August 8, 2024

Konten Perppu Perlu Fokus pada Pilkada 2020

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait penundaan Pilkada 2020 akibat pandemi Covid-19 diharapkan fokus pada pengaturan waktu dan mekanisme penundaan, pelanjutan tahapan, serta anggaran. Perppu itu dinilai tidak perlu menyertakan perubahan mendasar desain keserentakan pilkada serentak nasional.

Penundaan Pilkada 2020 di 270 daerah yang sedianya berlangsung pada 23 September disepakati dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta penyelenggara pemilu, Selasa (14/4/2020). Pilkada ditunda pada Desember 2020, tetapi bisa mundur memperhatikan perkembangan penanganan wabah Covid-19.

Komisi II DPR juga mengusulkan kepada pemerintah agar pilkada disesuaikan dengan masa jabatan satu periode lima tahun sehingga pilkada digelar pada 2020, 2022, 2023, 2025, dan seterusnya. Ini diusulkan jadi bagian perubahan Pasal 201 UU No 10/2016 tentang Pilkada melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Adapun dalam desain UU No 10/2016, pilkada serentak nasional diselenggarakan pada 2024.

Terkait hal itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Rabu (15/4), mengatakan perppu sebaiknya tidak mengatur perubahan desain keserentakan pilkada. Hal itu sebaiknya dibahas dalam revisi UU Pemilu yang sudah masuk Program Legislasi Nasional DPR.

Secara substansial, usulan tersebut tetap harus menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan enam pilihan plus model pemilu serentak. Hanya pemilihan DPR, DPD, dan presiden serta wakil presiden yang tidak bisa dipisahkan keserentakannya. Pengaturan keserentakan lainnya, seperti pilkada serta pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, diserahkan kepada pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.

Selain itu, Feri juga mengingatkan bahwa penyelenggara pemilu belum melakukan simulasi terkait sejumlah alternatif model keserentakan yang muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu. Hal ini membuat belum ada pemetaan problematika dari setiap pilihan model yang ada.

Oleh karena itu, menurut Feri, perppu seyogianya hanya mengatur pengunduran waktu terkait penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Kalaupun ada yang ingin ditambahkan, hal itu mesti bersifat mendorong proses penyelenggaraan pemilu.

Hasil kajian Pusako, Netgrit, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Rumah Kebangsaan terkait perppu penundaan pilkada menunjukkan perlunya pengisian kelemahan hukum terkait pilkada lanjutan atau susulan setelah penundaan akibat wabah Covid-19 yang skalanya begitu luas. Sebab, dalam UU No 10/2016, pengaturan penundaan hanya diperuntukkan bagi daerah-daerah tertentu.

Dalam kajian itu, pilkada dinilai paling baik dilakukan setelah Juni 2021 dengan mempertimbangkan anggaran, waktu, situasi sosial masyarakat, dan masa akhir jabatan kepala daerah. Hal lain yang diusulkan, perppu juga mengatur anggaran pilkada agar tidak lagi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tetapi bersumber dari APBN.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar saat dihubungi mengatakan, telah ada tim pemerintah yang merumuskan perppu penundaan pilkada. Tim itu terdiri dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Ditanya kapan draf tersebut akan disampaikan kepada Presiden, Bahtiar tak menjawab rinci. ”Draf perppu sedang dirumuskan oleh tim pemerintah,” katanya.

Kajian komprehensif

Menyikapi usulan perubahan desain pilkada berbasis periode jabatan kepala daerah, Bahtiar menyampaikan, hingga kini, pemerintah belum bersikap atas usulan Komisi II DPR. Sebab, penerapan Putusan MK Nomor 55/PUU-XII/2019 berkaitan langsung dengan substansi UU No 7/2017 tentang Pemilu.

”Putusan MK tersebut berimplikasi pada desain pemilu dan pilkada secara lengkap sehingga tak bisa serta-merta hanya mengubah keserentakan pilkada,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengingatkan, penataan jadwal pilkada tetap tak boleh menghilangkan desain keserentakan pemilu.

”Kalau memang DPR serius ingin melakukan penataan penjadwalan pemilu, upaya itu harus didukung dengan simulasi dan kajian komprehensif sehingga kita enggak bongkar pasang pengaturan jadwal yang bisa berdampak pada ketidakpastian dalam penataan jadwal itu sendiri,” ujar Titi.

Ia tidak sepakat apabila penataan jadwal pilkada hanya didasari pada masa jabatan satu periode lima tahun. Belajar dari penyelenggaraan Pemilu 2019, pengambilan keputusan opsi penataan jadwal pilkada harus menjadi bagian dari mewujudkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, peningkatan literasi demokrasi bagi pemilih, serta efektivitas sistem presidensial.

”Jangan sekadar berorientasi pada periode masa jabatan. Kalau itu, kan, orientasinya sangat politis. Tetapi juga harus holistik, melihat kepentingan penataan jadwal pemilu sesuai dengan tujuan untuk efektivitas pemerintahan dan penyelenggaraan pemilu yang betul-betul demokratis,” tutur Titi.

Anggota Komisi Pemilihan Umum, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi seusai dilantik oleh Presiden, mengatakan, dirinya menghormati proses dan hasil rapat dengar pendapat yang dilakukan. Secara prinsip, kata Raka, hal itu perlu dilihat dari aspek hukum komprehensif.

Hal ini dinilai penting untuk memberikan payung hukum yang memadai. Selain itu, yang juga penting adalah penguatan aspek manajemen pelaksanaan tahapan. (INGKI RINALDI DAN NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/16/konten-perppu-perlu-fokus-pada-pilkada-2020/