Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tak sedikit calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang tidak membuka daftar riwayat hidup. Padahal informasi tersebut penting bagi pemilih untuk mengetahui rekam jejak dan visi-misi kandidat sebagai pertimbangan memilih. Selain itu transparansi dan keterbukaan informasi menjadi salah satu kunci penting pemilu yang demokratis.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama mengatakan harusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka semua data dan informasi pemilu dengan transparan pada tiap tahapan pemilu. Sehingga proses dan legitimasi pemilu tercapai dengan baik. Menurutnya riwayat hidup kandidat sampai informasi terkecil musti terpublikasi saat pendaftaran dan publik dapat mengaksesnya.
“Sebenarnya bukan hanya data CV saja tetapi juga dana kampanye,” ucap Heroik dalam diskusi online bertajuk “Keterbukaan Informasi Caleg dan Hasil Pemilu” (13/2).
Lebih lanjut Heroik menilai, partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci dari proses pemilu. Karena hal itu, hak atas informasi bagi masyarakat mengenai informasi caleg menjadi hal yang pemenuhannya harus diprioritaskan, karena bagi masyarakat pemilu menjadi apresiasi bagi peserta pemilu yang transparan dan hukuman untuk kandidat yang tidak sesuai kehendak publik, termasuk integritas dan transparansi.
“Bisa dibayangkan, kalau sejak awal pendaftaran saja daftar riwayat hidupnya tidak mau dibuka, berarti ada hal yang ditutupi. Artinya, bisa jadi ketika mereka sudah terpilih, sulit bagi pemilih untuk mengakses wakil-wakil rakyat itu,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menegaskan bahwa informasi daftar riwayat hidup caleg, dana kampanye, dan formulir C1 sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas penyelenggara pemilu. ia menyangakan kebijakan KPU yang memperbolehkan pejabat publik maupun caleg tidak membuka informasi pribadi pada publik. Setidaknya masih adanya 30% caleg DPR yang menutup daftar riwayat hidup, hal itu menjadi masalah di tengah upaya meningkatkan partisipasi publik dalam pemilu.
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Informasi meminta KPU transparan dalam melaksanakan proses Pemilu 2024. Koalisi juga meminta KPU memberikan informasi mengenai uji konsekuensi yang telah dilakukan terkait pengecualian atas informasi pribadi 2.965 caleg DPR dari total 9.917 caleg.
“Kita ingin menjaga ruang keterbukaan informasi tidak tercederai oleh preseden buruk ini. Ketika hal buruk ini dibiarkan, dikhawatirkan menjadi contoh bagi badan publik lainnya,” ujar Ade Wahyudin.
Selain itu, Ade juga mengkhawatirkan hal tersebut menjadi acuan bagi pejabat publik untuk menutupi daftar riwayat hidupnya dari publik. Kondisi seperti itu menghambat masyarakat yang ingin mengetahui berbagai informasi mengenai pejabat dalam pemerintahan atau lembaga negara lainnya. Menurut Ade, jika ingin dipilih pada pemilu semestinya menjadi kesempatan para caleg untuk mengenalkan diri dan rekam jejaknya sehingga menjadi referensi publik dalam menentukan pilihan.
“Mengapa harus ditutupi. Apakah ada yang disembunyikan, kalau masih jadi caleg saja tertutup, bagaimana nanti ketika sudah terpilih menjadi pejabat publik,” ucapnya.
Menurut Ade, data pribadi caleg bisa dipublikasikan sepanjang memiliki kepentingan dalam penyelenggaraan negara. Terlebih data tersebut cukup krusial karena menjadi bahan pertimbangan publik untuk memilih calon pejabat publik. Ia berpendapat, menutupi informasi caleg justru dikhawatirkan mereduksi kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
“Daftar riwayat hidup caleg merupakan hal penting untuk melihat apakah calon-calon pejabat publik ini benar dan punya rekam jejak baik atau buruk. Semuanya bisa dilihat dari situ,” imbuhnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan The Indonesian Institute (TII) mengenai persepsi anak muda terhadap Pemilu dan Pilkada 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 41,46 persen anak muda menyatakan membutuhkan informasi mengenai penyelenggaraan pemilu, termasuk informasi mengenai kandidat. Hal itu karena penyelenggara pemilu belum optimal dalam menyajikan serta menghadirkan keterbukaan informasi publik terkait pemilu. []