August 8, 2024

Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Kriminalisasi Sutradara dan Pakar Hukum Dirty Vote

Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pelaporan terhadap sutradara dan tiga pakar tata hukum negara pengisi film dokumenter Dirty Vote. Koalisi menilai kriminalisasi pada tim film Dirty Vote adalah bentuk pembungkaman kritik dan fakta. Langkah tersebut menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024.

“Itu merupakan upaya untuk membungkam pihak-pihak yang berupaya mengungkap dugaan kecurangan pemilu,” tulis koalisi dalam siaran pers (13/2), dikutip 14 Februari 2024.

Dirty Vote adalah film dokumenter mengungkap kecurangan pemilu yang disutradarai Dandhy Laksono dan diisi oleh tiga ahli hukum tata negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti. Film tersebut diluncurkan pada Minggu 11 Februari 2024 dan mendapatkan atensi publik karena berani mengungkap kecurangan pemilu yang menguntungkan pasangan calon (paslon) tertentu. Pada Senin 12 Februari 2024 lalu sutradara dan tiga pakar hukum tata negara pengisi Dirty Vote dilaporkan Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) ke Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri).

DPP Foksi melaporkan tim Dirty Vote menggunakan Pasal 287 ayat 5 UU Pemilu, karena dianggap melanggar ketentuan masa tenang pemilu sebelum pemungutan suara Pemilu 2024. Para pelapor menuding Dirty Vote sebagai black campaign atau kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

“Upaya untuk menarasikan Dirty Vote sebagai kampanye hitam merupakan bentuk deligitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film tersebut,” tulis koalisi.

Menurut koalisi, ketentuan UU Pemilu khususnya Pasal 280 ayat 1 sampai 4 tentang larangan dalam kampanye pemilu sama sekali tidak melarang pengungkapan atau publikasi fakta-fakta pelanggaran pemilu seperti yang diungkap dalam Dirty Vote. Koalisi menilai dokumenter tersebut tidak dibuat untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu, sebaliknya dokumenter itu merupakan kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik, terlebih seluruh kandidat capres-cawapres yang berkontribusi pada dugaan kecurangan Pemilu 2024 seluruhnya disebut dalam film tersebut.

Selain itu koalisi juga menyayangkan respon terhadap Dirty Vote, alih-alih membantah fakta-fakta kecurangan yang diungkap dalam dokumenter dengan data yang memadai, pelapor justru menuding film tersebut sebagai kampanye hitam, pesanan calon presiden tertentu, hingga membuat kegaduhan pada masa tenang. Koalisi menganggap tudingan tersebut sebagai cacat logika, karena fakta-fakta pelanggaran pemilu harus diungkap ke publik melalui berbagai kanal sehingga bisa diproses oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Menanggapi hal itu, koalisi mendesak penyelenggara pemilu dan penegak hukum memproses fakta-fakta kecurangan Pemilu 2024 dan menolak kriminalisasi terhadap para pengkritik termasuk terhadap para pakar hukum dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film Dirty Vote, baik dengan UU Pemilu atau ketentuan pidana lainnya. Koalisi juga meminta pemerintah, aparatur negara, partai politik, capres-cawapres, dan para kontestan tidak alergi terhadap kritik publik, termasuk fakta-fakta kecurangan pemilu.

“Mendesak Kepolisian RI, Bawaslu, Kejaksaan RI, dan lembaga lainnya tidak mengikuti kehendak atau narasi para pelapor dan pihak-pihak yang anti kritik untuk mempidanakan para tokoh dan pembuat film Dirty Vote. Sehingga sudah semestinya, laporan yang diajukan oleh para pelapor ditolak dan tidak dilanjutkan secara hukum,” tutup koalisi.

Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pers, LBH Jakarta, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). []