Koalisi Damai menggelar diskusi publik dan diseminasi hasil pemantauan media sosial Pilkada 2024. Pemantauan tersebut menjadi bagian dari komitmen koalisi damai untuk mengawasi penyebaran konten berbahaya selama Pilkada 2024. Hal itu karena disinformasi dan ujaran kebencian di berbagai platform dapat menghambat hak pilih warga, terutama kelompok rentan.
“Meskipun tidak ada ukuran pasti, pelekatan identitas dalam ujaran kebencian bisa berdampak pada kemenangan atau kekalahan peserta. Untuk itu pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil memiliki peran masing-masing dalam menangani fenomena ini,” ujar Peneliti Perludem, Usep Hasan dalam diskusi bertajuk “Media Sosial Pasca-Politik 2024: Mewujudkan Ruang Digital yang Demokratis” di Jakarta, (13/02).
Hasil pemantauan Koalisi Damai menggunakan alat analisis berbasis tingkat viralitas konten di tiga platform utama: X (Twitter), Facebook, dan TikTok. Pemantauan dilakukan dengan beberapa kata kunci yang sering muncul dalam narasi ujaran kebencian dan disinformasi seperti, LGBT, PKI, ODGJ, dan Janda. Ketiga istilah tersebut menurut Usep, kerap digunakan dalam konteks politik untuk menyerang individu atau kelompok tertentu.
“Platform X menjadi wadah utama penyebaran ujaran kebencian terkait pilkada, dengan istilah janda menjadi paling sering digunakan dalam narasi politik, diikuti oleh ODGJ, PKI, dan LGBT,” jelas Usep.
Lebih lanjut, Usep mengatakan pola serupa juga ditemukan di TikTok, sedangkan di platfprm Facebook emat kategori tersebut paling sedikit. Menurutnya hal dikarenakan Meta mempunyai kebijakan menghapus konten yang mengandung kata ujaran kebencian, khususnya yang berdasar gender dan seksualitas, seperti LGBT dan janda.
“ Sementara istilah PKI ditemukan banyak digunakan oleh akun bot untuk membangun narasi tertentu menjelang hari tenang dan pemungutan suara,” imbuhnya.
Temuan lainnya, berdasarkan wilayah, di Jawa Timur ujaran kebencian diikuti dengan isu komunisme, kepemimpinan perempuan. Sementara di Sulawesi Selatan, ujaran kebencian berbasis ras dan etnis mendominasi wacana politik lokal.
Menanggapi temuan ini, Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada regulasi spesifik dalam UU Pemilu dan UU Pilkada yang secara jelas mengatur disinformasi dan ujaran kebencian di ranah digital. Menurutnya, lebih dominannya ujaran kebencian dibanding disinformasi, menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat telah memiliki kesadaran literasi digital tetapi masih terbawa sentimen politik.
“Objek pengawasan Bawaslu dibatasi pada pelaku kampanye dan waktu kejadian pada masa kampanye sehingga berdampak kepada terbatasnya proses penanganan pelanggaran terhadap gangguan informasi di ruang digital,”
Sebagai tindak lanjut, Bawaslu menyatakan akan menjadikan hasil temuan Koalisi Damai sebagai bahan kajian lebih lanjut serta membuka ruang bagi forum multipihak dalam menangani tantangan disinformasi dan ujaran kebencian pada Pilkada 2024. Bawaslu juga berkomitmen melakukan kolaborasi yang lebih intensif untuk melakukan pendidikan politik secara kreatif kepada pemilih pemula dalam rangka menguatkan literasi dan toleransi terhadap kebebasan ekspresi di ruang digital. []