JAKARTA, KOMPAS — Hingga pemilihan legislatif pada Pemilu 2014, jumlah perempuan politikus yang duduk sebagai anggota legislatif baru 17 persen dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Partai politik masih belum terlalu memperhatikan partisipasi perempuan dalam pemilihan umum yang mengakibatkan perempuan politikus kerap ditempatkan di urutan bawah daftar calon anggota legislatif.
Perempuan politikus pun harus menyusun strategi agar dapat bersaing dengan kandidat lain untuk memenangi kursi legislatif dalam Pemilu 2019. Dengan cara ini, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dapat meningkat.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan hal ini saat menyosialisasikan penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan perwujudan 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Sosialisasi itu disampaikan di hadapan peserta Workshop Nasional Perempuan Legislatif Eksekutif dan Kader Partai Golkar yang diselenggarakan Kesatuan Perempuan Partai Golkar di Jakarta, Sabtu (26/8).
“Jumlah caleg di setiap pemilu sudah memenuhi kuota 30 persen perempuan. Namun, keterwakilan yang jadi (anggota legislatif) masih minim sekali,” ucap Tjahjo.
Faktor masih rendahnya daya saing perempuan dalam pemilihan legislatif, menurut Tjahjo, dipengaruhi berbagai macam faktor. Salah satunya sikap partai politik yang masih menempatkan perempuan caleg di urutan terakhir dalam pemilihan legislatif. Lalu, ada kebiasaan yang belum diubah di internal partai politik, yakni sesama kader partai politik bersaing di satu daerah pemilihan yang mengakibatkan keduanya saling berebut suara.
“Sistem politik juga masih setengah hati mendukung perempuan. Sebagai contoh, Pansus RUU Pemilu DPR cuma terdiri atas empat perempuan sehingga mereka kalah suara dengan anggota DPR laki-laki,” katanya.
Merancang strategi
Tjahjo pun mengajak para perempuan politikus Partai Golkar meningkatkan daya saing, termasuk merancang strategi untuk menang dalam pemilu legislatif. Strategi itu dapat dimulai dengan menyiapkan basis data pemilih di daerah pemilihan. Sesama perempuan politikus juga perlu saling mendukung memenangi pemilu. Selain menyuarakan isu perempuan, mereka juga tetap perlu mengusung isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat.
Politikus Partai Golkar, Nurul Arifin, mengatakan, kultur partai politik masih sangat maskulin. Perempuan yang terjun ke dunia politik pun dituntut berani mengungkapkan dan menyuarakan aspirasi untuk bersaing dengan politikus lain yang didominasi laki-laki.
“Strategi ini yang kadang perempuan canggung dan naif karena kaum pria lebih cerdas menggunakan segala macam kemungkinan yang disebut the art of politics, apa pun caranya. Sementara perempuan sering kali sungkan,” ujarnya.
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Chusnul Mar’iyah, mengungkapkan, sejak kelahiran partai di Yunani, politik memang sudah maskulin. Bahkan, di Amerika Serikat, tahun 1917, perempuan cendekiawan masuk penjara saat berjuang agar kaumnya bisa masuk lembaga legislatif.
Dorongan masuknya perempuan ke dunia politik, menurut Chusnul, karena masih banyak isu perempuan yang harus diperjuangkan, mulai dari isu kesehatan reproduksi perempuan, kesehatan anak, hingga berbagai masalah. “Maka, perlu bagi perempuan terjun ke legislatif. Dimulai dari perencanaan yang baik sehingga dapat merebut kemenangan dan duduk di kursi legislatif,” katanya. (MDN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2017, di halaman 2 dengan judul “Keterwakilan Perempuan Masih Rendah”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/08/27/Keterwakilan-Perempuan-Masih-Rendah