Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menggelar sidang lanjutan pelanggaran administrasi Komisi Pemilu Umum (KPU) tentang keterwakilan perempuan 30% di tiap daerah pemilihan Pemilu 2024. Pelapor adalah Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP. Para anggota KPU kembali tidak menghadiri persidangan kedua dengan agenda persidangan jawaban terlapor dan pembuktian.
“Seharusnya principal, perwakilan satu harus hadir meski sudah dikuasakan. Akan tetapi ini menjadi justifikasi dan catatan majelis,” kata Anggota Bawaslu, Puadi di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat (23/11).
Lebih jauh, Puadi menjelaskan, ketidakhadiran anggota KPU sebagai pihak terlapor akan menjadi catatan bagi majelis. Mengingat persidangan merupakan hal penting yang seharusnya juga dihadiri oleh para terlapor.
“Seharusnya principal, perwakilan satu harus hadir meski sudah dikuasakan. Akan tetapi ini menjadi justifikasi dan catatan majelis,” kata Puadi.
Menurut keterangan kuasa hukum Terlapor, Qisthi Hermansyah, seluruh anggota KPU sudah berada di Jakarta, namun tidak dapat menghadiri persidangan dikarenakan ada kegiatan-kegiatan lain yang bersamaan dengan agenda sidang. Ia mengatakan, semua jawaban terlapor sudah disiapkan oleh Terlapor dan akan disampaikan oleh kuasa hukum.
Dalam jawabannya, Terlapor menganggap laporan yang dilayangkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan kabur dan tidak jelas. Ia menilai laporan yang dilayangkan tidak menjelaskan dengan jelas dan rinci mengenai perbuatan terlapor mengenai pelanggaran administrasi pemilu.
“Oleh karenanya, Terlapor memohon pada majlis pemeriksa Bawaslu untuk menolak laporan atau setidak-tidaknya menyatakan laporan a quo tidak dapat diterima,” kata Hermansyah.
Selain itu menurutnya, dengan tidak disertakannya partai politik sebagai salah satu pihak Terlapor, laporan menjadi kurang pihak. Ia berpendapat, keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif adalah kewenangan partai politik peserta pemilu. Selain karena terdapat pengaturan terkait syarat pencalonan, syarat calon, dan mekanisme pengajuan bakal calon yang didasarkan pada limitasi waktu yang telah ditentukan.
“Karena dalil-dalil tidak terbukti, kami memohon untuk menolak laporan untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan laporan tidak dapat diterima. Dan menyatakan terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran administratif serta menyatakan para terlapor telah melaksanakan tugas dan wewenang sebagai penyelenggara pemilu,” kata Hermansyah.
Dalam persidangan tersebut dosen hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mewakili pelapor menegaskan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran administrasi karena telah menetapkan DCT yang tidak memenuhi syarat kuota keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Ia menilai penetapan DCT tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 8 ayat (1) huruf c PKPU Nomor 10 Tahun 2023, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/HUM/2023.
“Kami mengkritik, menyesalkan dan sangat menyayangkan serta kecewa atas ketidakhadiran terlapor yang sudah dua kali sidang. Dengan adanya fakta persidangan ini, publik bisa menilai sesungguhnya tidak ada itikad baik dari terlapor untuk menegakkan affirmative action sebagai agenda demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu kita,” tegas Titi. []