, paling lama dua tahun sejak UU ini diundangkan, yang artinya dua tahun setelah 17 Oktober 2022 akan jatuh pada 17 Oktober 2024.

Selain itu, ia juga menyoroti belum selesainya lembaga pengawas PDP yang akan bertugas memastikan para pengendali dan prosesor data pribadi patuh terhadap UU PDP. Ia menjelaskan, pada dua tahun pertama lembaga pengawas akan ditempelkan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sedangkan pembentukan lembaganya pasti menunggu struktur kabinet pemerintahan baru. Menurutnya, pembentukan lembaga tersebut juga akan dipengaruhi perubahan nomenklatur kabinet.

“Artinya ada rentang waktu kosong dari 17 Oktober 2024 sampai dengan bisa secara penuh menerapkan seluruh standar kepatuhan pelindungan data pribadi,” kata Wahyudi.

Dengan demikian, apabila kelengkapan implementasi UU PDP harus menanti pelantikan presiden baru pada 20 Oktober 2024 maka terdapat kekosongan peraturan turunan dan pengawasan terkait penegakan standar kepatuhan dan kewajiban dari pengendali dan prosesor data pribadi terhadap Undang-Undang PDP.

Kekosongan Regulasi dalam Pelaksanaan UU PDP

Terkait perlindungan data pribadi dalam pemilu, Peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas mengatakan pada gelaran pemilu terdapat ketentuan yang tidak sepenuhnya logis, jika dibandingkan aturan-aturan yang ada. Salah satunya adalah pengolahan data pemilih oleh Dukcapil, termasuk data tingkat pendidikan, yang kemudian ditampilkan dalam proses pemutakhiran data pemilih.

Selain itu, juga banyak data lain yang dikelola oleh KPU terkait pemilihan calon presiden, wakil presiden, serta anggota DPR. Dalam proses itu melibatkan berbagai kebijakan, termasuk data sosiologis yang harus dipahami semua pihak. Parasurama menegaskan bahwa data pribadi menjadi aspek krusial, karena menjadi syarat penting dalam pendaftaran calon pilkada, baik oleh partai politik maupun calon perseorangan. Data-data tersebut harus dilindungi, tidak boleh disalahgunakan.

“Kewajiban menjaga kerahasiaan data pribadi diatur dalam UU PDP. Kebocoran data dalam sistem informasi pemilih harus segera ditangani dengan langkah perbaikan, serta diiringi pemahaman masyarakat akan pentingnya menjaga data pribadi,” kata Parasurama dalam diskusi yang sama.

Meskipun ada sekitar 124 lembaga yang bertugas menangani pengaduan perlindungan data pribadi, namun ia menilai efektivitas kewenangan lembaga-lembaga tersebut masih dipertanyakan. Berdasarkan temuan ELSAM di beberapa daerah seperti Cilacap, Jambi, dan Pontianak menunjukkan adanya masalah dalam perlindungan data pemilih. Parasurama menegaskan bahwa pengumpulan data secara tidak sah dalam pemilu akan dikenakan sanksi.

“Akurasi data pemilih merupakan kewajiban utama yang harus dipastikan. Jika data tidak akurat, proses pemilu secara keseluruhan bisa terdampak, termasuk pencabutan izin calon tertentu,” jelasnya.

Pentingnya Kepatuhan Data Pribadi dalam Penyelenggaraan Pemilu

Hal senada juga dikatakan Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini menilai calon kepala daerah yang terbukti mencatut nomor induk kependudukan (NIK) untuk mencalonkan diri harus didiskualifikasi. Menurutnya pencatutan NIK sudah masuk dalam kejahatan dan hal itu tidak gugur hanya karena tidak dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU.

Titi menjelaskan, ketentuan untuk calon perseorangan dalam validasi data KPU menggunakan pendekatan sensus. Artinya, ketika satu saja NIK terbukti diperoleh dengan cara yang tidak resmi, dalam hal ini melalui pencatutan, maka calon tersebut seharusnya diberi sanksi berupa diskualifikasi atas rekomendasi Bawaslu sebelum dieksekusi oleh KPU.

“Ketika mereka mencatut, artinya kan mereka sudah melakukan kejahatan karena memanipulasi dan menyalahgunakan data pribadi warga,” kata Titi.

Selain itu, sanksi juga seharusnya diberikan kepada partai politik yang mencatut NIK warga ketika mendaftarkan partai untuk menjadi peserta pemilu. Menurut Titi salah satu sanksi yang dapat diberikan adalah melarang partai menjadi peserta pemilu pada daerah pemilihan (dapil) pencatutan NIK.

Titi menyayangkan toleransi yang acapkali diberikan kepada pencatut NIK, terutama untuk kepentingan pemilu. Padahal, masyarakat yang terdampak pencatutan NIK mengalami berbagai kendala, seperti tidak bisa mendaftar CPNS karena tercatat terafiliasi dengan partai politik, hingga tidak bisa menjadi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Akademisi Binus University Siti Yunarti menjelaskan, pentingnya pengaturan PDP di Indonesia, yang baru dimulai pada tahun 2014. Dalam pandangannya, meskipun PDP merupakan langkah awal, namun saat ini regulasi tersebut memerlukan arahan lebih lanjut dari peraturan pemerintah dan lembaga pengawas.

“Meski sudah ada ketentuan yang harus diturunkan dari peraturan, masih banyak yang perlu dikembangkan, karena beberapa ketentuan belum memiliki kekuatan hukum,” kata Yuniarti.

Terkait peran lembaga pengawas dalam melindungi data pribadi, menurutnya perlunya sinergi antara regulasi dan praktik di lapangan. Yuniarti menegaskan pentingnya mematuhi kewajiban pengendali data, terutama menjelang pilkada. Ia menganggap penyelenggara pemilu mestinya harus memiliki aturan yang jelas mengenai pengendalian data pribadi, termasuk klasifikasi data dan tanggung jawab masing-masing pihak.

“Hal ini penting untuk menentukan hak dan kewajiban dalam pemrosesan data pribadi,” tuturnya.

Yuni menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan data pemilih adalah pemenuhan kewajiban hukum terkait pengumpulan dan penyebaran data. Ia meminta agar semua pihak yang terlibat dalam pemilu memahami betul regulasi yang ada, agar tidak terjadi penyalahgunaan data.

“Kewajiban kita adalah memastikan setiap langkah pengolahan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya. []