August 8, 2024

Klientelisme Pilkada 2024

Pemilu 2024 menjadi momentum tepat untuk melakukan refleksi terhadap proses pemilu. Salah satu yang menjadi sorotan adalah fenomena anomali non-linearitas yang terjadi pada pemilihan presiden-wakil presiden. Akademisi Universitas Gajah Mada, Aya Budi dalam “Seminggu Pasca Pemilu: Quo Vadis Demokrasi Indonesia?” mengungkapkan, terdapat fenomena anomali dalam Pemilu 2024. Ia menduga, efektivitas praktik klientelisme di Indonesia menjadi penyebab utama fenomena non-linearitas. Prabowo-Gibran mendapat suara lebih dari 50% tapi hasil ini tidak berlaku bagi para partai pengusungnya. Lebih jauh, penyaluran bansos secara tiba-tiba yang dilakukan oleh Presiden Jokowi di momen kampanye Pemilu 2024, menjadi faktor dominan masyarakat memilih calon yang mampu menawarkan solusi berdampak secara langsung.

Bagi Indonesia, negara yang mengamini demokrasi dan lokalisme, klientelisme tentunya akan menjadi ancaman besar. Selain membalikkan dan mengikis tradisi demokrasi, dalam konteks lokal, klientelistik dapat menghambat daya saing, keterwakilan, dan pembangunan lokal di tingkat akar rumput. Ini berdampak buruk terhadap tata kelola pemerintahan daerah.

Pemerintahan lokal yang demokratis adalah salah satu landasan demokrasi modern (Sarkers & Nawaz, 2019:1). Hal ini tentunya tidak terlepas dari tren ganda demokratisasi dan desentralisasi yang mengarahkan terhadap perubahan besar organisasi dan proses politik negara, terutama negara-negara berkembang. Banyak sekali kajian yang menganalisis mengenai berbagai perubahan ini, tetapi sangat sedikit yang membahas mengenai dinamika Pilkada dan aktivitas partai politik tingkat lokal. Banyak aspek kelokalan cenderung terabaikan karena sebagian besar akademisi terlalu berfokus terhadap Pemilu skala nasional.

Padahal, pada era desentralisasi demokratis ini, Pemilu di tingkat daerah menjadi komponen penting. Demokrasi lokal akan mempengaruhi kehidupan politik suatu pemerintahan daerah dan pusat. Nantinya, pemerintah pusat akan mendistribusikan sebagian kekuasaan ke tingkat daerah untuk dikelola sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Smith (1985) mengungkapkan, desentralisasi memungkinkan penduduk lokal untuk mempunyai suara dan dapat memengaruhi banyak proses pengambilan keputusan. Demokratisasi menjadi diperkuat karena aparat publik menjadi lebih akuntabel, dan pelayanan publik menjadi lebih baik karena pemerintah lokal menjadi lebih efisien dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya daripada pemerintah pusat.

Akan tetapi, keberlangsungan tata kelola pemerintahan lokal yang demikian hanya akan menjadi impian semu apabila proses demokrasi elektoral di tingkat lokal tidak mampu menegakkan integritasnya sendiri. Pemilu adalah bagian dari proses politik dalam demokrasi dan setiap sistem politik juga menggunakan pemilu. Namun, apabila pemilu dikorupsi dalam prosesnya, jelas bahwa demokrasi yang didasarkan pada pemilu tersebut adalah sebuah kecurangan (Chitlaoarpon, 2017).

Sarker & Khalid (2018) mengungkapkan bahwa tatanan sosial atau penyelesaian politik di negara berkembang seringkali dicirikan oleh klientelisme. Ungkapan klientelisme berakar dari kondisi sosio-ekonomi sistem agraria yang mempunyai implikasi besar terhadap dinamika politik di negara-negara berkembang. Penyelesaian politik semacam ini juga merangkum perilaku berbagai institusi, termasuk aktivitas politik partai, pemilu, pemerintah daerah, dan pemberian layanan publik.

Klientelisme didefinisikan sebagai pertukaran barang dan jasa yang berkelanjutan antara pihak yang mempunyai kekuasaan lebih besar dan pihak yang lebih kecil. Suatu hubungan ini berlangsung jangka panjang dengan kekuasaan yang tidak setara di mana aktor-aktor yang dapat diidentifikasi melakukan pertukaran barang dan jasa yang sering kali melibatkan kesetiaan politik (Grindle, 2016). Secara sederhana, dalam konteks elektoral, klientelisme dimaknai sebagai proses di mana partai politik menggunakan akses istimewa ke sumber daya negara untuk memperkuat dukungan mereka dalam masyarakat. Aktor politik menggunakan klientelisme elektoral sebagai strategi untuk menegakkan keberpihakan mereka dan untuk memastikan bahwa pemilih akan tetap loyal, disampaikan secara terorganisasi kepada para pendukung setia yang tertanam dalam jaringan individu dan dikembangkan oleh partai politik secara sistematis.

Dalam konteks Pemilu apapun, terutama Pilkada, partai politik sebagai organisasi lokal berfungsi sebagai titik masuk bagi warga negara yang ingin terlibat dalam politik elektoral. Mereka memberikan informasi kepada para pemilih, mendorong partisipasi politik, dan membangun komunitas di antara mereka yang memiliki kecenderungan politik yang sama. Secara ideal, partai politik seharusnya bergantung pada platform kebijakan dan daya tarik ideologis untuk menarik pemilih.

Sayangnya, realita empirisnya mengungkapkan, partai politik dewasa ini justru memiliki kecenderungan menawarkan keuntungan selektif sebagai imbalan langsung atas perolehan suara elektoral. Partai-partai klientelis (atau mesin politik) seperti ini biasanya berfokus pada pendistribusian manfaat kepada masyarakat miskin (Scott 1969: 1150; Stokes 2005: 315, 321–2). Partai politik seperti ini  sangat responsif memanfaatkan kondisi kesenjangan sosial di tataran masyarakat. Keadaan di mana negara telah gagal menyediakan jaringan pengaman sosial.

Hal itu menjadi jelas bahwa klientelisme elektoral sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi demokrasi. Strategi ini melemahkan kesetaraan politik. Caranya dengan membiarkan pihak-pihak yang memiliki sumber daya untuk membeli suara masyarakat miskin, mengganggu pemilu yang bebas dan adil, dan mengolok-olok akuntabilitas demokrasi.

Klientelisme elektoral berupaya melemahkan dan membelokkan proses politik berbasis kepentingan dan terprogram. Sering kali ini memecah belah masyarakat ke dalam jaringan persaingan untuk memperebutkan suara dan akses terhadap barang serta jasa yang disediakan negara. Semuanya semakin mungkin dilakukan dan dicapai ketika kemiskinan meluas dan sumber daya langka.

Insentif yang mendorong praktik klientelisme elektoral secara khusus membungkam suara politik masyarakat miskin. Kelompok rakyat ini sangat rentan terhadap tawaran manfaat nyata sebagai imbalan atas suara mereka. Ketika insentif semacam ini terus berlanjut, praktik-praktik klientelisme elektoral menjadi semakin terlembaga.

Partisipasi demokratis menjadi semakin lemah. Partai-partai politik tidak lagi mampu menjalankan fungsinya. Partai dan bisa kelembagaan demokrasi lainnya, hanya berfungsi sebagai mesin klientelistik.

Para pemimpin partai akan dihadapkan pada para broker. Mereka berusaha membangun klien sampai pada titik di mana mereka mampu bersaing dengan para kandidat yang ada, dan menggantikan struktur hirarki kekuasaan partai dan elektoral sebelumnya. Mereka menjebak warga negara, terutama warga miskin, dalam hubungan politik yang membungkam suara dan preferensi kebijakan mereka, bahkan mendorong terjadinya kekerasan elektoral.

Semua hal tersebut menjadi tantangan bagi cita demokrasi. Bagaimana nilai dan implementasi kewarganegaraan, partisipasi, representasi, dan akuntabilitas dijamin dalam sistem politik dari, oleh, dan untuk rakyat. Bagi sebagian orang, klientelisme cenderung mereda ketika kemiskinan dan kelangkaan sumber daya tidak lagi menjadi ciri khas sistem politik. Bagi yang lain, alternatif bagi klientelisme tidak hanya membutuhkan perubahan kontekstual, tetapi juga ketersediaan cara-cara yang lebih rasional untuk memobilisasi suara dan memenangkan pemilu. []

ALYA ROSIANAWATI

Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Padjajaran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.