November 11, 2024
Print

Ketauladanan Pemimpi(n) Daerah

Pada bulan November ini,  turunnya hujan menjadi keberkahan manusia terutama masyarakat Sumatera dan Kalimatan yang beberapa waktu lalu dilanda kabut Asap. Lamanya asap menganggu pandangan dan pernafasan, hilang pasca hujan datang memberikan kecerahan.

Hal ini, sama dengan kondisi korupsi yang merajalela saat ini, ibarat asap yang menggangu kenyamanan. Korupsi mengepul ke langit-langit kesejahteraan rakyat. Sedangkan pemimpin tauladan kehilangan akar, tak muncul sebagai sosok yang patut dicontoh, kuatnya kepala daerah membangun oligarki dan dinasti politik pada daerahnya masing-masing. Kita membutuhkan refleksi menyegarkan diri, turunnya hujan inspirasi kesederhanaan tokoh bangsa, tebalnya asap korupsi adalah harapan yang selalu ditunggu-tunggu.

Misalnya, pertama, Hatta, kesederhanaan Hatta tak diragukan lagi. Kisah Hatta mengembalikan dana taktis wakil presiden, 25.000.  Yang sebenarnya dana itu tak perlu dikembalikan,  kejujuran Hatta memilih dana itu dikembalikan kepada negara. Menunjukan Hatta begitu takut mengambil bukan haknya. Bahkan impiannya harus terunda-tunda, saat ia memilih hidup sederhana dari pada korupsi, meskipun posisinya saat itu adaah wakil presiden. Impian Hatta membeli sepatu Bally, sampai akhir hayatnya tak pernah terbeli.

Kedua, Agus Salim, sebagaimana yang diceritakan Muhamad Roem—Agus Salim—pernah  berdagang minyak tanah, posisinya saat itu sebagai menteri luar negeri, tentu mengherankan ia harus menjajakan minak tanah untuk mendapatkan uang memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak hanya satu kali, sebagai perwakilan tetap Indonesia di PBB, Agus Salim pada suatu pertemuan di Yogyakarta: ia menjajakan minyak tanah demi membayar ongkos perjalanan Jakarta-Yogyakarta. Ketiga, J Latuharhary, Gubernur pertama Maluku, sebagai orang yang berjasa pada pergerakan Indonesia. Malangnya saat meninggal  dunia, ia tidak bisa membayar rumah sakit dengan kekayaan yang ditinggalkannya. Jangankan untuk membayar rumah sakit, rumah yang ditinggalkan untuk anak-anaknya pun tak ada. Kondisi negara yang sedang berada dalam lingkaran korupsi, pemimpin seperti diatas akan sulit dicari, kalau pun ada bisa dihitung dengan jari.

Kepala Daerah Anti Korupsi

Dalam kondisi kecemasan kita bernegara, persoalan korupsi merupakan masalah yang telah mendarah daging. Betapa tidak, pada era Orde Baru korupsi hanya tersentralisasi, sedangkan saat ini korupsi terdesentralisasi. Sehingga, korupsi yang selalu diperangi, semakin banyak pejabat yang masuk “hotel prodeo”—tetapi korupsi semakin menjadi-jadi—bahkan partai atau pejabat yang berpidato kesana-kemari soal anti korupsi, akhirnya pun masuk jeruji besi.

Ada apa dengan negeri ini? Apakah pahlawan hanya ada di televisi, media sosial dan acara-acara seremoni. Setelah itu, kita menjilat ludah sendiri, kalau korupsi hanya sebatas “onani verbal” yang bermain dua kaki.

Dibalik kegundahan kita tentang pahlawan yang sedang kita cari, terutama kepala daerah.  Yang akan beradu nyali pada 9 Desember 2015 nanti, kita masih kekurangan “stok” pemimpin tauladan yang bisa diharapkan. Namun, kehawatiran tersebut dijawab pada penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (5/11). Munculnya nama Tri Rismaharini (2010-2015), Walikota Surabaya dan Yoyok Rio Sudibyo (2012-2017), Bupati Batang, sebagai penerima penghargaan ini membuktikan masih ada harapan  tentang pahlawan daerah yang konsisten melakukan “jihad memerangi korupsi”.

Risma dan Yoyok, sebagai kepala daerah mereka menampilkan kepemimpinan gaya baru. Keterbukaan pengelolan anggaran, menunjukan bahwa mereka berdua ini melawan model kepemimpinan daerah yang biasa ditampilkan dengan politik dinasti dan oligarki. Sehingga, model kepemimpinan yang diperlihatkan Risma dan Yoyok patut menjadi contoh bagi kita, terutama kepala daerah yang akan berlaga pada 9 Desember 2015 nanti.

Kehawatiran banyak pihak tentang Pilkada  berhubungan dengan mengakarnya prilaku korupsi. Dominannya petahana yang bertarung pada pilkada nanti, sulit melacak tindakan korupsi yang dilakukan petahana yang bertarung memperebutkan kursi gubernur/bupati/walikota. Sebab, janji jabatan merupakan contoh korupsi yang berinvestasi, hal ini cendrung terjadi, terutama pada sektor-sektor birokrasi.

Sedangkan pada kubu penantang yang melawan petahana, kecemasan kita adalah calon tersebut melakukan “deal-deal” dengan pengusaha tertentu. Pengusaha tersebut  menjadi pemodal kampanye kandidiat, pada saat menang nanti maka akan ada “ politik balas budi”, dengan kemudahan izin dan  transaksi lainnya antara pengusaha dan kepala daerah.

Pada era reformasi, perbaikan dan jihad memerangi korpusi harus menjadi isu utama yang perlu digiatkan terus-menerus. Karena, kepala daerah merupakan posisi penting yang mendeskripsikan gambaran pemimpin nasional. Harapan besar yang diharapkan masyarakat terhadap pilkada nanti sebagai estafet pemimpin nasional berintegritas adalah sesuatu yang harus.

Meskipun, Pilkada tahun ini kurang semarak, karena kurangnya baliho-baliho calon dan pesta-pesta kandidat dengan relawan secara khusus. Itu adalah langkah, bahwa menuju pemimpin daerah yang berintegritas kita harus siap dengan kesederhanaan berdemokrasi.

Jadi, turunnya hujan tauladan pada bulan November ini adalah sebuah keberkahan demokrasi terutama menjelang pilkada serentak 9 Desember 2015 dengan merajalelanya kepala daerah yang terlibat korupsi.Semoga semakin banyak kepala daerah yang mengikuti langkah Risma dan Yoyok sama halnya derasnya hujan yang turun pada bulan november ini. Semoga saja!.[]

ARIFKI
Analis Politik dan Pemerintahan FISIP Universitas Andalas, Padang