September 13, 2024

KPU: Model Pemilu Ideal, Pemilu Nasional dan Lokal Digelar Terpisah

Komisi Pemilihan Umum atau KPU menilai pemilu presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang digelar serentak, kerap disebut pemilu lima kotak, membebani penyelenggara pemilu. Jumlah surat suara tidak sah juga tinggi. Karena itu, KPU menilai pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal sebagai skema pemilu yang ideal.

Demikian disampaikan anggota KPU, Hasyim Asyari, saat dimintai keterangan dalam sidang uji materi atas dua pasal yang mengatur mengenai keserentakan pemilu di Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (7/9/2021). Selain meminta keterangan dari pihak KPU, majelis hakim MK juga meminta keterangan dari pihak pemerintah yang diwakili  Staf Ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Eko Prasetyanto Purnomo Putro.

Hasyim menjelaskan, berdasarkan pengalaman pemilu lima kotak pada Pemilu 2019, konsekuensi yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu amat serius. Kala itu, ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia karena kelelahan.

Selain itu, jumlah surat suara tidak sah terbilang tinggi. Suara tidak sah pada pemilu anggota DPR sebanyak 11,12 persen; pemilu anggota DPD 19,02 persen; dan pemilu presiden dan wakil presiden 2,37 persen. Implikasi dari pemilu lima kotak juga menenggelamkan isu politik lokal, bahkan pemilih tak mengenal terlalu dalam para calon anggota DPRD, karena semua perhatian terfokus pada pemilu presiden dan DPR.

Dengan berbagai permasalahan tersebut, KPU menilai, skema atau model ideal yang diterapkan di Pemilu 2024 adalah memisahkan antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

Pemilu serentak nasional dilakukan untuk memilih eksekutif dan legislatif di tingkat nasional, yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden serta anggota DPR dan DPD. Adapun pemilu serentak lokal atau daerah untuk memilih eksekutif atau legislatif di tingkat lokal atau daerah, yaitu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.

”Pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal jauh lebih menjamin demokrasi daripada pemilu serentak yang diberlakukan saat ini,” ujar Hasyim.

Adapun Eko Prasetyanto beranggapan pengaturan mengenai pemilu presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD digelar secara serentak atau tidak, termasuk kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). Ini karena Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 sama sekali tidak menetapkan bahwa jumlah pemilu harus dilakukan secara serentak atau tidak.

Atas dasar itu pula, pemerintah meminta agar MK menolak permohonan uji materi pemohon. Dua pasal di UU Pemilu yang dipersoalkan pemohon dinilai tidak tepat karena aturan tersebut tak bertentangan dengan UUD 1945.

Dua pasal yang diuji pemohon adalah Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 374 Ayat (1) UU No 7/2017. Batu uji yang digunakan, Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 28 C Ayat (2) UUD 1945. Para pemohon uji materi adalah petugas KPPS, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) wilayah Yogyakarta.

Alasan uji konstitusionalitas kedua pasal itu karena faktor kelelahan yang dialami akibat pemilu lima kotak tahun 2019. Setelah pemerintah dan DPR memutuskan untuk tidak merevisi UU Pemilu, mereka khawatir pola yang sama akan diterapkan di Pemilu 2024. Padahal, dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK telah memberikan sejumlah alternatif desain pemilu.

Dalam putusan itu, MK juga berpandangan bahwa pemilu lima kotak 2019 dianggap tidak memperkuat sistem presidensiil, tidak sesuai dengan prinsip pemilu di UUD 1945, dan tidak sesuai dengan tujuan penguatan pemerintahan daerah. Para pemohon meminta agar MK dapat memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal.

Hadirkan ahli 

Majelis hakim konstitusi meminta pemohon menghadirkan ahli desain keserentakan pemilu. Ahli diharapkan bisa menjelaskan risiko administratif dan hukum apabila Pemilu 2024 dilaksanakan dengan model pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

Selain itu, pemerintah diminta menjelaskan desain keserentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2024. Salah satunya terkait posisi kepala daerah yang akan diisi penjabat kepala daerah karena kepala daerah tak boleh menjabat saat pilkada.

”Ketentuannya, enam bulan menjelang pemungutan suara atau setelah ditetapkan sebagai calon tidak boleh menjabat sebagai kepala daerah. Sudahkah diperhitungkan oleh pemerintah risikonya jika di semua kepala daerah dipegang oleh penjabat? Apakah cukup aparatur di tingkat pusat menjadi pelaksana di seluruh wilayah?,” kata Saldi Isra, salah satu hakim konstitusi.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman juga meminta agar efek hukum apabila daerah diisi oleh penjabat dapat dijelaskan secara komprehensif oleh pemerintah maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penjelasan yang komprehensif itu diharapkan dapat menjadi dasar bagi MK untuk mengambil keputusan yang komprehensif. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/08/kpu-model-pemilu-ideal-pemilu-nasional-dan-lokal-digelar-terpisah/