August 8, 2024

Ketidakmandirian MK yang Mengancam Pemilu 2024

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah membuktikan ketidakmandiran hakim konstitusi dalam mengeluarkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. MKMK memutus sembilan hakim MK ditetapkan melanggar etik dalam putusan batas usia calon presiden/wakil presiden. MKMK pun memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK dan tidak diperbolehkan memutus perselisihan hasil pemilu.

“Maka harus dilakukan purifikasi yang menyeluruh untuk membersihkan MK,” kata Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi “Politik Dinasti Jokowi, Konflik Kepentingan dan Bencana Court Capture MK” yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta (3/11).

Ada tantangan dalam proses dan hasil putusan MK baik itu mengenai uji materi undang-undang atau pun perselisihan hasil pemilu. Sebelum Putusan 90/PUU-XXI/2023 pun, banyak putusan MK yang tidak memutus berdasarkan hukum melainkan pada konfigurasi politik.

Zainal menjelaskan, dalam demokrasi seharusnya tidak ada politik dinasti karena demokrasi menggeser semua pemilihan dari dan untuk rakyat serta hasilnya direstui oleh publik. Menurut Zainal, politik dinasti bukan sekedar relasi keluarga saja, melainkan ketika ada usaha untuk melakukan intervensi pada proses pemilihan bahkan menguasai proses pemilu. Melalui pengkondisian dari proses kandidasi, pemilihan, dan setelah pemilihan.

Lebih lanjut, Zainal mengatakan, Indonesia belum memiliki aturan yang membatasi kuasa Presiden antar waktu pemilu. Padahal sangat mungkin penggunaan kekuasaan negara untuk terpilih ulang atau mengusung kandidat lain. Misalnya, penggunaan aparat negara, alat kelengkapan negara, dan keuangan negara. Ia menyebut usaha untuk mengubah hal-hal tertentu di akhir kepemimpinan Presiden untuk mengubah hasil pemilihan sebagai Aksi Cinderella. Aksi itu biasanya melalui Bantuan Sosial (Bansos) dan program-program lain untuk mengambil hati masyarakat.

“Membatasi kuasa presiden menjelang pemilu itu penting, penggunaan alat negara itu harusnya dibatasi secara straight. Nah, kita negara yang membatasi itu dengan baik,” ujarnya.

Zainal menyebut ada relasi antara politik dinasti dan praktik koruktif, daerah yang kuat politik dinastinya biasanya tingkat korupsi naik. Hal itu karena muara dari politik dinasti adalah tindakan koruptif yang juga bisa membunuh demokrasi. Sebab menurutnya, orang yang terpilih secara demokratis juga mempunyai banyak jalan untuk membunuh demokrasi. Misalnya dengan mengubah aturan main untuk mempermudah, mengubah lembaga yang bisa mengawasi, termasuk aturan main yang membenarkan apa yang diinginkan pada pemilu.

“Pemilu adalah kudeta paling konstitusional. Saat itulah kita gunakan untuk mengakhiri praktik demokrasi yang tidak benar dan mengakhiri politik dinasti. Saatnya pemilu dijadikan sarana untuk menghukum rezim yang tidak baik dan tidak serius,” tegas Zainal.

Konflik kepentingan

Kuasa hukum pelapor dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Violla Reininda mengatakan, pelaporan Hakim MK pada MKMK adalah usaha masyarakat sipil untuk melawan segala upaya yang ingin menjadikan MK sebagai alat politik. Menurutnya, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu membuat pemilu tidak adil dan menyebabkan kontestasi menjadi tidak setara.

“Karena sudah diberikan karpet merah yang inkonstitusional. Ibaratnya, capres-cawapres lainnya lewat jalan biasa, dia (Gibran) kemudian dibukakan pintu tol supaya bisa mencapai tujuan pencapresan dan syarat kualifikasi semestinya,” kata Violla dalam diskusi yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta (3/11).

Dalam diskusi bertajuk “Politik Dinasti Jokowi, Konflik Kepentingan dan Bencana Court Capture MK” itu Violla memaparkan, beberapa upaya untuk mereduksi independensi MK dan menguasai hakim konstitusi. Misalnya melalui Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 yang mengganggu independensi hakim melalui perpanjangan masa jabatan.

Selain itu Violla menganggap, tidak adanya lembaga yang secara khusus mengawasi MK berakibat tidak adanya mekanisme mitigasi, meski putusan-putusan MK terdapat banyak kejanggalan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menyebut, sejak awal MK tidak mau diawasi sehingga tidak ada kontrol.

“Jadi di satu sisi terlihat ada sedikit abuse of power yang hendak ditujukan MK, dan kemunduran konstitusi di negara kita semakin sempurna, karena abuse itu dilakukan di tiga tangan pemegang kekuasaan,” ucapnya.

Violla juga menyoroti adanya konflik kepentingan dalam putusan MK terkait syarat usia calon presiden/wakil presiden berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik terhadap MK. Menurutnya, untuk skandal besar yang sudah terbukti terdapat pelanggaran etik berat, harusnya MKMK berani memberi terobosan dengan membatalkan atau menguji kembali putusan pengujian undang-undang tanpa melibatkan hakim terlapor untuk memenuhi asas keadilan.

Lebih lanjut menurut Violla, kesakralan final dan mengikat tidak bisa dipertahankan hanya untuk mempertahankan kepastian hukum. Aspek keadilan merupakan aspek penting yang tidak bisa diabaikan karena berhubungan dengan nilai suatu keputusan, baik perumusannya maupun aspek substantif.

“Dasar hukumnya adalah Pasal 17 ayat (5), (6), dan (7) UU Kekuasaan Kehakiman, secara jelas menerangkan kalau hakim mengadili terkait dengan kepentingannya sendiri, maka putusannya dipandang tidak sah dan harus dilakukan peninjauan kembali,” ujarnya.

Menurutnya, pasal tersebut seharusnya tidak hanya mengikat Mahkamah Agung tetapi juga mengikat Mahkamah Konstitusi, karena masuk dalam satu bab yang berkaitan dengan asas-asas kekuasaan kehakiman.

Court capture

Sementara itu Program Officer ICW, Yassar Aulia menyebut Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 adalah ujung dari upaya-upaya mengganggu independensi MK secara sistematis. Setelah sebelumnya terdapat skenario pernikahan Ketua Hakim MK dengan adik Presiden dan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto digantikan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi. Hakim Guntur banyak mempertahankan undang-undang bermasalah melalui putusannya.

“Kita sudah banyak melihat bagaimana putusan-putusan MK akhir ini ketimbang memberikan cek terhadap DPR dan Presiden, lebih mempertahankan status quo. Yang sebenarnya secara formil dan materil problematik. Misalnya Omnibus Law, UU Minerba dan Revisi UU KPK,” katanya.

Yassar mengatakan court capture dan intervensi independensi MK menjadi fenomena yang juga terjadi pada banyak negara. Court capture adalah istilah yang mengacu pada situasi di mana lembaga/sistem peradilan dikendalikan oleh kepentingan politik, ekonomi, atau kekuasaan tertentu, yang dapat mengarah pada putusan yang bias atau tidak adil. Wujudnya dapat mencakup berbagai bentuk pengaruh, seperti pemilihan hakim yang terpengaruh secara politik, tekanan politik terhadap keputusan pengadilan, atau pengaruh korporat dalam proses hukum.

Yassar mencontohkan court capture yang terjadi di Polandia antara tahun 2015-2016. Partai Hukum dan Keadilan (PiS), partai sayap kanan Polandia, melakukan reformasi hukum dengan ikut mencampuri independensi kekuasan yudisial. Melalui ini, PiS yang merupakan partai mayoritas di Parlemen Polandia mempensiunkan dini hakim konstitusi dan menggantikannya dengan loyalis partai.

Putusan itu kemudian direspon dengan protes masif dari publik bersama hakim-hakim di penjuru Eropa, mereka menyuarakan upaya pelemahan kekuasaan yudisial yang dilakukan parlemen. Protes itu berujung adanya Putusan European Court of Justice, yang membatalkan paket undang-undang yang melemahkan independensi kekuasaan yudisial Polandia.

Menurut Yassar, Indonesia bisa meniru beberapa gerakan yang dilakukan di beberapa negara untuk mencegah terjadinya Court Capture di wilayah yudisial. Menurutnya, melalui penegakan etik yang ketat dan kuat dengan mekanisme transparansi yang jelas akan memperkuat kemandirian kekuasaan yudisial. []

AJID FUAD MUZAKI