August 8, 2024

Kontrol terhadap Pemerintahan Daerah Lemah

JAKARTA, KOMPAS — Biaya politik yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah dapat berakibat pada tindak korupsi. Pengawasan dan kontrol terhadap pemerintahan daerah dirasa masih lemah. Partisipasi masyarakat dalam mengawal jalannya pemerintahan dianggap perlu digalakkan.

Almas Sjafrina, peneliti dari Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, mengatakan, biaya politik yang tinggi adalah salah satu faktor pendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi. ”Fenomenanya sudah banyak muncul, kasus-kasus korupsi kepala daerah dan anggota dewan ada yang mengarah untuk pendanaan pemenangan pilkada. Jadi, potensi (korupsi) jelas ada,” kata Almas, saat dihubungi dari Jakarta, pada Senin (19/2).

Pada Kompas (15/2) diberitakan, KPK menangkap tiga kepala daerah, yaitu Bupati Jombang, Ngada, dan Subang, dalam sebulan. Ketiga kepala daerah itu juga menyandang status sebagai peserta pilkada serentak 2018. Selain itu, KPK juga menangkap 14 pejabat daerah dan anggota DPRD Lampung Tengah.

Bahkan, hasil korupsi dari Bupati Subang Imas Aryumningsih diduga bakal digunakan untuk kepentingan kampanye pilkada serentak Subang 2018. KPK menangkap Imas atas dugaan penerimaan suap terkait pemberian izin pembangunan dua pabrik oleh dua perusahaan, yaitu PT ASP dan PT PBM.

Dari 2004-2017, KPK selalu menangkap kepala daerah setiap tahun. Hingga 2017, sebanyak 80 kepala daerah, baik bupati/wakil bupati maupun gubernur/wakil gubernur, ditangkap lewat operasi tangkap tangan KPK ataupun pengembangan kasus korupsi.

Melihat dari kasus tersebut, persoalan korupsi kepala daerah seolah tak berujung. Mada Sukmajati, pengajar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, menilai, pengawasan yang terjadi pada tataran pemerintah daerah itu masih lemah.

”Pengawasan sangat lemah,” kata Mada, saat dihubungi, Senin petang. ”Selain itu, ada kecenderungan lembaga legislatif itu merasa bagian dari eksekutif dalam pemerintahan daerah. Fungsi pengawasan harus ditegakkan. Jangan dianggap mereka bawahannya eksekutif.”

Mada menambahkan, lembaga eksekutif pun harus terus melakukan penguatan individu sehingga dapat mengawasi pula lembaga legislatifnya. ”Keduanya harus saling mengawasi juga agar tidak terjadi tindak korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” katanya.

Selanjutnya, Mada menyatakan, partisipasi masyarakat itu juga penting untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Ia menilai, partisipasi masyarakat dalam pemerintahan cenderung lemah dalam pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung selama ini.

”Sekarang ini, kontrol masyarakat terhadap pemerintahan tingkat lokal terasa semakin minim. Ini harus dibenahi. Proses politik justru baru dimulai setelah pilkada selesai. Itu awal dari masyarakat melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan,” kata Mada.

Mada beranggapan, pilkada yang terasa demokratis itu membuat masyarakat terlena untuk ikut mengontrol pemerintahan. ”Asumsinya sekarang, kan, pemilu sudah dilaksanakan dengan demokratis sehingga masyarakat menyerahkan sepenuhnya ke pejabat pemilih,” kata Mada.

Terkait partisipasi masyarkat, Mada menyatakan, perlu adanya dorongan gerakan masyarakat sipil yang berorientasi pada transparansi anggaran pembelanjaan daerah serta pengawasan program pemerintahan. ”Itu harus disemai dan ditumbuhkembangkan. Adanya korupsi politik menunjukkan lemahnya gerakan masyarakat dalam kontrol terhadap pemerintahannya,” kata Mada.

Melihat adanya potensi korupsi oleh kepala daerah, Partai Golkar mengadakan sarasehan terkait pencegahan korupsi untuk para kadernya yang bakal berjuang di pilkada serentak 2018. Acara itu diselenggarakan di Jakarta, Senin petang. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang diundang menjadi pembicara dalam acara itu.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan, acara itu digelar sebagai upaya pencegahan korupsi terhadap para kader dari partai tersebut. Acara itu sekaligus ingin menunjukkan komitmen Partai Golkar dalam menjalankan pemerintahan yang bersih.

”Dalam pilkada ini atau sebagai pemimpin daerah, apabila terkena kasus, langsung diminta untuk mengundurkan diri,” kata Airlangga.

Saut mengatakan, korupsi dalam pilkada bisa dicegah asalkan kepala daerah memiliki integritas yang tinggi untuk menjalankan pemerintahan yang bersih. ”Pilkada ini hanya trigger. Kepala daerah harus berintegritas. Dia harus mampu menegakkan dirinya tidak menyangkut pada hal-hal yang menyangkut pada pelanggaran pidana,” kata Saut.

Namun, biaya politik dalam pilkada tergolong tinggi. Menanggapi hal itu, Saut mengatakan, pihaknya memahami hal itu akan menyulitkan seseorang dalam pencalonan. Namun, ia menganggap kemudahan teknologi informasi beserta media sosialnya yang ada sekarang ini dapat mengatasi persoalan itu.

”Biaya tinggi yang dimaksud itu apa? Jangan-jangan itu hanya justifikasi. Ketika pimpinan pusat sudah menyatakan kamu yang cocok untuk mewakili partai saya, sebenarnya itu sudah selesai. Kemudian, orang itu tinggal menjaga integritasnya,” kata Saut.

Solusi
Korupsi kepala daerah terkesan selalu berulang. Hal tersebut memerlukan solusi agar tidak terus-menerus terjadi dan merugikan uang rakyat. Almas menawarkan sejumlah solusi terkait hal itu.

Adapun solusi yang ditawarkan oleh Almas adalah pembenahan partai politik, dari pendanaan hingga rekrutmen atau pencalonan untuk pemilu. Lalu, desain pemenangan pilkada diusahakan dengan biaya yang tidak terlalu tinggi.

”Misal, bagaimana menekan biaya saksi dalam pemilu dengan memperkuat panitaia pengawas dan memanfaatkan teknologi informasi untuk pengawasan terintegrasi,” kata Almas.

Selain itu, sistem dalam pemerintahan, menurut Almas, juga perlu diperbaiki untuk mencegah terjadinya tindak korupsi. ”Sistem juga harus dibenahi, mulai dari pengadaan barang ataupun jasa, proses pembahasan anggaran, promosi jabatan, hingga yang lain,”kata Almas.

Menyoal pembenahan dalam partai politik, Mada mengatakan, pencalonan partai itu harus didorong lebih transparan, demokratis, dan partisipatif. ”Proses pencalonan masih sangat elitis dan oligarkis. Hal itu membuka ruang transaksional,” kata Mada. (DD16)

Dikliping dari https://kompas.id/baca/utama/2018/02/20/kontrol-terhadap-pemerintahan-daerah-lemah/